Situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan masalah yang bersumber dari kebijakan Amerika Serikat masih memberikan tekanan bagi Indonesia. Nilai tukar rupiah misalnya, sempat menembus ke atas Rp 14.500 per dollar AS (USD). Ini lantas menambah beban
current account deficit (CAD) yang sudah membengkak duluan akibat kenaikan impor. Bagi pasar keuangan domestik, kondisi ini jelas tidak menguntungkan. Investor asing sempat berhamburan keluar dari Indonesia.
Belakangan, secara perlahan, investor asing mulai menggelar aksi beli, meskipun secara keseluruhan sejak awal tahun posisinya masih
net sell. Repotnya, The Federal Reserve (The Fed) diekspektasikan bakal menaikkan Fed Funds Rate (FFR) dua kali lagi tahun ini. Dengan begitu, terbuka kemungkinan Bank Indonesia (BI) bakal mengikuti langkah tersebut demi menjaga rupiah. Dus, tekanan yang masih mungkin dialami rupiah bakal kembali merembet ke pasar keuangan. Lantas, seperti apa prospek instrumen investasi pasar keuangan? Apa saja peluang yang bisa dimanfaatkan oleh investor? Simak ulasan berikut. Saham Kondisi pasar saham memasuki semester kedua tahun ini sebenarnya lebih bagus jika dibanding dengan semester pertama. Misalnya, pada minggu keempat Juli, investor asing perlahan mulai masuk. “Masuknya investor asing ini membawa sentimen positif bagi investor lokal,” ujar Kevin Juido, Kepala Riset PT Paramitra Alfa Sekuritas. Lalu, musim rilis laporan keuangan juga sudah dimulai, yang dimotori emiten sektor perbankan. Hasilnya, sebagian besar menunjukkan hasil yang positif. Misalnya, laba bersih PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang mencatatkan pertumbuhan 28,7%
year-on-year (yoy). Thendra Crisnanda, Head of Institution Research MNC Sekuritas, memperkirakan, kinerja sebagian besar emiten pada semester kedua tahun ini akan lebih positif jika dibanding dengan semester pertama. Hal ini didukung oleh pulihnya sektor konsumsi yang menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi serta tumbuhnya nilai investasi di sektor riil. Sayangnya, ekonomi global belum menunjukkan tanda-tanda kepastian. Penguatan dollar AS membuat rupiah semakin tertekan. Hal ini berisiko menggiring dana asing keluar dari Indonesia. Di sisi lain, China justru berupaya untuk melemahkan mata uang yuan demi menaikkan daya saing produknya di pasar global. Nah, bagi investor dengan orientasi investasi jangka panjang, kondisi IHSG ketika sedang melemah bisa menjadi peluang untuk akumulasi beli. Cuma, momen terbaiknya kemungkinan sudah dilewati bulan lalu, yakni ketika IHSG terdampar ke 5.600. Thendra merekomendasikan sektor konsumer, telekomunikasi, dan pertambangan untuk semester kedua tahun ini. Sektor konsumer misalnya, ditopang oleh perhelatan besar seperti Pilkada serentak dan Asian Games. Tidak kalah pentingnya, kebijakan populis pemerintah seiring mendekati momen pemilu 2019 juga mendukung sektor konsumsi. Untuk sektor konsumsi, Thendra merekomendasikan beberapa saham, seperti UNVR, ICBP, SIDO, ERAA, HOKI, GGRM, dan HMSP. Lalu sektor telekomunikasi mendapat sokongan dari potensi peningkatan tarif data dan telekomunikasi setelah menurunnya tingkat persaingan tarif yang terjadi beberapa waktu terakhir. Saham pilihannya adalah TLKM dan EXCL. Terakhir, sektor tambang didukung oleh terjaganya harga komoditas seperti minyak dengan rata - rata US$ 60–US$ 65 per barel dan batubara di kisaran US$ 100 per metrik ton. Harga minyak maupun batubara tahun ini masih lebih tinggi jika dibanding tahun lalu. Saham-saham yang bisa dilirik antara lain PTBA, INDY, dan ADRO. Cuma, Kevin menyarankan investor untuk menghindari sektor perkebunan, terutama kelapa sawit. Ini terkait aturan ekspor ke Eropa yang masih mengganjal serta pergerakan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang belum menunjukkan tren positif. Obligasi Pasar surat utang juga mulai menunjukkan tanda-tanda bergairah. Ini paling tidak bisa dilihat dari akumulasi yang dilakukan oleh investor asing. Analis Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra mencatat, pada 1 Juli-25 Juli 2018, asing sudah mencatatkan net buy sekitar Rp 5 triliun. Sementara jika diukur dari akhir tahun lalu (year-to-date/ytd), posisinya masih net sell sekitar Rp 960 miliar. Aksi beli, terutama di minggu-minggu pertama Juli, terjadi bersamaan dengan pergerakan rupiah yang mulai anteng di Rp 14.200–Rp 14.400 per dollar AS. Namun, saat rupiah mulai berfluktuasi dan menembus ke atas Rp 14.500 per dollar AS, investor asing ikut melepas kepemilikannya di instrumen surat utang Indonesia. Ini terkait strategi mereka mengurangi risiko. Betul,
spread antara surat utang negara (SUN) acuan 10 tahun dengan US treasury bertenor sama sudah melebar hingga 473 basis poin (bps). Selisihnya bahkan jauh lebih lebar ketimbang kondisi normal yang spread-nya sekitar 300-350 bps.
Real interest rate Indonesia juga jauh lebih menarik ketimbang AS. Menggunakan acuan SUN benchmark 10 tahun dengan yield 7,67% dengan inflasi 3,12%, artinya suku bunga riilnya mencapai 4,55%. Sementara di AS, dengan patokan yield US treasury 10 tahun di 2,94% dan tingkat inflasi inti 2,3%, tingkat bunga riilnya cuma 0,64%. Namun, investor asing punya pertimbangan lain yang tak kalah penting. Yakni, faktor nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Nilai tukar yang fluktuatif membuat investor asing sulit memproyeksikan keuntungan yang bisa mereka peroleh. Alih-alih meraih laba, keuntungan yang sudah di depan mata bisa terkikis akibat rugi kurs. Nah, pertimbangan kurs jelas tidak dimiliki investor domestik. Dus, Made dan analis obligasi BNI Sekuritas Ariawan menilai, sekarang adalah saat yang tepat bagi pemain lokal untuk masuk ke instrumen surat utang. Momentumnya, investor bisa
buy on weakness saat pasar dalam tekanan yang membuat yield naik dan harga turun. Lalu, dapat merealisasikan keuntungan ketika yield melandai dan harga obligasi naik. “Secara historis, dalam 10 tahun terakhir, yield cenderung turun di Oktober, November, dan Desember,” kata Ariawan. Nah, investor lokal yang agresif menambah kepemilikan di surat utang adalah asuransi. Ini seiring pertumbuhan premi yang terus bertambah sehingga mereka punya alokasi dana investasi yang cukup. Catatan Made, perusahaan asuransi sudah mengakumulasi SUN sebesar Rp 38,08 triliun, atau tumbuh 25,25% (ytd 25 Juli 2018). Sementara akumulasi yang dilakukan manajer investasi (MI) tidak terlalu besar. Dalam rentang waktu yang sama, akumulasinya hanya sekitar Rp 8,74 triliun, atau tumbuh 8,4% (ytd). “Pengelola reksadana nature-nya mengejar performance. Menggeser instrumen tenor panjang ke tenor pendek. Jadi akumulasi yang dilakukan juga tidak terlalu banyak,” terang Made. Reksadana Di instrumen reksadana, pilihan investasi amat bergantung pada tipikal dan horison investasi masing-masing investor. Sebab, strategi dan pilihan jenis reksadana tertentu belum tentu cocok untuk semua investor. Dalam kondisi pasar seperti sekarang, investasi jangka pendek di bawah satu tahun lebih pas ditempatkan di instrumen reksadana pasar uang. Maklum, dari sisi risiko jelas lebih rendah namun imbal hasilnya tetap menggiurkan. Dus, investor yang tidak ingin terpapar risiko yang lebih tinggi di tengah volatilitas pasar, juga bisa memilih reksadana ini. Risiko yang lebih rendah lantaran keranjang investasi reksadana ini berisi deposito perbankan dan obligasi yang jatuh temponya kurang dari setahun. Sementara imbal hasil yang menarik berasal dari bunga deposito yang menjadi instrumen dengan porsi dominan pada kebanyakan reksadana pasar uang. Menurut Wawan Hendrayana, demi alasan likuiditas sekitar 70%-80% dari total dana kelola reksadana pasar uang ditempatkan di deposito. Seiring tren kenaikan suku bunga acuan, tingkat bunga penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ikut naik. LPS-rate untuk simpanan rupiah di bank umum yang pada Januari 2018 masih di 5,75%, secara bertahap naik hingga 6,25%. Segendang sepenarian, bunga deposito perbankan juga naik dengan tingkat yang serupa. Nah, dengan begitu, investor di reksadana pasar uang berpotensi mendapatkan imbal hasil yang lebih tinggi. Infovesta sendiri telah menaikkan proyeksi imbal hasil reksadana pasar uang tahun ini dari sebelumnya 4,5% menjadi 5% (net). “Yield obligasi jangka pendek juga naik,” kata Head of Investment Research Infovesta Utama itu. Investasi jangka pendek di reksadana berbasis saham dan obligasi dinilai kurang cocok saat ini. Pasalnya, volatilitas di pasar saham dan surat utang masih terjadi sehingga risiko yang dihadapi juga lebih besar. Sementara bagi investor reksadana yang horison investasinya lebih panjang, peluang justru terbuka di jenis reksadana saham. Menurut Hanif Mantiq, Direktur Avrist Asset Management, investor bisa memilih produk reksadana dengan acuan saham blue chip atau reksadana berbasis indeks. Perlu diingat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak dalam pola yang secara historis terus berulang. Yakni, setelah menembus rekor baru, indeks bakal terkoreksi untuk kemudian naik lebih tinggi lagi. Level tertinggi baru tersebut mungkin tidak akan tercipta tahun ini. Infovesta misalnya, merevisi target IHSG dari semula 6.700 menjadi 6.400–6.500.
Nah, jika menggunakan asumsi tersebut, dari posisi IHSG per 27 Juli 2018 yang ada di 5.946,14, artinya potensi pertumbuhannya masih antara 7,6% hingga 9,3%. Infovesta pun merevisi proyeksi imbal hasil reksadana saham tahun ini dari 10% menjadi 8%–9%. Jadi, Anda sudah borong instrumen yang mana? ◆
** Artikel ini sebelumnya sudah dimuat di Laporan Utama Tabloid KONTAN edisi 30 Juli - 5 Agustus 2018. Artikel berikut data dan infografis selengkapnya silakan klik link berikut: "Masih Ada Celah, Meski Rupiah Melemah" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Mesti Sinaga