Limbah ban bekas bisa diolah menjadi serbuk ban dan menjadi berbagai bahan baku aneka produk berbahan karet. Produsen serbuk ban bekas di Bekasi, Jawa Barat, sanggup menjual minimal 100 ton serbuk ban setiap bulan. Omzetnya bisa mencapai Rp 500 juta per bulan.Terus melarnya harga karet di pasar dunia, telah menggebuk sektor bisnis yang mengandalkan komoditas alam itu. Contohnya adalah bisnis serbuk ban.Para pengusaha ban selama ini mengandalkan pasokan bahan karet alam. Seiring kenaikan harga karet, mereka makin banyak melirik bahan baku karet hasil daur ulang ban bekas.Bagi pebisnis daur ulang ban bekas, ini adalah peluang besar. Darmin Leo, pemilik CV Gemilang R&P Jaya Makmur di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, sudah merasakan kenyalnya laba bisnis daur ulang ban. Dia telah menekuni bisnis daur ulang ban bekas ini sejak dua tahun lalu.Selain membeli ban bekas dari perorangan, dia juga membelinya dari berbagai perusahaan di Sumatera dan Kalimantan. "Di sana banyak perusahaan perkebunan dan pertambangan yang menggunakan mobil besar," katanya. Darmin lantas menggiling ban bekas itu di mesin pencacah. Hasilnya berupa butiran atau serbuk ban. "Mesinnya hasil desain saya sendiri," katanya.Setelah menjadi produk serbuk ban, Darmin menjual produknya itu ke sejumlah perusahaan yang membutuhkan, di antaranya, perusahaan sepatu dan sandal. "Serbuk ban tersebut untuk diolah lagi menjadi alas produk," imbuhnya.Selain produsen alas kaki, pelanggan Darmin adalah produsen karpet yang menggunakan serbuk ban sebagai salah satu bagian dasar produknya agar tidak licin. "Serbuk ban juga banyak dipakai pengelola lapangan futsal. Efeknya agar karpet futsal tidak licin dan tidak sakit," katanya.Darmin mengaku, dalam sebulan bisa menjual minimal hingga 100 ton serbuk ban. "Saya bisa menyediakan berapa pun jumlahnya," ujar dia.Harga jualnya bervariasi, tergantung tingkat kehalusan serbuk. Semakin halus serbuk ban maka harganya makin mahal. "Harganya berkisar Rp 2.700-Rp 5.000 per kilogram (kg)," katanya.Hitung punya hitung, Darmin bisa meraup pendapatan berkisar Rp 270 juta hingga Rp 500 juta per bulan dari penjualan serbuk ban.Pemain lain di bisnis serbuk ban adalah PT Alam Java Lestari di Surabaya, Jawa Timur. Zainal, staf pemasaran Alam Java, bilang, rata-rata serbuk ban yang banyak dipesan saat ini memiliki tingkat kehalusan 40 mesh-60 mesh. "Selain tingkat kehalusannya sedang, harganya juga ekonomis jika membeli banyak," katanya.Sama seperti Darmin, Zainal juga mematok harga serbuk ban yang paling halus atau berukuran 80 mesh sebesar Rp 5.000 per kg. Harga serbuk ban ukuran 40 mesh sekitar Rp 4.000 per kg. "Saat ini kami bisa menjual serbuk ban sekitar 4 ton per bulan," ujarnya.Dia mengaku, sebagian besar serbuk ban produksi Alam Java dijual ke perusahaan ban. Para produsen ban itu memanfaatkan serbuk ban untuk menekan biaya produksi ban baru. Namun, tentu saja, kualitas ban yang terbuat dari serbuk ban bekas, berbeda dengan produk yang menggunakan bahan baku karet alam. Harga karet sekarang sekitar Rp 33.000 per kg untuk kualitas ekspor. Kalau beli serbuk ban cuma Rp 4.000 per kg. "Jadi, produsen akan lebih memilih pakai serbuk ban," katanya.Bisnis daur ulang ban bekas yang cukup menjanjikan ini juga dilakoni oleh Yogi. Warga Solo, Jawa Tengah, ini baru setahun terakhir menjalani bisnis daur ulang ban bekas.Namun, banyaknya permintaan serbuk ban bekas membuatnya bisa menjual hingga 20 ton serbuk ban setiap bulan. Selama ini, Yogi memasarkan sebagian besar serbuk ban produksinya di wilayah Solo dan sekitarnya. Harga jual serbuk ban di sekitar lokasi usahanya tidak jauh berbeda dengan di daerah lain. "Hanya, harga jual di daerah Solo lebih berfluktuasi," imbuh Yogi.Yogi optimistis, dengan semakin mahalnya harga karet di pasaran, berbagai perusahaan yang menggunakan karet sebagai bahan baku utama akan beralih ke serbuk ban bekas. Alasannya, selain harganya lebih miring dari karet alam, serbuk ban bisa digunakan sebagai pendukung bahan baku utama produk berbahan karet. "Memang bukan bahan baku utama, tapi sebagai pendukung bahan baku utama," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mencacah ban bekas jadi lebih bernilai
Limbah ban bekas bisa diolah menjadi serbuk ban dan menjadi berbagai bahan baku aneka produk berbahan karet. Produsen serbuk ban bekas di Bekasi, Jawa Barat, sanggup menjual minimal 100 ton serbuk ban setiap bulan. Omzetnya bisa mencapai Rp 500 juta per bulan.Terus melarnya harga karet di pasar dunia, telah menggebuk sektor bisnis yang mengandalkan komoditas alam itu. Contohnya adalah bisnis serbuk ban.Para pengusaha ban selama ini mengandalkan pasokan bahan karet alam. Seiring kenaikan harga karet, mereka makin banyak melirik bahan baku karet hasil daur ulang ban bekas.Bagi pebisnis daur ulang ban bekas, ini adalah peluang besar. Darmin Leo, pemilik CV Gemilang R&P Jaya Makmur di Bekasi, Jawa Barat, misalnya, sudah merasakan kenyalnya laba bisnis daur ulang ban. Dia telah menekuni bisnis daur ulang ban bekas ini sejak dua tahun lalu.Selain membeli ban bekas dari perorangan, dia juga membelinya dari berbagai perusahaan di Sumatera dan Kalimantan. "Di sana banyak perusahaan perkebunan dan pertambangan yang menggunakan mobil besar," katanya. Darmin lantas menggiling ban bekas itu di mesin pencacah. Hasilnya berupa butiran atau serbuk ban. "Mesinnya hasil desain saya sendiri," katanya.Setelah menjadi produk serbuk ban, Darmin menjual produknya itu ke sejumlah perusahaan yang membutuhkan, di antaranya, perusahaan sepatu dan sandal. "Serbuk ban tersebut untuk diolah lagi menjadi alas produk," imbuhnya.Selain produsen alas kaki, pelanggan Darmin adalah produsen karpet yang menggunakan serbuk ban sebagai salah satu bagian dasar produknya agar tidak licin. "Serbuk ban juga banyak dipakai pengelola lapangan futsal. Efeknya agar karpet futsal tidak licin dan tidak sakit," katanya.Darmin mengaku, dalam sebulan bisa menjual minimal hingga 100 ton serbuk ban. "Saya bisa menyediakan berapa pun jumlahnya," ujar dia.Harga jualnya bervariasi, tergantung tingkat kehalusan serbuk. Semakin halus serbuk ban maka harganya makin mahal. "Harganya berkisar Rp 2.700-Rp 5.000 per kilogram (kg)," katanya.Hitung punya hitung, Darmin bisa meraup pendapatan berkisar Rp 270 juta hingga Rp 500 juta per bulan dari penjualan serbuk ban.Pemain lain di bisnis serbuk ban adalah PT Alam Java Lestari di Surabaya, Jawa Timur. Zainal, staf pemasaran Alam Java, bilang, rata-rata serbuk ban yang banyak dipesan saat ini memiliki tingkat kehalusan 40 mesh-60 mesh. "Selain tingkat kehalusannya sedang, harganya juga ekonomis jika membeli banyak," katanya.Sama seperti Darmin, Zainal juga mematok harga serbuk ban yang paling halus atau berukuran 80 mesh sebesar Rp 5.000 per kg. Harga serbuk ban ukuran 40 mesh sekitar Rp 4.000 per kg. "Saat ini kami bisa menjual serbuk ban sekitar 4 ton per bulan," ujarnya.Dia mengaku, sebagian besar serbuk ban produksi Alam Java dijual ke perusahaan ban. Para produsen ban itu memanfaatkan serbuk ban untuk menekan biaya produksi ban baru. Namun, tentu saja, kualitas ban yang terbuat dari serbuk ban bekas, berbeda dengan produk yang menggunakan bahan baku karet alam. Harga karet sekarang sekitar Rp 33.000 per kg untuk kualitas ekspor. Kalau beli serbuk ban cuma Rp 4.000 per kg. "Jadi, produsen akan lebih memilih pakai serbuk ban," katanya.Bisnis daur ulang ban bekas yang cukup menjanjikan ini juga dilakoni oleh Yogi. Warga Solo, Jawa Tengah, ini baru setahun terakhir menjalani bisnis daur ulang ban bekas.Namun, banyaknya permintaan serbuk ban bekas membuatnya bisa menjual hingga 20 ton serbuk ban setiap bulan. Selama ini, Yogi memasarkan sebagian besar serbuk ban produksinya di wilayah Solo dan sekitarnya. Harga jual serbuk ban di sekitar lokasi usahanya tidak jauh berbeda dengan di daerah lain. "Hanya, harga jual di daerah Solo lebih berfluktuasi," imbuh Yogi.Yogi optimistis, dengan semakin mahalnya harga karet di pasaran, berbagai perusahaan yang menggunakan karet sebagai bahan baku utama akan beralih ke serbuk ban bekas. Alasannya, selain harganya lebih miring dari karet alam, serbuk ban bisa digunakan sebagai pendukung bahan baku utama produk berbahan karet. "Memang bukan bahan baku utama, tapi sebagai pendukung bahan baku utama," tandasnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News