Mencari energi baru ekonomi



Pekan ini, tepatnya 27 September 2017, genap 21 tahun Tabloid KONTAN hadir di hadapan pembaca setia. Selama itu pula KONTAN menjadi saksi sejarah, yang merekam dan mengabarkan, bagaimana Indonesia bergulat menghadapi berbagai krisis ekonomi, moneter dan politik.

Selama 21 tahun berlalu, banyak hal berubah. Satu contoh, pergerakan kurs rupiah dan bursa saham. Dulu, setiap kali ada demonstrasi besar, indeks di bursa akan langsung anjlok dan kurs rupiah jatuh terpontal-pontal. Tapi belakangan, saat terjadi  demonstrasi berjilid-jilid, kurs rupiah anteng dan indeks saham bahkan menembus rekor tertinggi.

Namun, KONTAN juga mencatat ada berbagai persoalan mendasar yang tidak atau belum banyak berubah. Ini tampak dari tren penurunan pertumbuhan ekonomi yang terus berlangsung. Hampir dua puluh tahun reformasi, tapi pertumbuhan ekonomi belum bisa menyamai pertumbuhan sebelum krisis moneter (krismon) 1998.  Setelah terpuruk minus 13,13% di 1998, ekonomi memang tumbuh, tapi hingga kuartal kedua lalu pertumbuhannya hanya sekitar 5%, jauh dari 7%-8% di masa sebelum krismon.


Yang perlu dicatat, tren penurunan itu sudah terjadi jauh sebelum krismon 1998. Berdasar data yang dikumpulkan ekonom Faisal Basri, penurunan pertumbuhan ekonomi sudah terjadi dalam lima dekade terakhir. Sempat mencapai puncak di 1968 dengan pertumbuhan 12%, pertumbuhan ekonomi selanjutnya terus melorot hingga tinggal 5% sekarang ini. Pertumbuhan 5% ini bahkan lebih rendah dibanding tahun 1961 di mana ekonomi  tumbuh 6,1%.

Menipisnya ‘energi’ ekonomi menjadi penyebab turunnya kecepatan ekonomi berlari. Booming komoditas dasar dan upah murah yang dulu jadi bahan bakar ekonomi, sudah berlalu. Sementara pertumbuhan industri manufaktur kian menurun. Dalam kurun 1967-1997, manufaktur tumbuh rata-rata 10,9% per tahun. Memasuki era 2000-an, pertumbunannya mulai kedodoran. Di 2011, pertumbuhan sektor manufaktur hanya 6,26%, dan terus tergerus hingga tinggal 4,29% pada 2016, dan menipis lagi menjadi 4,21% pada kuartal I-2017 lalu.

Persoalan besarnya, hingga saat ini, PDB bertumpu kepada sektor manufaktur yang pertumbuhannya kian kerdil itu. Di 2016, manufaktur masih menjadi penyumbang  terbesar PDB, yakni 20,5%. Pelemahan industri ini pada gilirannya membuat pendapatan pajak sulit digenjot dan tax ratio turun.

Beragam faktor berjalin berkelindan, membuat sektor manufaktur sulit tumbuh subur, mulai dari perijinan, aturan yang tidak singkron, lemahnya daya saing, hingga belum jelasnya visi dan lanskap manufaktur Indonesia.

Ada begitu banyak masalah yang menuntut penyelesaian, sementara sumberdaya kita terbatas. Maka, pemerintah harus mampu menentukan prioritas, yakni fokus pada sumber energi baru yang bisa membuat ekonomi melompat. Banyak yang meyakini, ekonomi digital adalah sumber energi baru itu. Di era digital ini, semua hal berubah, sehingga perlu pendekatan dan strategi baru untuk menjalaninya.

Di saat Indonesia kini sibuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrasruktur darat dan laut, negara lain sudah getol mengembangkan infrastruktur digital, melapangkan bandwidth, komputasi awan, hingga kecerdasan buatan. Apakah kita akan kembali tertinggal, lalu mengejar dengan langkah terseok-seok di era ekonomi digital? Sungguh, kami berdoa, agar di ulang tahun KONTAN berikutnya, berita baik dan gairah energi baru pertumbuhan ekonomi yang akan kita bicarakan di kolom ini.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi