KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Seperti sudah diprediksi, kurs rupiah terperosok usai libur lebaran. Kamis (21/6), kurs spot rupiah melemah 1,22% ke Rp 14.102 per dollar Amerika Serikat (AS). Usai The Federal Reserve menaikkan suku bunga pekan lalu, dollar AS memang terus menguat. Indeks dollar AS menguat sekitar 1,8% pasca kenaikan suku bunga acuan di Negeri Paman Sam tersebut. Selain terkena sentimen kenaikan Fed
fund rate, rupiah juga terpukul ketidakpastian yang muncul akibat perang dagang antara AS dan China. Kombinasi sentimen negatif ini menimbulkan efek domino.
Pelemahan kurs rupiah membuat dana investasi asing keluar dari Indonesia. Keluarnya dana asing tersebut membuat pasar finansial Indonesia terkoreksi. Ekonom Bank Permata Josua Pardede memprediksi, jika rupiah terus terkoreksi, Bank Indonesia akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pekan depan. Hitungan Josua, BI 7-day repo rate (7-DRR) bakal naik 25 basis poin lagi. Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Lana Soelistianingsih juga meyakini bank sentral bakal menaikkan lagi suku bunga acuannya dalam waktu dekat. BI sendiri sudah memberi sinyal terkait kenaikan tersebut. BI sebaiknya menaikkan suku bunga acuan secara gradual, karena fundamental Indonesia sebenarnya tidak buruk, ujar dia, Kamis (21/6). Keputusan sulit Kepala Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) Febrio Kacaribu menghitung, untuk menjaga nilai tukar rupiah, jika The Fed menaikkan suku bunga 100 bps sepanjang tahun ini, BI setidaknya perlu menyamai kenaikan tersebut.
Namun, kebijakan BI menaikkan suku bunga acuan tersebut sebenarnya cukup dilematis. Di satu sisi, kenaikan suku bunga acuan dapat menjadi obat penawar terhadap koreksi nilai tukar rupiah. Di sisi lain, jika suku bunga acuan tumbuh terlalu tinggi, hal tersebut berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan. Menurut analisa Fabrio, kenaikan BI 7-DRR bisa menimbulkan dampak antara lain turunnya
net interest margin sektor perbankan. Pada akhirnya, hal ini akan menyebabkan target pertumbuhan kredit di 2018 sulit tercapai. "Ini juga bisa menghambat pertumbuhan ekonomi yang dipatok 5,2%," jelas dia. Namun, jika valuasi rupiah tidak dijaga, neraca perdagangan bakal tertekan. Ujung-ujungnya, ini juga menghambat ekonomi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto