Mencari payung perlindungan



Setelah dikejutkan dengan kondisi likuiditas PT Asuransi Jiwasraya, publik kembali  diguncang kabar dari Asuransi Jiwa Bumiputera (AJB) 1912. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini mengumumkan AJB Bumiputera memiliki manajemen baru, menggantikan pengelola statuter yang sudah 2 tahun di perusahaan asuransi berusia 106 tahun ini.

Kehadiran direksi baru ini menjadi babak baru penyehatan AJB Bumiputera. Jika merujuk catatan saya, sebelum 2016,  direksi AJB berganti saban tahun. Salah satu alasan yang acap dipakai adalah masalah solvabilitas di asuransi berbentuk mutual,  dimiliki bersama oleh pemegang polis.

Solvabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi semua kewajibannya. Mengacu Peraturan OJK No 1/ 2018, kewajiban perusahaan asuransi mutual memenuhi tingkat solvabilitas minimal 100% dari dana minimum berbasis risiko yang harus ditanggung perusahaan.


Mengacu keterangan direksi AJB Bumiputera, tahun 2012, kewajiban AJB segede Rp 22,77 triliun. Tahun 2016, kewajiban AJB punya dua angka berbeda Rp 10 triliun dan Rp 12 triliun. Publikasi laporan keuangan AJB di kuartal III-2015 tak menyebut terang soal ini. Data yang ada  hanya perolehan premi Rp 4,5 triliun serta hasil investasi Rp 519 miliar, tumbuh 32,81% dibanding periode sama 2014.

Dengan kondisi tersebut, tahun 2016, OJK tiba-tiba mengumumkan pengambilalihan AJB. Lagi-lagi  soal solvabilitas menjadi alasan. Pengelola statuter pun ditempatkan. Penyehatan AJB oleh statuter saat itu melibatkan konsultan internasional. Aneka skenario penyehatan solvabilitas dibikin, sebagian malah sudah dijalankan seperti masuknya calon investor, restrukturisasi aset-aset AJB dengan membentuk tiga anak usaha baru. Adapun yang batal adalah rencana right issue nan jumbo Rp 30 triliun.

Puncaknya 10 Januari 2018, pengelola statuter membatalkan kerjasama dengan PT Evergreen Invesco Tbk. Efeknya, AJB harus mengembalikan suntikan dana Rp 536 miliar. Padahal, sebagai bagian restrukturisasi, AJB sudah kehilangan 1.100 karyawan yang ditempatkan di perusahaan baru PT Asuransi Jiwa Bumiputera, yang kini bersulih nama menjadi Asuransi Jiwa Bhinneka (Bhinneka Life).

AJB 1912 juga harus menghadapi klaim gede dari pemegang polis. Merujuk peryataan Ketua OJK Wimboh Santoso, hingga 9 Mei 2018, pengajuan klaim Rp 2,4 triliun dari  175.251 pemegang polis. Dari jumlah itu, yang belum  dibayar Rp 1,03 triliun!  Data terbaru, sampai pertengahan Oktober, klaim yang sudah dibayar AJB Rp 3,2 triliun.  

Selama ratusan tahun beroperasi, AJB memang berbeda bentuk dengan asuransi lain yang berbentuk PT. Ini pula sejatinya masalah AJB. Pemerintah dan DPR tak kunjung menjalankan perintah Mahkamah Konstitusi (MK) untuk segera membentuk landasan hukum perusahaan  mutual. Padahal putusan MK atas perintah itu sudah diketok sejak 3 April 2014. Batas waktu membuat aturan adalah 2,5 tahun setelah putusan 3 April 2014.

Landasan hukum ini penting dibuat agar perusahaan dengan sistem mutual beroperasi berlandaskan aturan. Kekosongan aturan ini menjadikan AJB, sebagai satu-satunya perusahaan berbentuk mutual ini rawan dengan berbagai kepentingan dan keinginan. Dan, nasib pemegang polis AJB terus dalam pertaruhan.   

Kondisi ini berbeda kasus dengan pemegang polis PT Asuransi Jiwasraya yang kini menghadapi persoalan likuiditas.  Jiwasraya adalah BUMN yang 100% sahamnya dimiliki negara. Masalah mini modal, minim likuiditas, penanggungjawabnya jelas.  Yakni pemerintah, dalam hal ini diwakili Kementerian BUMN. Beda dengan pemegang polis AJB. Sulit bagi mereka minta payung perlindungan.•

Titis Nurdiana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi