KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perdebatan terkait seberapa besar pengaruh social-commerce dalam perjalanan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia makin santer. Hal ini terjadi bersamaan dengan berkembangnya isu transaksi di pasar Tanah Abang yang tergolong sepi. Lantas, idEA pada Senin (25/9) menggelar focus discussion group (FGD) dengan sejumlah pihak dari pemangku kebijakan, pelaku usaha, pelaku industri digital, hingga pengamat untuk membahas permasalahan tersebut. Wakil Ketua Umum idEA, Budi Primawan mengatakan, media dan banyak meja diskusi belakangan membahas dukungan dan keberatan terkait keberadaan social-commerce yang dinilai merugikan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Taburan aneka produk dengan harga sangat murah di social-commerce dituding menjadi penyebab sepinya penjualan produk lokal milik pengusaha UMKM.
Baca Juga: Sudah Ada Transaksi Jual Beli, Mengapa TikTok Shop Belum Dikenai Pajak E-Commerce? Pengumpulan dan transfer data yang diduga terjadi dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya penjualan di social-commerce. Hal ini disinyalir berujung pada berseliwerannya produk impor, baik legal maupun ilegal, dengan harga yang tidak masuk akal karena sangat murah. Pengamat industri digital, Ignatius Untung menyatakan, pro-kontra sebenarnya tidaklah perlu. Transfer data ini dilakukan semua platform digital untuk relevansi pencarian yang juga membantu konsumen. "Pemilik Google, e-commerce, media sosial memang berbeda, tapi mereka melakukan hal yang sama," ujar dia dalam siaran pers yang diterima Kontan, Rabu (27/9). Menurut Ketua Umum Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) Harris Sofyan Hardwin, hal yang dikhawatirkan para pelaku UMKM adalah pemain-pemain besar mampu mengikuti perkembangan dengan ikut program afiliator. “Pemain besar mungkin bisa mendorong tayangnya produk, banting harga, dan lain sebagainya," tuturnya.
Baca Juga: Ninja Xpress Ajak Mitra Ninja Berkembang & Sukses Bersama lewat Kemitraan Strategis Di sisi lain, Harris menyatakan, banyak pelaku UMKM yang mengeluh mau mencoba bertransformasi tapi kurang literasi. Banyak juga yang live di Tiktok Shop, tapi secara penjualan belum maksimal. Oleh karena itu, perlu pelatihan dan program literasi digital utamanya untuk UMKM di daerah supaya mereka mendapatkan manfaat yang optimal dari social-commerce Ketua Bidang Business & Development idEA Mohammad Rosihan menilai, masalah yang terjadi bukan semata lantaran adanya peralihan perilaku konsumen ke digital. Salah satu penyebab pasar Tanah Abang sepi adalah menurunnya pembelian dari pelaku usaha di daerah. “Kami tidak lagi banyak yang membeli ke Tanah Abang, karena penjualan di daerah juga sepi. Mungkin ini juga menyangkut turunnya daya beli,” ungkapnya. Salah satu pelaku usaha yang menggunakan semua kanal digital, Andre, mengaku memperoleh keuntungan dengan memanfaatkan social-commerce. Dia menilai, dengan sistem algoritma yang diberlakukan, penjualannya bisa terdongkrak. Andre menjelaskan produk yang ia jual merupakan hasil kerja sama dengan konveksi lokal. Jadi, pihaknya juga membantu mendorong penjualan produk dalam negeri. “Kami menjual dengan harga dengan keuntungan yang tidak terlalu besar, tapi penjualan bisa banyak," imbuh dia. Memang, lanjut dia, terdapat insentif diskon dari platform tersebut, namun kuotanya terbatas.
Baca Juga: Ninja Xpress Targetkan Buka Lebih dari 400 Agen Pengiriman Baru Di lain pihak, revisi Peraturan Menteri Perdagangan RI (Permendag) No. 50 Tahun 2020 sangat dinanti untuk kejelasan aturan operasional social-commerce. Direktur Perdagangan Melalui Sistem Elektronik dan Perdagangan Jasa Kementerian Perdagangan Rifan Ardianto mengatakan aturan tersebut sudah siap. “Sudah selesai harmonisasi. Sudah keluar surat persetujuan presiden. Tinggal mengajukan ke Kemenkumham,” ucapnya. Kemendag berupaya tidak ada bisnis yang menguasai dari hulu ke hilir. Alhasil, pemerintah berusaha membuat definisi yang tegas terkait retail online, marketplace, social-commerce. Rifan menjelaskan, akan ada tindak lanjut revisi Permendag tersebut melalui komunikasi dengan Kemenkominfo terkait strategi mengidentifikasi platform media sosial dan lainnya. Kemendag juga masih akan komunikasi dengan pelaku industri digital. Hal senada diamini Direktur Ekonomi Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika I Nyoman Adhiarna. Kemenkominfo memiliki wewenang pada penguatan ekosistem e-commerce. Dalam hal ini, Kemenkominfo mengatur hardware, software, tata kelola, dan orang.
Baca Juga: Indonesia Begins Trading Carbon Dioxide Emissions Credits Adapun Wakil Ketua Umum idEA Hilmi Adrianto berharap masih ada ruang diskusi terkait penerapan tevisi Permendag No. 50/2020. IdEA yang mewakili para pelaku industri ekonomi digital siap untuk bisa duduk bersama pemangku kebijakan untuk mencari cara terbaik dan tepat untuk menerapkan aturan yang bisa mendorong lajunya pertumbuhan ekonomi digital Indonesia. idEA dan seluruh anggotanya tentu akan tetap patuh pada peraturan yang berlaku di Indonesia. “Untuk bisa menindaklanjuti penerapannya, kami berharap untuk bisa mendapatkan peraturan ini secara lengkap. Kami akan mengkaji apa saja yang perlu dilakukan nantinya," pungkas dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli