Mencermati Harbolnas



KONTAN.CO.ID - Hari hari ini, pelaku usaha e-commerce Tanah Air tengah bersiap-siap mengadakan hajatan besar belanja online nasional atau dikenal dengan Harbolnas. Hajatan Harbolnas ini diharapkan bisa mendongkrak penjualan mereka di ujung tahun, di tengah lesunya pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Hajatan Harbolnas yang di inisiasi oleh pelaku e-commerce dalam negeri sejak 2012, terus diminati konsumen. Tahun ini sekitar 300 platform bakal meramaikan momen Harbolnas ke 9 yang akan berlangsung ke-9 tahun 2019 yang akan digelar pada 11-12 Desember 2019.

Penyelenggara Harbolnas 2019 berharap nilai transaksi meningkat dari tahun lalu menjadi Rp 7,8 triliun atau naik hampir 15% dari tahun lalu sebesar Rp 6,8 triliun. Memang dari tahun ke tahun nilai transaksi terus naik, yakni Rp 4 triliun pada 2017


Harbolnas di Indonesia memang tak lepas dari pengaruh kegiatan serupa di negara-negara lain. Misalnya kali terakhir di Amerika Serikat yang mendongkrak penjualan ritel pada Hari Thanksgiving yang biasa disebut dengan Black Friday mencapai US$ 11,6 miliar.

Tak puas dengan nilai transaksi yang tidak fantastis, peritel di Amerika kembali menggelar menggelar Cyber Monday pekan lalu dengan hasil transaksi sebesar US$ 9,4 miliar atau naik 19%.

Meskipun transaksi ritel di Amerika sedikit naik tapi belum mengalahkan transaksi yang digelar Grup Alibaba di pasar China. Gelaran Harbolnas ala China yang gelaran yang dilakukan oleh Grup Alibaba US$ 38,8 miliar atau setara RMB 268,4 miliar dalam sehari. Hari belanja yang sebelumnya untuk menghibur para jomblo di China tahun ini dinamai Global Shopping Festival 11.11 mengalami kenaikan 24,58% jika dibandingkan dengan 2018.

Yang membedakan Harbolnas ala China, Amerika Serikat atau Indonesia adalah darimana asal produk tersebut. China menyataan membuka diri bagi brand global untuk memenuhi permintaan dalam negeri mereka yang sangat besar. Tapi tentu saja mereka menentukan persyaratan kualitas.

Sementara Amerika cenderung menutup diri dengan mengenakan bea masuk tinggi terhadap produk-produk dari luar. Karena negeri itu ingin industri dalam negerinya bisa menikmati pasanya sendiri.

Sedangkan Indonesia kondisinya miris. Hanyak 6%-7% produk yang dijual industri e-commerce Indonesia adalah produk impor. Indonesia lebih nyaman jadi pedagang ketimbang menjadi produsen di negeri yang punya pasar 270 juta jiwa.

Penulis : Syamsul Ashar

Redaktur Pelaksana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti