Mencermati Prospek Sukuk Ketengan



JAKARTA. Pemerintah makin bertekad bulat menerbitkan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) untuk ritel. Menurut rencana, pemerintah akan menerbitkan produk yang ngetop dengan sebutan sukuk ritel ini tahun depan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto menjelaskan, sukuk ritel ini pada dasarnya mirip dengan Obligasi Negara Ritel (ORI) yang diterbitkan pemerintah sebelum ini. "Rencananya, sukuk ritel akan diterbitkan pada akhir Februari 2009," jelas Rahmat di Jakarta, kemarin. Penawaran akan berlangsung selama satu bulan.

Nantinya, sukuk ritel akan ditawarkan di harga Rp 1 juta per unit. Namun pemerintah mematok nilai minimal pembelian sebesar Rp 5 juta.


Untuk mendukung penerbitan instrumen investasi ini, pemerintah menggunakan aset dasar alias underlying asset senilai Rp 13 triliun. Aset ini berbeda dengan aset dasar untuk penerbitan SBSN sebelumnya.

Saat ini, pemerintah masih berusaha mencari agen penjual sukuk ritel. Menurut Rahmat, saat ini setidaknya sudah ada 13 perusahaan sekuritas dan delapan bank mendaftarkan diri untuk menjadi agen penjual obligasi ritel syariah tersebut. Dua di antaranya adalah bank syariah. Rahmat menuturkan, pemerintah belum menentukan jumlah agen penjual untuk produk tersebut.

Perhatikan juga risikonya

Para analis menyambut baik rencana pemerintah menerbitkan sukuk ritel tersebut. Sukuk ketengan ini nantinya bisa menambah pilihan instrumen investasi oleh investor.

Diharapkan juga ini juga akan menjaring investor konvensional sekaligus investor syariah. "Sukuk ritel ini, kan, bebas riba," cetus Handy Yunianto, analis obligasi Mandiri Sekuritas.

Namun sebelum memutuskan untuk berinvestasi ke dalam produk ini, ada beberapa hal yang harus investor perhatikan. Pertama, berapa besar keuntungan alias return produk tersebut. Kedua, apa risiko produk tersebut. Ketiga, sesuaikan karakteristik investor dengan waktu jatuh tempo produk tersebut.

Menurut Roy Sembel, Chief Research Officer CAPITAL PRICE (Capital Market, Portfolio Investment, Corporate Finance, and Economics), dalam kondisi likuiditas di pasar yang masih ketat, investor kemungkinan besar akan meminta imbal hasil tinggi.

Dus, kalau pemerintah menetapkan imbal hasil rendah, produk tersebut tidak akan banyak diminati investor. Alhasil, pasar sekundernya bisa jadi tak likuid. "Jadi kalau investor mau keluar dia akan kesulitan," terang Roy.

Agar produk ini bisa menarik investor untuk berinvestasi, pemerintah harus berani memberikan imbal hasil alias yield yang lebih besar dibandingkan keuntungan yang diberikan oleh deposito. Handy menyarankan pemerintah mengacu kepada kupon yang diberikan oleh ORI005 sebelum ini.

Sekadar mengingatkan, ORI005 memberikan kupon sebesar 11,45%. Namun angka tersebut lebih kecil kalau dibandingkan dengan imbal hasil yang diberikan oleh SBSN yang sudah terbit. Saat ini, yield IFR0001 yang bertenor 7 tahun mencapai 15,9%.

Mengenai jangka waktu, Handy menilai sukuk ritel ini sebaiknya memiliki jangka waktu tiga tahun. Sementara ORI005 memiliki jangka waktu investasi sampai lima tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Didi Rhoseno Ardi