Mencermati tren IPO bank syariah



KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Tahun ini, sedikitnya ada dua bank syariah yang berminat mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau initial public offering (IPO). Mereka adalah PT Bank BRI Syariah Tbk dan PT Bank Tabungan Pensiun Nasional Syariah (BTPN Syariah).

Hari ini (5/4), BRI Syariah usai menggelar due dilligence meeting. Dari pertemuan tersebut, perusahaan akan menawarkan saham pada rentang Rp 505- Rp 650. Rencananya perusahaan akan melepas sekitar 2.623.350.600 saham atau sekitar 27% dari seluruh modal ditempatkan dan disetor BRI Syariah setelah IPO. Artinya, perusahaan ini mengincari dana IPO berkisar Rp 1,32 triliun sampai Rp 1,70 triliun.

Sedangkan BTPN Syariah siap menggelar IPO dengan rencana penerbitan 770.370.000 saham baru atau sekitar 10% dari modal ditempatkan dan disetor. Perusahaan ini menetapkan perkiraan harga IPO sebesar Rp 900 - Rp 980 per saham. Lewat aksi ini, BTPN Syariah mengincar dana sebesar Rp 693,33 miliar sampai Rp 754,96 miliar.


Sebelumnya di pasar, sudah ada PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk (PNBS) yang melantai pada 15 Januari 2014. PNBS melepas saham IPO kala itu pada harga Rp 100. Pada tahun 2017, emiten ini mencatat kerugian Rp 968 miliar. Kerugian ini berbanding terbalik dengan laba bersih yang dicatat Rp 20 miliar sepanjang 2016.

Teuku Hendry Andrean, Research Manager Shinhan Sekuritas Indonesia menyatakan secara umum BRI Syariah bisa jadi cukup menarik karena membawa nama besar BRI. Namun menurutnya, persoalan yang terjadi pada bank-bank syariah yakni adanya non performing loan (NPL) atau non performing financing (NPF) yang tinggi.

“Ini mungkin akan menjadi pertimbangan investor untuk melakukan investasi jangka panjang,” kata Teuku kepada KONTAN, Kamis (5/4).

Untuk itu, kepada perusahaan yang ingin IPO, khususnya BRI Syariah dia melihat cenderung untuk jangka pendek. Sampai perusahaan tersebut bisa menurunkan tren kenaikan NPF selama tiga tahun terakhir. “BRI Syariah punya posisi tawar yang lebih bagus dibanding BTPN Syariah yang sama-sama mau IPO,” tambahnya.

BRI Syariah sendiri berencana menggunakan 80% dana IPO untuk meningkatkan penyaluran pembiayaan syariah. Selanjutnya sekitar 12,5% untuk pengembangan sistem teknologi informasi, dan 7,5% untuk pengembangan jariangan kantor cabang dari Sumatera sampai Papua.

Besarnya alokasi untuk penyaluran pembiayaan, mengindikasikan adanya upaya ekspansi BRI Syariah pada pembiayaan. “Kami harapkan ekspansi pembiayaan ke industri memang prospektif sehingga tidak menambah tingkat NPF yang masih dalam level cukup tinggi,” tambahnya.

Selain NPL, pelaku pasar juga dianjurkan untuk memperhatikan price to book value (PBV) bank tersebut. PBV yang lebih murah, tentu akan lebih menarik. “Kalau rata-rata PBV industri perbankan sekarang 1,66 kali. Sepertinya BRI Syariah tidak jauh dari situ,” imbuhnya.

Teuku berpendapat, prospek perbankan syariah seharusnya positif. Hal ini mengingat umat muslim di Indonesia termasuk terbesar di dunia. Hanya saja, menurutnya masih banyak yang belum mengetahui ekonomi atau perbankan syariah. “Kurangnya sosialisasi soal ekonomi syariah, membuat tantangan industri masih besar,” lanjutnya.

Dia melanjutkan, masih besarnya kredit macet yang terjadi pada perbankan syariah bisa dipengaruhi oleh kurangnya sosialisasi tentang ekonomi syariah di masyarakat. “Bisa jadi juga karena industrinya,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Markus Sumartomjon