Mencicip kuliner khas Minang di Jakarta (2)



KONTAN.CO.ID - Sentra kuliner khas minang yang terletak di Jalan Kramat Raya, Jakarta pusat baru-baru ini direnovasi oleh pemerintah, bekerjasama dengan pihak swasta. Warna cat deretan gerai yang tadinya pudar, kini menjadi lebih cerah dengan warna merah. Ditambah pencayahaan yang pas, tampilan gerai pun langsung memikat mata.

Dengan tampilannya yang segar ini, sentra ini berhasil menyedot lebih banyak pengunjung. "Pengunjung makin tertarik singgah dan makan di sini, karena bersih dan terang," tutur Budi Sayoga, pemilik gerai Bareh Solok di sentra tersebut.

Biaya sewa lapak di sentra ini terjangkau, sebesar Rp 110.000 per bulan. Pembayaran disetor langsung ke Bank DKI. Namun, meski biaya sewa terjangkau, ternyata pedagang masih menanggung biaya lain yang ditarik tiap hari. "Istilahnya, biaya retribusi keamanan. Per hari besarnya Rp 30.000-Rp 50.000. Tapi yang narik bukan dari Pemda," kata Budi.


Sutiya, pedagang Lemang yang membuka gerai di sentra Kramat Raya juga menuturkan hal yang sama. Baginya, biaya retribusi tidak jelas seperti itu memberatkan dirinya yang hanya berdagang lemang dan kue-kue basah. "Kalau yang jual nasi kapau mungkin omzetnya lebih besar dari kami yang hanya jual lemang seperti ini," jelasnya. Ia pun seringkali menawar sesuai dengan perolehan omzetnya.  

Setiap kali ada pengunjung datang, karyawan gerai dengan sigap akan mempromosikan sajian andalan mereka. Dengan harapan, pengunjung itu mampir ke gerainya. Persaingan nampak sangat ketat karena produk kuliner yang dijual dari satu gerai dan gerai lainnya hampir sama. Yang bisa membedakan hanya selera pengunjung.

Budi mengatakan persaingan antar gerai nasi kapau di sentra tersebut bisa dikatakan kurang sehat. Sejumlah pelaku usaha ada yang mengandalkan kualitas citarasa masakan, tapi ada juga yang menempuh cara lainnya. "Di sini persaingan sangat tak sehat. Tapi saya berusaha menjaga diri saja dan percaya kalau rejeki sudah ada yang mengatur. Selain itu saya terus menjaga  citarasa makanan," katanya.

Di gerai Budi sang istrilah yang meracik bumbu untuk mengolah aneka lauk pauk khas Minang. Demi menyajikan citarasa nan otentik, sang istri kerap mengikuti kursus dan sertifikasi untuk meningkatkan mutu masakan. "Saya ingin gerai saya harus tetap profesional dan mengutamakan mutu," ujarnya.

Berbeda dengan Budi, Sutiya jusgru tak merasakan adanya persaingan ketat. Ia merasa tiap penjual lemang yang ada di sentra tersebut sudah memiliki pelanggannya sendiri-sendiri. Jadi mau seketat apapun persaingan, ia mengaku selalu memiliki pelanggan tetap.

"Namanya selera orang beda-beda. Jadi meskipun saingan atau gimana, masing-masing sudah ada langganannya. Malah kadang kalau lemang saya kurang, saya ambil dari pedagang lain," tuturnya.        

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.