Mencicipi laba usaha kuliner tanpa kedai



KONTAN.CO.ID - Zaman memang berubah. Dulu, untuk bisa membangun sebuah usaha kuliner yang sukses, salah satu pendorongnya adalah punya restoran atau kedai yang luas dengan posisi strategis.

Sekarang, seiring perilaku konsumen yang mulai berubah, untuk bisa menjalankan roda bisnis kuliner, pelaku usaha enggak perlu repot-repot lagi memikirkan tempat yang luas. Cukup sediakan lokasi mini berfungsi sebagai dapur.

Bahkan, pelaku usaha bisa menjalankan bisnis kuliner dari rumah masing-masing, dengan memanfaatkan dapur yang ada untuk tempat memasak. Alhasil, mereka tinggal memikirkan, bagaimana bisa membuat makanan yang enak-enak dan bikin pelanggan ketagihan.


Gilang Margi Nugroho dan Rachman Abdul Rachim menggunakan strategi itu untuk merintis dan mengembangkan bisnis kuliner mereka dengan bendera Kepiting Nyinyir. Dengan mengandalkan konsep bisnis tanpa restoran dan hanya melayani pemesanan untuk dibawa pulang atawa take away, mereka sukses menjual hingga ratusan porsi per hari.

Keduanya memulai bisnis ini akhir 2016 lalu. Gilang dan Rachman membangun usaha kuliner tanpa restoran setelah melihat banyak konsumen yang ingin makan bareng di sebuah tempat di Jakarta tapi gagal.

Contoh, makanan sudah habis atau kedai telah tutup. Gara-garanya, mereka terlambat sampai akibat lalulintas ke tempat makan itu sangat macet.

Ide pun muncul dalam benak Gilang dan Rachman, membuat usaha kuliner yang tidak menawarkan konsep makan di tempat alias tanpa restoran. Jadi, konsumen enggak perlu bermacet-macet ria untuk bisa menikmati makanan favorit.

Cukup duduk manis di rumah atau di kantor, makanan kesukaan yang akan datang menghampiri mereka. Jadi, mereka tetap bisa makan bareng dengan keluarga atawa teman. “Kami ingin jadi bagian dari solusi, kalau buka restoran, kan, pelanggan harus butuh usaha untuk datang,” kata Gilang.

Walhasil, Gilang dan Rachman hanya menyiapkan tempat kecil sebagai dapur sekaligus lokasi pengambilan makanan pesanan. Saat ini, dapur Kepiting Nyinyir bercokol di Duren Sawit, Jakarta Timur, dan Bintaro, Tangerang Selatan.

Pangkas biaya

Meski begitu, lokasi dapur mereka strategis, di pinggir jalan raya. Ini guna memudahkan pengambilan pemesanan sekaligus untuk semakin melambungkan nama Kepiting Nyinyir.

Gilang dan Rachman bisa memotong biaya sewa tempat yang mahal karena tempatnya enggak luas. Mereka juga enggak perlu keluar duit untuk renovasi dan membeli perlengkapan, seperti piring dan gelas, serta kursi dan meja makan.

Sesuai namanya Kepiting Nyinyir menawarkan makanan olahan kepiting. Selain itu, ada juga yang berbahan baku udang dan kerang. Harganya, mulai  Rp 65.000 hingga Rp 295.000 per porsi. “Namun, satu porsi bisa untuk disantap sama tiga orang,” ungkap Gilang.

Kini dalam sehari, penjualan Kepiting Nyinyir bisa mencapai 200 porsi atau 6.000 porsi per bulan. Adapun masakan paling favorit adalah kepiting saus padang seharga Rp 179.000 yang dalam sebulan bisa laku hingga 3.000 porsi. “Margin usaha kami 40%–50%,” sebut Gilang.

Bagi yang hobi masak dan punya resep turun-temurun, Anda bisa mengikuti jejak Gilang dan Rachman tanpa perlu membangun dapur baru di pinggir jalan. Anda bisa memanfaatkan dapur di rumah.

Bahkan, Anda enggak perlu memasarkan memasarkan masakan. Caranya, dengan bergabung di aplikasi pemesanan makanan seperti Madhang.

Suratni asal Yogyakarta, salah satu yang jadi mitra Madhang. Ia menawarkan aneka masakan khas Jogja, mulai gudeg, krecek, oseng-oseng mercon, hingga bakmi melalui aplikasi besutan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo tersebut.

Lewat Madhang, Suratni tidak perlu membuka kedai termasuk mengantarkan makanan pesanan ke pelanggan. Untuk bergabung di aplikasi pemesanan masakan rumahan khas Indonesia itu, ia cukup mendaftar via online. “Mitra mengisi data diri, lokasi dapur, fasilitas, dan menu apa saja yang disediakan,” ungkap Suratni.

Ojek online

Dengan menjadi mitra Madhang yang dalam bahasa Jawa berarti makan, Suratni bilang, dirinya bisa fokus memperbaiki kualitas makanan. Soalnya, dia enggak perlu pusing-pusing memikirkan pemasaran dan pengiriman pemesanan. Untuk pengiriman, Madhang menggandeng ojek online.

Suratni hanya perlu membayar Rp 1.000 dengan sistem isi ulang (top-up) tiap kali mengunggah foto makanan di aplikasi yang diluncurkan awal 2018 itu. Sedang untuk bergabung menjadi mitra, tidak dipungut biaya sepeser pun.

Segendang sepenarian, Kepiting Nyinyir juga mengandalkan ojek daring untuk mengantarkan pesanan ke pelanggan. Apalagi, keunggulan ojek online bisa masuk ke gang-gang kecil. “Ini memudahkan pengiriman,” imbuh Gilang.

Untuk itu, Kepiting Nyinyir menjalin kongsi dengan perusahaan penyedia transportasi berbasis aplikasi. Sehingga, Gilang harus menyisihkan 10%–15% dari penjualan mereka kepada Grab dan Go-Jek. “Sistem profit sharing,” ujarnya.

Selain dengan ojek online, Gilang juga menggandeng berbagai marketplace untuk memasarkan produknya. Mulai Shopee, Tokopedia, hingga Bukalapak menjadi mitra mereka. Tetapi, untuk kerjasama ini tak dipatok biaya tertentu.

Gilang mengatakan, kerjasama dengan ojek online dan marketplace merupakan hal wajib yang harus pelaku usaha lakukan di bisnis kuliner tanpa restoran. Itu lumrah, mengingat mereka sudah bisa memangkas biaya sewa tempat dan perlengkapan makan.

Sehingga, biaya pemasaran bisa dioptimalkan ke saluran online. Rata-rata dalam sebulan, Gilang mengeluarkan Rp 1 juta hingga Rp 5 juta untuk biaya marketing.

Di awal, Gilang menyarankan, untuk mempromosikan produk, pelaku usaha bisa mengundang teman terdekat untuk mencicipi masakan gratis. Tapi, mereka harus memotret makanan dan mengunggahnya di akun media sosial masing-masing.

Menurut Gilang, cara itu berhasil untuk Kepiting Nyinyir. Dengan hanya keluar modal sebesar Rp 3 juta untuk mengundang 30 teman terdekat makan gratis, nama Kepiting Nyinyir langsung terangkat. “Dalam waktu hanya dua hari sudah balik modal,” katanya.

Kini, Gilang mempekerjakan karyawan sebanyak 16 orang yang sebagian adalah juru masak. Mereka bekerja secara bergiliran alias shift di dua dapur Kepiting Nyinyir yang ada di Duren Sawit dan Bintaro.

Bisnis kuliner enggak perlu keluar modal gede, kan?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: S.S. Kurniawan