JAKARTA. Banyak orang belum mengenal PT Harapan Borneo International. Maklum, perusahaan ini tergolong baru di bisnis pertambangan batubara. PT Harapan Borneo merupakan perusahaan eksplorasi batubara yang bermarkas di Samarinda, Kalimantan Timur (operasional) dan Jakarta (manajerial). Kelahiran dan sepak terjang PT Harapan Borneo tak lepas dari sentuhan tangan dingin sang pemilik, yakni Honardy Boentario. Merintis usaha tahun 2008, kini usahanya mulai menunjukkan hasil. PT Harapan Borneo sudah menjadi induk perusahaan dari tujuh anak usaha. Semua perusahaan itu masih bergerak di sektor pertambangan batubara. Lewat tujuh anak usaha itu, kini Honardy menguasai sebanyak lima konsesi pertambangan (KP).
Dari lima KP itu, tiga di antaranya berlokasi di wilayah Kutai Timur, Kalimantan Timur, dengan luas wilayah tambang masing-masing 5.800 hektar (ha), 6.100 ha dan 11.600 ha. Selebihnya berada di Samarinda, Kalimantan Timur dengan luas lahan tambang mencapai 300 ha. Satu lagi di daerah Tanah Grogot, Paser, Kalimantan Timur. "Namun yang baru beroperasi baru satu, yang 300 ha di Samarinda," ujarnya. Dari satu konsesi itu, PT Harapan Borneo mampu memproduksi batubara sebanyak 150.000 ton hingga 200.000 ton per bulan. Mayoritas batubara tersebut diekspor ke India dan China. Kendati semua perusahaannya bergerak di sektor pertambangan batubara, ada beberapa yang tidak bergerak langsung di sektor tambang. Salah satunya adalah PT Harapan Bumi Lestari yang bergerak di bidang reklamasi areal tambang. Perusahaan ini malah tidak mengejar laba. "Awalnya di kampung halaman saya banyak areal pertambangan timah yang ditinggalkan begitu saja. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana jika putri saya tinggal di tempat bekas saya menambang," kata pria kelahiran Pangkal Pinang ini. Untuk keperluan reklamasi bekas areal pertambangan itu, perusahaan ini melakukan pembibitan pohon, seperti sengon, eukaliptus dan lain-lain. Lahan pembibitannya seluas 4 ha di Samarinda, Kalimantan Timur. Dari pembibitan itulah proyek penghijauan dilakukan di bekas areal tambang. Hon mengaku tidak keberatan, kendati perusahaan reklamasi miliknya tidak mengejar laba. Soalnya, perusahaan tersebut hanya memakan biaya 1% dari total pendapatan bulanan. Anak usahanya yang lain adalah PT Mahakam Coal Terminal. Berbeda dengan PT Harapan Bumi Lestari, anak perusahaan ini murni berorientasi pada bisnis layanan dan jasa pertambangan batubara. Perusahaan ini bergerak di bisnis terminal batubara. Saat ini PT Mahakam Coal memiliki dua terminal batubara di Ambalut dan Balik Buaya yang letaknya dekat dengan muara Sungai Mahakam dekat pelabuhan batubara. Saat mendirikan MCT ini, Hon punya landasan kuat. Ia memproyeksikan pasokan batubara di Samarinda akan habis dalam enam tahun ke depan. Maka konsentrasi penambangan batubara akan semakin terfokus ke arah hulu Sungai Mahakam. Lantaran jaraknya agak jauh, ia melihat, ada kemungkinan batubara yang diangkut mengalami kerusakan sekitar 5% hingga 10% dalam perjalanan dari hulu Sungai Mahakam ke pelabuhan batubara. Contohnya, pesanan konsumen sebanyak 10.000 ton. Tapi setelah sampai di pelabuhan dan diperiksa yang layak hanya 8.000 ton. "Maka penambang harus mencari 2.000 ton batubara untuk mengganti sisanya. Konsekuensinya, mereka harus balik lagi ke hulu Sungai Mahakam yang memakan waktu dan biaya lebih atau membeli batubara di terminal terdekat," ujar ayah dua anak ini. Menurut Hon, lokasi terminal batubara miliknya paling strategis karena dekat pelabuhan batubara. Bahkan, ia mengaku, pernah didekati beberapa investor dari luar negeri, salah satunya Badan Usaha Milik Negara (BUMN) milik China. "Tapi tidak jadi deal karena mereka ingin beli 100%, saya tidak mau, konsepnya itu yang mahal," jelasnya. Meski kini sudah berjalan, Hon mengakui fasilitas penunjang infrastruktur di dua terminal miliknya belum sempurna. Makanya, ia berniat untuk terus mengembangkan infrastruktur penunjang di terminal tersebut. Tentu dana yang dibutuhkan juga tidak sedikit. Makanya, ia berniat melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) pada 2015 mendatang. Rencana IPO ini ditargetkan bisa meraih dana segar sekitar Rp 2,5 triliun dengan melepas sekitar 20% saham ke publik. Saat ini Hon sedang merampungkan aspek legalitas dari rencananya tersebut. "Namun masih belum pasti apakah PT Harapan Borneo yang akan IPO atau anak usaha yang lain," ujarnya. Honardy Boentario lahir di Pangkal Pinang pada 8 November 1963. Ia merupakan anak dari pasangan orang tua Boen Khie Hon dan Jap Sioe Fa.Honardy sendiri terlahir dengan nama asli Boen Kin Ho. Ia merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Honardy kecil tumbuh dari keluarga berada. Ayahnya merupakan seorang pengusaha konstruksi dan bengkel bernama Toko Anda di Pangkal Pinang. Seiring berjalannya waktu, kesehatan Boen Khie Hon semakin menurun. Kondisi ini membuat bisnis orang tuanya mengalami kemunduran hingga akhirnya bangkrut. Bisnis keluarga Hon kemudian beralih menjadi pemasok beberapa kebutuhan PT Timah di Pangkal Pinang, Kepulauan Riau. Usaha keluarga tersebut ini mendapat pinjaman kredit usaha dari Bank Rakyat Indonesia (BRI). Lantaran harus membayar utang ke BRI dan pihak-pihak lain, bisnis ini tidak begitu membantu perekonomian keluarganya. Dalam situasi sulit tersebut, Hon lantas hijrah ke Jakarta untuk menimba ilmu di Universitas Trisakti mengambil Jurusan Ekonomi. Di tengah kesulitan ekonomi keluarga, Hon berinisiatif mencari tambahan uang saku dengan menjadi guru TK, guru les dan sempat bekerja di kantor akuntan Hanadi Raharja. Semua aktivitas sambilan itu dilakukannya saat menginjak semester III. Merintis di batubara Hon sendiri menamatkan kuliahnya pada tahun 1985. Berkat jaringan yang sudah dirintisnya sejak masa kuliah, Hon tak kesulitan mencari pekerjaan. Bahkan tahun tahun 1987 ia sudah menjabat sebagai Chief Financial Officer (CFO) PT Multi Harapan Utama. Di perusahaan inilah ia pertama kali mengenal dunia pertambangan batubara. Kebetulan saat itu PT Multi Harapan masih pemegang saham mayoritas PT Adaro Indonesia. "Sewaktu di PT Multi Harapan, saya nge-set standard operating procedure (SOP)-nya Adaro. Itu buku karya saya masih dipakai oleh mereka sampai hari ini," tambahnya. Pada 2002, terjadi konflik di Multi Harapan Utama antara pemegang saham lokal dengan investor asal Australia. Investor asal Australia memutuskan hengkang dari Indonesia. Sebagai imbalan atas jerih payah pengabdian Hon, para investor tadi memberikan porsi 16% saham yang mereka miliki di PT Bina Mitra Sumber Artha kepada Hon. PT Bina Mitra sendiri telah mengantongi izin mengelola lahan batubara seluas 1.260 ha di Kecamatan Sanga-Sanga, Kalimantan Timur. Hon pun menerima tawaran tersebut dan langsung menjadi Chief Executive Officer (CEO) BMSA pada 2002. Usahanya ini terus berkembang. Namun, pada tahun 2006 ia memutuskan menjual seluruh sahamnya di BMSA. Lantaran, ia mendapat tantangan baru untuk ikut ambil bagian di PT Energy Cahaya Utama yang juga masih bergerak di bidang penambangan batubara. Sembari menangani pekerjaan di perusahaan tersebut, Hon pun mulai mendirikan PT Harapan Borneo pada tahun 2008. "Hingga pekerjaan di HBI sudah tidak bisa ditinggalkan. Maka saya memutuskan untuk keluar dari Energy Cahaya Utama pada 2012," tambahnya.
Dari situlah ia baru benar-benar merintis PT Harapan Borneo secara penuh sampai sekarang. Di HBI, Hon mengklaim memberi gaji para karyawannya di atas rata-rata. "Bisa dibilang saya merusak pasaran gaji karyawan perusahaan batubara," kata Hon. Secara hitung-hitungan kasar, Hon menyatakan bahwa perusahaan lain hanya menganggarkan 20% dari pendapatan untuk membayar gaji karyawan. Di PT Harapan Borneo , ia mengalokasikan hampir 40% dari pendapatan untuk gaji karyawan. Saat ini total jumlah karyawan di HBI mencapai 227 orang. Meski margin keuntungan menipis, namun Hon bilang justru di situlah letak kebahagiaannya mengelola perusahaan. "Seperti kalau kita lagi makan makanan enak, itu enaknya hanya lima sentimeter di kerongkongan. Tapi kalau kita makan ramai-ramai, enaknya tidak terhingga," ujar Hon menganalogikan. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri