KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa berencana untuk mengenakan pajak karbon lintas yuridiksi atau carbon border tax untuk memerangi perubahan iklim. Penerapan pengenaan
carbon border tax ini seiring dengan upaya ambisius Uni Eropa untuk mengurangi emisi karbon pada tahun 2030 sebesar 55% dari posisinya di tahun 1990. “Penerapan pengenaan
carbon border tax ini akan dimulai pada tahun 2026. Namun, akan ada penyesuaian dalam masa transisi di tahun 2023 hingga 2025,” ujar Uni Eropa dalam laman resminya seperti dikutip, Rabu (28/7).
Baca Juga: Asaki sebut pajak karbon makin tekan daya saing keramik Indonesia Uni Eropa menjelaskan, dalam masa transisi tahun 2023 hingga 2025 tersebut, para impor akan diminta untuk mengawasi dan melaporkan jejak emisi (emission footprint) dari produk yang diimpor. Produk-produk yang akan dimonitor antara lain besi dan baja, semen, pupuk, aluminium, serta pembangkit listrik. Pasalnya, produk ini didapuk memiliki risiko kebocoran karbon yang tinggi. Setelah masa transisi ini selesai, maka importir akan mulai membayar penyesuaian tarif pada tahun 2026. Dan nantinya pendapatan dari pengenaan pajak ini akan masuk ke dalam anggaran UE. Menanggapi hal itu, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menilai, rencana Uni eropa ini merupakan cara agar Uni Eropa memproteksi produk-produk buatan dalam negeri mereka yang memang sudah mahal. “Ini cara baru mereka untuk adjust (menyesuaikan) agar harga produksi di negara berkembang yang lebih murah daripada harga produksi di Uni Eropa yang lebih mahal, berteknologi kuno, dan efektivitasnya juga tidak baik,” ujar Lutfi.
Baca Juga: Sri Mulyani sebut tak ada negara yang bisa terbebas dari ancaman perubahan iklim Untuk dampaknya terhadap perdagangan Indonesia, Lutfi mengaku sedang mengkaji masak-masak akan hal ini. Dirinya pun akan membawa pembicaraan ini ke forum multilateral seperti G20 maupun membicarakannya kepada organisasi perdagangan dunia atau
World Trade Organization (WTO). Namun, sejauh ini Lutfi mengamini bahwa usulan dari Eropa bisa mengganggu perdagangan dunia. Apalagi, kabarnya negara Amerika Serikat (AS) juga ingin menerapkan akan hal ini dan bahkan sudah mendapatkan dukungan dari beberapa anggota Senat AS dari Partai Demokrat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Yudho Winarto