Mendag Mengkaji Pencabutan Aturan DMO dan DPO Minyak Goreng



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan (Zulhas) tengah mengkaji pencabutan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO). Hal ini dilakukan agar ekspor produk sawit dan turunannya bisa lebih cepat.

"Saya lagi pertimbangkan, kalau teman-teman pengusaha sudah komit untuk memenuhi DMO dan DPO dipenuhi dalam negeri, mungkin saya pertimbangkan DMO ndak perlu lagi agar ekspor bisa cepat," ujar Zulhas di Pasar Cibinong, Bogor Jawa Barat, Jumat (22/7).

Zulhas menyatakan, rencana penghapusan aturan tersebut bisa dijalankan apabila pengusaha bisa menjamin pasokan bahan baku minyak goreng dalam negeri terpenuhi dan kelangkaan minyak goreng tak terulang lagi.


Jika hal itu bisa dijalankan, maka pemerintah akan mempertimbangkan penerapan relaksasi tersebut.

Baca Juga: Harga TBS Sawit Anjlok, Petani Minta Kiblat Penetapan Sawit Mengacu Permendag 55/2015

"Saya akan ketemu dengan pabrik pabrik minyak goreng itu, ini kan urusan minyak, urusan dagang hari hari. Memang enggak mudah diadministrasikan, di birokrasi kan, ada hukumnya itu enggak mudah. Oleh karena itu nanti kita akan cari, gentleman agreement saja cukup sebetulnya. Dengan begitu maka bisa ekonomi pasar, tapi gentleman agreement perlu jaminan dalam negeri yang 3 juta (ton) itu. Nanti saya akan pertemuan," jelas Zulhas.

Zulhas mengatakan, kebijakan tersebut juga dalam rangka menggenjot penyerapan tandan buah segar (TBS) dan agar harga TBS bisa kembali di atas Rp 2.000 per kilogram.

"Sampai hari ini, saya lagi cek katanya stok di tangki-tangki itu masih 7 juta (ton). Ini biang keladi sehingga harga TBS enggak bisa naik," ungkap Zulhas.

Zulhas menyebut, langkah awal menggenjot penyerapan TBS dan menaikkan harga TBS sudah dilakukan. Yakni dengan penghapusan sementara pungutan ekspor CPO dan turunannya.

Selain itu, pemerintah menerapkan skema kenaikan rasio angka pengali ekspor CPO dan bahan baku minyak goreng menjadi hampir sembilan kali lipat dari kewajiban pasar domestik (DMO), bagi produsen yang bergabung untuk memproduksi minyak goreng curah kemasan.

"Jadi kalo 1.000 ton dalam negeri dia bisa ekspor 8.400, Jadi hampir 1 kali 9, hampir," ucap Zulhas.

Baca Juga: KPPU Tingkatkan Status Kasus Minyak Goreng ke Tahap Pemberkasan

Direktur Bahan Pokok dan Penting Kementerian Perdagangan Isy Karim menerangkan, yang dimaksud tersebut adalah apabila produsen minyak goreng memenuhi pasokan untuk minyak kemasan maka rasio angka pengalinya 1:1,2 lalu dikalikan 7.

"Itu sebenarnya kan ini 1 kalo dengan merk kemasan 1:1,2 trus baru kali 7 gitu maksudnya. Itu yang kemasan," ucap Isy.

Isy menyatakan, pencabutan kebijakan DMO dan DPO baru sekedar wacana. "Itu belum, baru wacana. Belom dicabut (kebijakan DMO DPO)," ujar Isy.

Sebelumnya, Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) mengatakan harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit masih anjlok imbas dari pelarangan ekspor CPO beberapa waktu lalu.

Meski pemerintah telah melakukan gonta ganti kebijakan sampai menggratiskan pungutan ekspor CPO untuk mendongkrak harga TBS sawit, nyatanya hingga saat ini harga TBS sawit tak kunjung normal. Per 20 Juli kemarin harga TBS sawit masih di angka Rp 1.350 – 1.500 per kg.

Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat Manurung mengatakan, ada faktor krusial lain yang justru membuat carut marut penetapan harga TBS sawit di petani. Terutama patokan harga CPO Indonesia.

Baca Juga: Harga TBS Turun, PSN Dorong Pemberdayaan Ekonomi Petani Sawit

“Fakta yang terjadi, bahwa negara kira sebenarnya sudah memiliki Permendag No. 55/2015 dimana kebijakan ini mengeluarkan harga referensi CPO Indonesia, namun di satu sisi kiblat pembelian TBS mengacu pada tender PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN),” kata Gulat dalam diskusi webinar dipantau secara daring, Kamis (21/7).

Menurutnya harga TBS sawit berdasarkan KPBN menambah carut marut penetapan harga TBS sawit ditingkat petani. Dikatakan Gulat, bahwa harga sawit berdasarkan KPBN jauh di bawah harga yang ditetapkan oleh Kemendag.

Gulat mencontohkan, berdasarkan rekomendasi Kemendag bulan Juli harga CPO di angka Rp 16.567 per kg dengan ditiadakan pungutan ekspor menjadikan harga TBS di tingkat petani Rp 3.313 per kg. Sementara di KPBN, harga CPO hanya Rp 8.000 per kg dan harga TBS di tingkat petani menjadi 1.600 per kg.

"Nanti real-nya di pabrik dibeli tidak lebih dari Rp 1.000 per kg. Ini menjadi pertanyaan kenapa harus ada tender padahal negara Indonesia sudah mengeluarkan Permendag 55 tahun 2015,” terang Gulat.

Oleh karena itu, Gulat meminta Permendag No 55 /2015 dapat dijadikan harga rujukan penetapan harga TBS petani dan tidak lagi menggunakan rujukan harga dari tender KPBN. Menurutnya, harga dari KPBN belum dapat mendongkrak harga TBS sawit petani terlebih dalam kondisi harga sawit yang sedang carut marut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .