Salah satu hal yang luput dari hiruk-pikuk defisit neraca berjalan kita adalah tentang belum optimalnya ekspor sektor jasa. Selama lima tahun terakhir, neraca jasa Indonesia mengalami defisit. Pertumbuhan ekspor jasa hanya sekitar 9% per tahun dan relatif rendah di antara negara ASEAN lainnya. Tidak mengherankan jika rasio ekspor jasa Indonesia hanya berada di kisaran angka 2,6% dari produk domestik bruto (PDB). Padahal, sektor jasa di Indonesia memiliki peran positif dalam menjadi backbone pertumbuhan ekonomi. Di 2017 saja, sektor jasa tumbuh sebesar 5,68% dan melampaui pertumbuhan nasional yang hanya sebesar 5,07%. Pada tahun yang sama, sebanyak 60 juta orang atau hampir setengah dari tenaga kerja Indonesia bekerja di sektor jasa. Belum lagi peran sektor jasa dalam instrumen pengentasan kemiskinan dan enabler bagi sektor ekonomi lain, seperti informasi teknologi, transportasi dan lainnya. Singkatnya, memperbaiki ekspor jasa Indonesia tidak hanya membuka peluang dalam pengendalian defisit neraca pembayaran. Ini bisa jadi strategi jitu dalam menghadapi perang dagang yang bakal mengurangi geliat perdagangan Indonesia di sektor barang atau komoditas. Efek pengganda (multiplier effect) terhadap ekonomi pun sangat besar.
Lantas, apa yang menjadi kendala? Salah satunya adalah kendala regulasi. Yaitu, regulasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10% bagi sektor ekspor jasa. Ketentuan ini membuat sektor jasa Indonesia jadi kurang kompetitif. PPN adalah pajak atas konsumsi. Dalam konteks perdagangan lintas yurisdiksi, perdebatannya adalah negara mana yang berhak mengenakan PPN? (Brederode, 2009). Apakah negara asal tempat barang/jasa tersebut diproduksi (origin principle) atau dikenakan di negara tempat barang/jasa tersebut dikonsumsi (destination principle). Di tataran global, telah terbentuk suatu konsensus untuk menerapkan destination principle dalam kerangka sistem pemajakan PPN lintas yurisdiksi. Selain karena selaras dengan ruh PPN sebagai pajak atas konsumsi, destination principle juga relatif tidak mendistorsi kompetisi dan keputusan bisnis (OECD, 2011). Saat ini, mayoritas negara di dunia telah menerapkan destination principle dalam rezim PPN mereka. Umumnya, dengan adanya tarif 0% atas ekspor. Begitu pula dengan Indonesia. Sayangnya, tarif 0% tersebut tidak diterapkan secara konsisten dan menyeluruh, terutama terhadap ekspor jasa. Hanya tiga jenis jasa yang dikenakan PPN dengan tarif 0% yang notabene melekat pada barang. Yaitu, jasa maklon, jasa perbaikan dan perawatan barang bergerak, serta jasa konstruksi. Namun, ekspor jasa selain ketiga jenis jasa tersebut tetap dikenakan PPN dengan tarif normal. Bukan tanpa alasan, jasa memiliki perbedaan karakteristik dengan barang berwujud yang fisiknya dapat diawasi secara langsung. Oleh karena itu, terdapat kekhawatiran pemerintah akan adanya wajib pajak yang memanfaatkan beleid 0% dengan seolah-olah melakukan ekspor jasa ke negara lain. Akan tetapi, ketakutan tersebut harusnya bukan jadi justifikasi dan jangan sampai justru menciptakan persoalan baru. Pengenaan dengan tarif normal akan menyebabkan terjadinya pajak berganda, yaitu dikenakan PPN baik di Indonesia maupun di negara tujuan ekspor. Pasalnya, sebagian besar mitra dagang Indonesia menerapkan destination principle. Akibatnya, ekspor jasa kita menjadi tidak kompetitif. Harga jasa yang berasal dari Indonesia lebih mahal sehingga akan mengurangi daya saing di pasar global. Langkah pemerintah Pengembangan ekspor jasa sejatinya telah tertuang dalam dokumen RPJMN 2015-2019. Fokusnya, memperluas akses pasar jasa dalam perdagangan internasional serta memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi dalam sektor tersebut. Rencana strategis Kementerian Perdagangan bahkan telah menargetkan rasio ekspor jasa terhadap PDB sebesar 3,5% serta pertumbuhan ekspor jasa dalam kisaran 16%-19% pada tahun 2019. Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah untuk mencapai target tersebut? Dalam konteks pajak, solusinya hanya satu, yaitu menerapkan destination principle secara konsisten dan menyeluruh terhadap PPN atas ekspor jasa. Di jangka pendek, pemerintah dapat melakukan revisi terhadap aturan teknis, yaitu Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 jo. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2011. Tujuannya jelas, memperluas jenis jasa yang dikenakan PPN dengan tarif 0% serta memberikan aturan main yang jelas dalam pengawasan substansi ekspor jasa. Dalam jangka menengah, perlu ada revisi dari UU PPN yang dapat menetapkan bahwa seluruh ekspor jasa merupakan objek PPN dengan tarif 0%. Langkah ini memang tidak mudah, namun sangat layak untuk dilakukan. Selain berdampak bagi berkurangnya defisit neraca jasa, setidaknya ada tiga manfaat dari penerapan PPN dengan tarif 0% atas ekspor jasa. Pertama, pengenaan PPN tarif 0% atas ekspor jasa ini akan berdampak langsung pada pada sektor tenaga kerja. Daya saing yang meningkat akan menciptakan permintaan tambahan serta produktivitas atas jasa dari Indonesia. Kita tentu ingin mendorong lebih banyak pelaku jasa Indonesia, misalkan desainer, konsultan, ataupun jasa pelayaran, untuk go international. Kedua, dampaknya terhadap sektor perdagangan dan investasi. Penanaman modal atas sektor jasa di Indonesia akan lebih atraktif bagi investor. Peluang kita untuk menjadi pusat penyedia jasa, baik jasa administrasi, riset, hingga keuangan, dalam global value chain semakin terbuka lebar.
Ketiga, tambahan penerimaan negara dari berkembangnya aktivitas jasa. Pundi-pundi baru, setidaknya dari pajak korporasi dan pajak penghasilan karyawan, akan mengalir. Memang benar bahwa penerapan tarif 0% tersebut akan menciptakan revenue forgone di sektor PPN. Namun, nantinya bisa dikompensasi dengan potensi pajak lainnya. Sebagai penutup, sudah saatnya kita mengalihkan perhatian kepada ekspor jasa. Mengurai regulasi pajak ekspor jasa tidak hanya berpotensi meningkatkan daya saing Indonesia, tetapi juga membuka pintu-pintu kemungkinan yang baru bagi wajah ekonomi kita ke depan.•
Darussalam Managing Partner DDTC Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi