Sepanjang 2018 wajah lembaga peradilan masih menyisakan noktah hitam. Performa cemerlang Mahkamah Agung (MA) yang berhasil mengikis tunggakan perkara, meningkatkan transparansi, menggenjot akreditasi, seolah-olah hancur berkeping dihantam badai suap. Ibarat pepatah, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Prestasi cemerlang yang makin banyak ditoreh oleh MA, tidak memiliki arti di mata masyarakat ketika keadilan masih diperjualbelikan. Terhitung sejak 2005 tercatat ada 27 orang aparat pengadilan, 19 hakim, dan 9 panitera/pegawai pengadilan yang dicokok oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semuanya karena terlibat dalam skandal suap penanganan perkara. Peristiwa memalukan tersebut tentu menampar dunia peradilan karena beberapa alasan.
Pertama, hampir seluruh pengadilan di Indonesia telah mendapatkan akreditasi. Bahkan kuantitas pengadilan terakreditasi mengalami peningkatan drastis dari tahun ke tahun. Muara dari agenda akreditasi pengadilan ialah untuk menjamin mutu pelayanan publik. Tiga dari tujuh kriteria penilaian dalam akreditasi tersebut antara lain kualitas kepemimpinan, mutu pelayanan, dan sistem pengawasan. Kualitas kepemimpinan, misalnya, pada hakikatnya memiliki keterhubungan linear dengan upaya menghambat terjadinya korupsi yudisial. Baharuddin Lopa dalam Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum (2001) menegaskan bahwa seni kepemimpinan ialah soal keteladanan. Jamak terjadi, perilaku seorang pemimpin tidak senafas dengan perbuatannya. Karena itu, kepemimpinan yang kuat di lembaga peradilan semestinya berbasis keteladanan dan pengawasan yang ketat secara sistemik, sehingga mampu meningkatkan integritas aparatnya. Kenyataannya, tujuan ideal akreditasi tidak selalu beriringan dengan fakta kepuasan masyarakat. Meski putusan hakim tidak selalu memuaskan semua pihak, tapi mutu pelayanan publik yang jadi indikator utama keberhasilan akreditasi mestinya meningkat. Persoalannya, sepanjang 2017, pelayanan publik di pengadilan acap dikeluhkan masyarakat. Ombudsman mencatat sebanyak 390 laporan yang masuk terkait bidang hukum dan peradilan, dengan asumsi 266 di antaranya terkait kinerja pengadilan. Data tersebut menjadi bahan evaluasi bahwa status akreditasi pengadilan hendaknya harus dibarengi dengan kualitas pelayanan publik sebagai ciri peradilan unggul. Presiden Joko Widodo ketika memberikan amanat dan pembekalan kepada ribuan calon hakim di Pusdiklat Mahkamah Agung, tahun lalu berpesan agar hakim jangan menggadaikan keadilan melalui praktik jual beli perkara. Sebab, praktik lancung tersebut menghambat laju investasi yang mensyaratkan adanya kepastian hukum dan menyuramkaan peta perjalanan Indonesia menuju bangsa berkemajuan. Saya yakin, hampir semua hakim di Indonesia mendengarkan amanat presiden melalui media cetak maupun elektronik. Termasuk hakim dan aparat pengadilan yang suka menerima suap. Tapi, tampaknya praktik suap masih merajalela. Kasus jual beli perkara yang mutakhir dilakukan oknum hakim PN Jakarta Selatan dan oknum panitera pengganti (27/11/2018). Fakta tersebut mengonfirmasi bahwa lembaga peradilan tengah memasuki situasi genting yang sumbu penyelesaiannya membutuhkan keterlibatan banyak pihak. Komisi Yudisial (KY) dan MA harus tetap bersinergi merapatkan barisan menyusun pola pembinaan dan pengawasan yang ideal sehingga pengadilan ke depan tetap memiliki marwah. Laporan tahunan MA Pada akhir Februari 2019 nanti, MA akan menyampaikan laporan tahun 2018. Tentu salah satu isi harapannya adalah adanya keseriusan dalam mendesain peningkatan sistematis pembinaan dan pengawasan. Sehingga hakim dan aparat peradilan tetap konsisten menjaga integritas. Sikap tegas Ketua MA dalam setiap kesempatan yang tak pernah berkompromi dengan siapapun aparat peradilan yang mencoreng citra lembaga, hendaknya dielaborasi melalui efektivitas pengawasan berjenjang. Selain tu perlu, evaluasi pembinaan dan pengawasan secara berkala, dan memaksimalkan agen perubahan pada setiap satuan kerja. Komisi Yudisial (KY) juga perlu terus bersinergi dengan pimpinan pengadilan untuk memperkuat komitmen memegang teguh kode etik dan pedoman perilaku hakim. Laporan pengaduan yang masuk ke KY maupun Badan Pengawasan MA, idealnya datanya diolah untuk kepentingan pemetaan. KY bisa mengkaji lebih dalam musabab melonjaknya laporan pengaduan. Data tersebut sebagai pendukung dalam merumuskan kebijakan KY yang notabene diamanahi menjaga martabat dan keluhuran hakim. Beberapa laporan seperti hakim terima suap, kecanduan narkoba, berjudi, nikah siri, tidak disiplin, tidur dan menerima telepon ketika sidang, adalah sederet persoalan yang bisa diatasi melalui olah data pengaduan. Bukan sekadar melakukan tindakan represif melalui penjatuhan sanksi berat di depan sidang Majelis Kehormatan Hakim (MKH). KY juga memiliki ruang prefentif melalui sosialisasi dan internalisasi butir-butir kode etik hakim, serta penguatan kepemimpinan pengadilan. Jumlah pengaduan yang meningkat juga bisa dianalisis berdasarkan lokus pelanggaran. Telaah atas lokus pelanggaran, berfungsi untuk mengetahui wilayah mana saja yang potensial menjadi titik rawan terjadinya korupsi. Ketika pusaran pelanggaran berhasil dilokalisir, maka pembinaan moral aparat peradilan menjadi lebih tepat sasaran. KY sebenarnya pernah memilah kategori lima daerah terbanyak melakukan malapraktik dan pelanggaran etik hakim. Kelima wilayah itu secara berurutan antara lain Jakarta 363 laporan, Jawa Timur 179 laporan, Sumatra Utara 152 laporan, Jawa Barat 123 laporan dan Jawa Tengah 93 laporan. Pemetaan tersebut tentu berfaedah besar untuk memacu pimpinan pengadilan tinggi untuk berlomba-lomba turun gunung melakukan bersih-bersih. Tujuannya agar yurisdiksinya steril dari tindakan tidak profesional para aparatnya. Pemetaan zona pelanggaran juga membantu KY dan MA dalam memutus jejaring mafia peradilan. Para pengadil bermental bobrok bisa dilokalisir ruang geraknya dan intensitas pembinaan serta pengawasannya bisa lebih terpantau.
Di samping itu, pengadilan tingkat banding sebagai pengawal terdepan bagi MA, maupun tim penghubung KY yang tersebar di beberapa kota bisa melakukan deteksi dini secara berjenjang atas dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim. Terutama para hakim yang masuk dalam zona merah tersebut. Hanya dengan cara demikian keadilan yang hingga kini digadai untuk kepentingan perut oleh para penjahat berjubah bisa ditebus.•
Achmad Fauzi Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Banjar, Jawa Barat Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi