Menekan Biaya Logistik dengan Penggunaan BBG untuk Transportasi Darat



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lonjakan harga bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi selama 6 bulan terakhir terus menjadi ancaman bagi perekonomian Indonesia. Mahalnya biaya BBM membuat beban biaya logistik kian meninggi. Di industri logistik, biaya BBM rata-rata diprediksi berkontribusi sekitar 20-25% terhadap ongkos produksi first mile-last mile.

Dian Kuncoro, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Liquid & Compress Natural Gas Indonesia (APLCNGI) mengatakan, sektor logistik nasional masih sangat tergantung pada angkutan darat yang mayoritas mengkonsumsi BBM.

Oleh karena itu, ketika harga BBM mengalami gejolak, maka kekhawatiran lonjakan harga-harga pada barang konsumsi dan barang produksi langsung terjadi. Imbasnya adalah kemungkinan terjadinya kenaikan inflasi yang membuat tekanan terhadap perekonomian semakin tinggi.


“Kami sudah berulangkali mengusulkan agar angkutan darat ini dapat bermigrasi ke BBG, sehingga ketergantungan terhadap BBM berkurang. Dengan semakin bertambahkan infrastruktur pengisian BBG, seharusnya pelaku usaha transportasi seperti truk dan angkutan barang lainnya mulai menggunakan BBG. Ini energi yang lebih bersih, secara harga sangat bersaing dan pasokannya selalu tersedia serta tidak perlu import,” jelas Dian dalam keterangan resminya, Kamis (11/8).

Baca Juga: PGN Dorong Penggunaan LNG Sebagai Bahan Bakar Pembangkit di Kereta Api

Menurut Dian dengan populasi masyarakat yang masih tersentralisasi di pulau Jawa, penggunaan transportasi darat dalam bisnis jasa logistik masih akan dominan di masa depan. Karena itu, pihaknya  mengusulkan agar pemerintah juga ikut mendorong penggunaan BBG bagi efisiensi di sektor logistik ini.

Beberapa inisiatif bisa dilakukan. Di antaranya mempercepat aktifasi dan pembangunan SPBG secara masif di jalur kendaraan pengangkut logistik. Selain itu, insentif bagi sektor angkutan barang yang menggunakan BBG sebagai pengganti BBM.

Ia menegaskan dengan terhubungnya jalan tol trans Jawa, seharusnya memudahkan para pengusaha angkutan barang untuk mulai bermigrasi menggunakan BBG. Menurut Dian, bagi kendaraan besar seperti truk pengangkut kontainer, bisa memulainya dengan menggunakan dual fuel yaitu solar dan CNG. Namun, juga bisa memanfaatkan penggunaan LNG yang berkapasitas lebih besar.

“Berkaca pada data penggunaan dual fuel BBM - BBG pada kendaraan truk dan kendaran penumpang seperti yang sudah ada terbukti bisa menghemat biaya sampai 30%, jika penghematan ini bisa dinikmati oleh angkutan logistik dan kendaraan penumpang lainnya, tentu akan sangat menguntungkan perekonomian. Dengan harga BBM yang tinggi dan beban pemerintah saat ini, kita butuh action segera,” tegasnya.  

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, moda transportasi jalan berkontribusi terhadap PDB subsektor transportasi sebesar 69,38 %, moda transportasi laut 8,71 % dan moda transportasi rel 1,38 %.

“Ada jutaan truk pengangkut barang yang beroperasi di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Jika truk-truk ini bisa beralih ke BBG, tentu penghematan biaya energinya akan sangat besar. Apalagi ketersediaan gas bumi di dalam negeri masih sangat besar dibandingkan BBM yang harus diimpor,” imbuh Dian.

Baca Juga: Perusahaan Gas Negara (PGN) Dorong Pemanfaatan Gas Bumi Lewat City Gas Tour

Lebih lanjut Dian mengatakan, ditengah berkembangnya kendaraan listrik, pemerintah sebaiknya juga tetap memperhatikan berkembangnya moda trasportasi berbasis BBG. Misalnya, pemerintah mendorong industri otomotif agar memproduksi kendaraan transportasi umum dan logistik menggunakan BBG.

“Apa yang terjadi hari ini ketika harga BBM merangkak naik dan kekhawatiran biaya logistik dan distribusi akan semakin mahal, maka dengan memperbanyak produksi kendaraan berbasis BBG, tentunya ekosistemnya akan tercipta dan hal itu juga akan mengurangi konsumsi BBM yang pasokannya tergantung impor. Hal ini akan sangat membantu penghematan dan beban APBN,” katanya.

Pemerintah agar dapat mendorong industri otomotive dapat memproduksi kendaraan  BBG setiap 20% setiap tahunnya. Terutama pada kendaraan penumpang pribadi dan public transport (angkot) dan logistic , karena saat ini dengan tingginya harga bahan bakar minyak membuat naiknya jasa logistic dan distribusi. Dengan ada pertumbuhan jumlah unit kendaraan BBG maka berdampak pada tumbuhnya bengkel after sales service.

Meskipun saat ini sedang gencar trend kendaraan listrik, tidak ada salahnya melihat kembali BBG sebagai produk dalam negeri yang dapat menjadi solusi paling cepat untuk mengurangi beban biaya transportasi logistik.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyampaikan bahwa saat ini infrastruktur gas untuk transportasi jalan telah terbangun sebanyak 57 SPBG/MRU yang tersebar di beberapa provinsi di wilayah Indonesia.

Baca Juga: Pengamat Energi: Langkah Pemerintah Menaikkan Harga Jual BBG Sudah Tepat

Pada bulan Juli lalu, Kementerian ESDM kembali meresmikan pengoperasian tiga SPBG, yaitu SPBG Kaligawe berkapasitas 1 MMSCFD atau 30.000 lsp per hari dengan harga jual Rp 4.500 per lsp. Harga BBG tersebut lebih rendah dibandingkan solar subsidi sebesar Rp 5.550 per liter. SPBG Kaligawe sudah dapat berfungsi sebagai Mother Station.

Dua lainnya adalah SPBG Penggaron dan SPBG Mangkang masing-masing memiliki kapasitas 0,5 MMSCFD atau 20.000 lsp. SPBG Mangkang telah selesai dimodifikasi dari OnlineStation menjadi Daugther Station. Sedangkan SPBG Penggaron dibangun sebagai Daughter Station.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji menyatakan bahwa penggunaan BBG sangat tepat bagi kendaraan-kendaraan besar seperti truk dan bus. Oleh karena itu, pemerintah akan mendorong pembangunan infrastruktur BBG di jalan-jalan yang menjadi lalu lintas moda transportasi tersebut.

“Mengingat truk-truk dan bus biasanya melalui jalur atau rute yang rutin, untuk menjamin ketersediaan pasokan BBG, Pemerintah berencana akan membangun SPBG di jalur-jalur yang dilalui oleh kendaraan-kendaraan tersebut,” kata Tetuka dalam sebuah konferensi pers secara online awal tahun ini (19/1).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto