Di antara banyak indikator yang diperhatikan investor asing dalam memutuskan portofolio investasi adalah defisit neraca transaksi berjalan atau
current account deficit (CAD). Alasannya, jika suatu negara mengalami defisit CAD (nilai impor lebih besar daripada nilai impor), negara itu memerlukan devisa tambahan untuk membiayai impor yang lebih besar daripada ekspor. Akibatnya, aliran modal asing menjadi critical di negara ini. Hal ini menjadi bahan spekulasi di pasar sehingga mata uang suatu negara bisa tertekan. Indonesia sudah lama mengalami CAD karena impor yang selalu lebih besar daripada ekspor. Dilihat lebih detail, struktur impor Indonesia sebagian besar adalah bahan baku (75%), disusul barang modal (15,8%) dan barang konsumsi (8,2%).
Dengan demikian, keinginan pemerintah menekan CAD dengan mengurangi impor akan sangat berbahaya bagi perekonomian karena akan langsung berdampak pada perkembangan industri dan perekonomian secara keseluruhan. Sektor industri kemungkinan besar mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku dan barang modal yang bisa mengganggu aktivitas produksi. Sebetulnya, strategi yang sekali mendayung dua tiga pulau bisa terlampaui adalah mendorong ekspor. Strategi ini selain mengurangi CAD, juga mendorong laju aktivitas produksi dan akhirnya pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi. Nah, permasalahannya bagaimana meningkatkan ekspor dalam jangka pendek dan komoditas apa yang bisa didorong? Secara umum, ekspor bisa ditingkatkan dengan mendorong komoditas dan industri yang memiliki kapasitas tak terpakai. Sehingga, peningkatan produksi bisa dilakukan dengan cepat tanpa perlu menambah investasi baru. Yang diperlukan akan membuka peluang pasar baru. Pertama, komoditas minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) perlu ditingkatkan. Namun, nilai ekspor CPO pada Januari-Juli 2018 justru menurun 14,1% (yoy). Parahnya lagi, volume ekspor di periode tersebut turun 6,8%. Penurunan ekspor CPO ini terkait erat dengan restriksi perdagangan di India yang menaikkan tarif impor CPO dan produk turunannya, di Uni Eropa yang tak mengakui CPO sebagai bahan baku renewable energy untuk biodiesel, dan di Amerika Serikat yang mengevaluasi fasilitas Generalized System of Preference untuk produk stearic acid dan tuduhan dumping untuk biodiesel. Penurunan kinerja ekspor disebabkan negosiasi perdagangan yang lambat dan lemah, sehingga CPO yang sudah menjadi andalan penerimaan ekspor malah menurun. Penguatan lobi bilateral dengan India, Uni Eropa dan AS adalah strategi untuk meningkatkan ekspor CPO. Kedua, industri otomotif berpotensi meningkatkan ekspor karena kapasitas terpasang yang tidak terpakai. Industri otomotif nasional memiliki kapasitas produksi 1,9 juta unit per tahun, sementara produksi masih disekitar 1,1 juta unit. Kapasitas yang tak terpakai bisa digunakan untuk ekspor ke negara potensial seperti negara Timur Tengah, Asia Selatan dan Afrika. Penetrasi pasar baru perlu dipercepat dengan bantuan lobi pemerintah ke negara tersebut sehingga peluang pasar semakin terbuka lebar. Ketiga, sektor pariwisata sangat mungkin melakukan lompatan kinerja dengan upaya total di segala lini, terutama pengelolaan objek wisata, penyediaan transportasi (airline) dan penyediaan akomodasi untuk wisatawan. Hingga tahun 2017, Indonesia hanya berhasil mendatangkan 14 juta wisatawan, sementara Malaysia 16,4 juta dan Thailand 26,8 juta.
Bercermin dari pencapaian negara tetangga, Indonesia seharusnya mampu mendatangkan wisatawan mancanegara lebih banyak lagi dan tentu dengan lama tinggal (length of stay) dan belanja yang lebih tinggi. Perlu kerja keras untuk promosi secara masif, memperbaiki pengelolaan dan pelayanan pariwisata dan menyediakan akomodasi dan transportasi yang nyaman untuk mengundang turis. Dalam jangka pendek kurang dari satu tahun, ketiga komoditas dan industri di atas bisa membantu mengurangi CAD. Kuncinya terletak di pemerintah sebagai pelopor untuk menggerakkan dan mengkoordinasikan semua potensi. Swasta tentu senang berkoordinasi sehingga semua bisa bahu-membahu mendatangkan devisa.•
Dendi Ramdani Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi