JAKARTA. Sepertinya, tak hanya pasokan air berlimpah yang menyebabkan sebagian besar wilayah di megapolitan Jakarta terendam banjir pekan lalu. Di pasar valuta asing (valas) Tanah Air, ada juga hujan dollar Amerika Serikat. Kamis lalu (17/1), seperti ditulis Bloomberg, pasokan dollar itu membuat nilai rupiah sedikit berotot melawan dollar AS dan menuju level Rp 9.650 per dollar AS. Namun, dua hari sebelumnya, rupiah sempat melemah di kisaran Rp 9.800 per dollar AS.Tren pelemahan mata uang Garuda ini sejatinya sudah terlihat sejak pertengahan tahun lalu. Hingga akhir Desember 2012, rupiah tercatat telah terdepresiasi 5,91% terhadap dollar AS. Dengan kompak, kita menyebut kondisi perekonomian global yang tak kunjung membaik menjadi penyebabnya. Permintaan ekspor dari Amerika Serikat (AS), kawasan Eropa, dan China terus melorot. Sebaliknya, impor barang modal dan bahan baku meningkat, terutama dari sisi nilai impornya.Fakta ini membuat neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia sempat mengalami defisit. Tahun ini, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pola perekonomian serupa, yaitu ekspor lebih kecil dari nilai impor yang terealisasi. "Kami akan berupaya menjaga kurs rupiah di level fundamental," kata Gubernur BI Darmin Nasution.Kepala Divisi Tresuri PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Branko Windoe melihat, pelemahan rupiah terhadap dollar AS yang terjadi saat ini masih dalam tataran wajar. Penyebabnya, defi sit neraca perdagangan. Kondisi ini sudah ia perkirakan sejak tahun lalu.Masalahnya, ia meramal, pelemahan ini masih berlanjut. Akibatnya, menurut Branko,ada dua sisi likuiditas valas perbankan yang bakal terkena dampak; yaitu terkait nilai tukar atau kurs dan pasar uang (money market). Di likuiditas money market, Branko menyebut tidak ada guncangan karena transaksi di dalamnya tak perlu mengkurskan mata uang.Senior Vice President Global Markets Trading PT Bank Commonwealth Veni Kriswandi menambahkan, di kantong valas ini, bank mendapatkan pasokan valas dari dana pihak ketiga (DPK) para nasabah. Namun, di sisi likuiditas valas bank untuk transaksi nilai tukar, Branko melihat, terjadi mismatch. Permintaan dollar AS cenderung konstan, sementara pasokan yang berkurang.Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran dollar ini semakin terlihat dalam dua bulan terakhir. Veni juga melihat fenomena serupa. Kebutuhan importir terhadap dollar AS lebih besar dari pasokannya. "Kekurangan pasokan valas terhadap rupiah ini menumbuhkan sentimen yang kurang bagus bagi nilai tukar," tandasnya. Asal tahu saja, biasanya, bank bisa mendapatkan pasokan dollar AS dari eksportir dan Bank Indonesia (BI).Sentimen jadi spekulasi Ekspektasi pelemahan rupiah yang diprediksi masih berlanjut ini memantik spekulasi. Branko melihat, salah satu pemicu penawaran dollar turun adalah karena para pemegang dollar AS, di antaranya eksportir, masihmenahan dollar mereka. Di sisi lain, ada orang yang membutuhkan dollar pada masa mendatang sudah membelinya sekarang karena khawatir rupiah terus melemah. "Yang sudah punya menahan, yang belum punya mau jaga-jaga," kata dia.Tapi, para spekulan memang punya alasan menahan dollar mereka. Pertama, mereka kecenderungan nilai ekspor Indonesia yang turun. Kedua, nilai impor yang meningkat. Satu hal yang pasti, impor migas saat ini kian besar sehingga membutuhkan dollar AS dalam jumlah banyak. Saat ini, rata-rata impor minyak untuk kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) mencapai US$ 2 miliar per bulan. Namun, meski rupiah cenderung melemah, Head Market Treasury Bank ANZ Panin Willing Bolung belum melihat potensi bahaya bagi likuiditas valas perbankan. "Karena belum terjadi penurunan dan persediaan masih ada," katanya.Dia mengakui ada peningkatan transaksi valas di Bank ANZ Panin. Tapi, Willing enggan menyebut angka karena nilai kenaikan itu tidak terlalu signifi kan. Pemimpin Divisi Internasional PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Abdullah Firman Wibowo menambahkan, likuiditas valas tetap mengalir ke pasar uang domestik. Sebab, investor asing tetap melirik Indonesia sebagai lokasi pilihan investasi. Secara fundamental, ekonomi Indonesia tetap menarik karena risikonya masih masuk akal. Selain itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah maupun korporasi lebih tinggi dari suku bunga di luar negeri. "Ditambah upaya bank sentral memancing valas kembali ke sistem cukup positif pengaruhnya," kata Firman.BI memperkirakan, arus likuiditas yang masuk ke Indonesia berada pada kisaran Rp 550 triliun hingga Rp 600 triliun pada 2012. Ini menjadi angin segar bagi pelaku perbankan karena memudahkan mereka mencari likuiditas di pasar. Tahun ini, BI yakin, pengumpulan dana dan penyaluran kredit valas perbankan masih tumbuh positif. Rata-rata, proyeksi pertumbuhan kredit valas yang tercantum dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) 2013 adalah 19%. Adapun pengumpulan dana masyarakat berwujud valas akan tumbuh 16%.Angka pertumbuhan kredit valas ini terasa realistis dengan pencapaian 2012. Hingga November 2012, penyaluran kredit valas hanya tumbuh 15,2% menjadi Rp 415,5 triliun. Ekonom BCA David Sumual menyebut kisaran pertumbuhan ini tak berubah hingga akhir tahun lalu. "Tapi, angka ini jauh lebih rendah dari pertumbuhan penyaluran kredit 2011 yang di kisaran 29%-30%," katanya.Dalam kondisi seperti ini, kredit valas perbankan memang tidak bisa tumbuh subur. Sebab, di tengah perekonomian global yang penuh ketidakpastian, ekspor Indonesia masih lesu. Dalam situasi seperti ini, Branko menduga, bank hanya akan berani memperpanjang pinjaman dan tidak akan memberikan pinjaman baru. "Lucu kalau penyaluran kredit valas di perbankan malah naik," katanya.Sementara Veni menduga, bank mengurangi penyaluran kredit valas karena, dalam praktiknya banyak penerima kredit yang memiliki sumber pendapatan dalam rupiah, bukan valas. Nah, saat rupiah melemah, tentu tingkat risiko usaha mereka meningkat. "Ujungnya bisa berkontribusi dalam pelemahan nilai tukar, walau seharusnya tidak," katanya.Menurut David, tak cuma bank yang khawatir menyalurkan kredit valas saat rupiah melemah. Pengusaha juga tak tertarik mengambil kredit valas karena takut membayar lebih besar. "Kondisi ini ironis karena kredit valas hanya kuat kalau rupiah juga kuat," ujarnya.Sejatinya, kata Country Economist Citi Indonesia Helmi Arman, permintaan terhadap kredit valas di Indonesia masih cukup besar. "Kebutuhan investasi korporasi dalam negeri masih tinggi," kata dia.Bank sendiri, sejatinya, memiliki amunisi baru untuk menggenjot kredit valas, yakni kebijakan devisa hasil ekspor (DHE). Selama 10 bulan pertama pemberlakuan kebijakan ini, sudah ada 85% DHE yang masuk ke dalam negeri senilai US$ 107,1 miliar. Angka ini akan terus meningkat. Sebab, "Masih ada eksportir yang terikat perjanjian trustee dengan bank di luar negeri," kata Direktur Eksekutif Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI, Hendy Sulistiowati.Meskipun demikian, saat prospek rupiah rada suram seperti saat ini, sangat wajar jika para bankir memilih mengatur keran kredit valas mereka dengan lebih ketat.Langkah antisipasiAgar spekulasi dollar tak berlanjut, Branko mengusulkan otoritas moneter melakukan dua hal. Pertama, bank sentral memasok likuiditas dollar AS ke pasar untuk memenuhi permintaan yang ada. Kedua, BI melakukan sosialisasi yang masif kepada pelaku usaha tentang kondisi ekonomi terkini untuk meredakan ketidakpastian.Usulan Branko ini selaras dengan penjelasan sumber KONTAN di bagian tresuri salah satu bank. Dia bilang, sumber likuiditas valas yang bisa diharapkan hadir ke pasar itu berasal dari BI.Selama ini, BI membuat banyak instrumen yang cenderung membuat dollar AS tak berputar, yaitu term deposit valas, keharusan bank menyetor giro wajib minimum (GWM) valas, DHE, hingga aturan trustee bank. Seharusnya, saat pasokan dollar di pasar seret, BI mau menyediakan kekurangannya. "BI mungkin sudah masuk tapi belum banyak," katanya.Yang pasti, BI memang tidak pernah membuka kartu ihwal besaran dollar AS yang mereka lepas ke pasar. Yang jelas, pada pekan pertama Januari ini, total operasi moneter BI mencapai Rp 444,7 triliun, naik Rp 34,6 triliun dari pekan sebelumnya. "Kami hanya mengintervensi pasar untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke level fundamental," kata Darmin.Ke depan, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Hendar menyatakan, BI belum akan merilis instrumen moneter baru untuk meredam pelemahan rupiah. BI cuma berupaya memastikan mekanisme penanganan pasar supaya lebih baik dan efektif. "Nanti, Gubernur BI yang menyampaikan detailnya," katanya.Lebih jauh, Firman berupaya meyakinkan bahwa likuiditas valas perbankan benar-benar masih terjaga. Dia berdalih, keberadaan tabungan valas bank di BI bisa membantu bank mengamankan likuiditas valas. Bila kesulitan likuiditas valas, bank bisa mencairkan term deposit valas dan menarik GWM valas dari bank sentral. "Nilai penalti dari BI yang harus ditanggung bank lebih rendah daripada bunga pinjaman di pasar uang," ungkap dia. Jadi, aman terkendali, ya!***Sumber : KONTAN MINGGUAN 17 - XVII, 2012 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menelik likuiditas valas perbankan
JAKARTA. Sepertinya, tak hanya pasokan air berlimpah yang menyebabkan sebagian besar wilayah di megapolitan Jakarta terendam banjir pekan lalu. Di pasar valuta asing (valas) Tanah Air, ada juga hujan dollar Amerika Serikat. Kamis lalu (17/1), seperti ditulis Bloomberg, pasokan dollar itu membuat nilai rupiah sedikit berotot melawan dollar AS dan menuju level Rp 9.650 per dollar AS. Namun, dua hari sebelumnya, rupiah sempat melemah di kisaran Rp 9.800 per dollar AS.Tren pelemahan mata uang Garuda ini sejatinya sudah terlihat sejak pertengahan tahun lalu. Hingga akhir Desember 2012, rupiah tercatat telah terdepresiasi 5,91% terhadap dollar AS. Dengan kompak, kita menyebut kondisi perekonomian global yang tak kunjung membaik menjadi penyebabnya. Permintaan ekspor dari Amerika Serikat (AS), kawasan Eropa, dan China terus melorot. Sebaliknya, impor barang modal dan bahan baku meningkat, terutama dari sisi nilai impornya.Fakta ini membuat neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia sempat mengalami defisit. Tahun ini, Bank Indonesia (BI) memproyeksikan pola perekonomian serupa, yaitu ekspor lebih kecil dari nilai impor yang terealisasi. "Kami akan berupaya menjaga kurs rupiah di level fundamental," kata Gubernur BI Darmin Nasution.Kepala Divisi Tresuri PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Branko Windoe melihat, pelemahan rupiah terhadap dollar AS yang terjadi saat ini masih dalam tataran wajar. Penyebabnya, defi sit neraca perdagangan. Kondisi ini sudah ia perkirakan sejak tahun lalu.Masalahnya, ia meramal, pelemahan ini masih berlanjut. Akibatnya, menurut Branko,ada dua sisi likuiditas valas perbankan yang bakal terkena dampak; yaitu terkait nilai tukar atau kurs dan pasar uang (money market). Di likuiditas money market, Branko menyebut tidak ada guncangan karena transaksi di dalamnya tak perlu mengkurskan mata uang.Senior Vice President Global Markets Trading PT Bank Commonwealth Veni Kriswandi menambahkan, di kantong valas ini, bank mendapatkan pasokan valas dari dana pihak ketiga (DPK) para nasabah. Namun, di sisi likuiditas valas bank untuk transaksi nilai tukar, Branko melihat, terjadi mismatch. Permintaan dollar AS cenderung konstan, sementara pasokan yang berkurang.Ketidakseimbangan permintaan dan penawaran dollar ini semakin terlihat dalam dua bulan terakhir. Veni juga melihat fenomena serupa. Kebutuhan importir terhadap dollar AS lebih besar dari pasokannya. "Kekurangan pasokan valas terhadap rupiah ini menumbuhkan sentimen yang kurang bagus bagi nilai tukar," tandasnya. Asal tahu saja, biasanya, bank bisa mendapatkan pasokan dollar AS dari eksportir dan Bank Indonesia (BI).Sentimen jadi spekulasi Ekspektasi pelemahan rupiah yang diprediksi masih berlanjut ini memantik spekulasi. Branko melihat, salah satu pemicu penawaran dollar turun adalah karena para pemegang dollar AS, di antaranya eksportir, masihmenahan dollar mereka. Di sisi lain, ada orang yang membutuhkan dollar pada masa mendatang sudah membelinya sekarang karena khawatir rupiah terus melemah. "Yang sudah punya menahan, yang belum punya mau jaga-jaga," kata dia.Tapi, para spekulan memang punya alasan menahan dollar mereka. Pertama, mereka kecenderungan nilai ekspor Indonesia yang turun. Kedua, nilai impor yang meningkat. Satu hal yang pasti, impor migas saat ini kian besar sehingga membutuhkan dollar AS dalam jumlah banyak. Saat ini, rata-rata impor minyak untuk kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) mencapai US$ 2 miliar per bulan. Namun, meski rupiah cenderung melemah, Head Market Treasury Bank ANZ Panin Willing Bolung belum melihat potensi bahaya bagi likuiditas valas perbankan. "Karena belum terjadi penurunan dan persediaan masih ada," katanya.Dia mengakui ada peningkatan transaksi valas di Bank ANZ Panin. Tapi, Willing enggan menyebut angka karena nilai kenaikan itu tidak terlalu signifi kan. Pemimpin Divisi Internasional PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) Abdullah Firman Wibowo menambahkan, likuiditas valas tetap mengalir ke pasar uang domestik. Sebab, investor asing tetap melirik Indonesia sebagai lokasi pilihan investasi. Secara fundamental, ekonomi Indonesia tetap menarik karena risikonya masih masuk akal. Selain itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah maupun korporasi lebih tinggi dari suku bunga di luar negeri. "Ditambah upaya bank sentral memancing valas kembali ke sistem cukup positif pengaruhnya," kata Firman.BI memperkirakan, arus likuiditas yang masuk ke Indonesia berada pada kisaran Rp 550 triliun hingga Rp 600 triliun pada 2012. Ini menjadi angin segar bagi pelaku perbankan karena memudahkan mereka mencari likuiditas di pasar. Tahun ini, BI yakin, pengumpulan dana dan penyaluran kredit valas perbankan masih tumbuh positif. Rata-rata, proyeksi pertumbuhan kredit valas yang tercantum dalam Rencana Bisnis Bank (RBB) 2013 adalah 19%. Adapun pengumpulan dana masyarakat berwujud valas akan tumbuh 16%.Angka pertumbuhan kredit valas ini terasa realistis dengan pencapaian 2012. Hingga November 2012, penyaluran kredit valas hanya tumbuh 15,2% menjadi Rp 415,5 triliun. Ekonom BCA David Sumual menyebut kisaran pertumbuhan ini tak berubah hingga akhir tahun lalu. "Tapi, angka ini jauh lebih rendah dari pertumbuhan penyaluran kredit 2011 yang di kisaran 29%-30%," katanya.Dalam kondisi seperti ini, kredit valas perbankan memang tidak bisa tumbuh subur. Sebab, di tengah perekonomian global yang penuh ketidakpastian, ekspor Indonesia masih lesu. Dalam situasi seperti ini, Branko menduga, bank hanya akan berani memperpanjang pinjaman dan tidak akan memberikan pinjaman baru. "Lucu kalau penyaluran kredit valas di perbankan malah naik," katanya.Sementara Veni menduga, bank mengurangi penyaluran kredit valas karena, dalam praktiknya banyak penerima kredit yang memiliki sumber pendapatan dalam rupiah, bukan valas. Nah, saat rupiah melemah, tentu tingkat risiko usaha mereka meningkat. "Ujungnya bisa berkontribusi dalam pelemahan nilai tukar, walau seharusnya tidak," katanya.Menurut David, tak cuma bank yang khawatir menyalurkan kredit valas saat rupiah melemah. Pengusaha juga tak tertarik mengambil kredit valas karena takut membayar lebih besar. "Kondisi ini ironis karena kredit valas hanya kuat kalau rupiah juga kuat," ujarnya.Sejatinya, kata Country Economist Citi Indonesia Helmi Arman, permintaan terhadap kredit valas di Indonesia masih cukup besar. "Kebutuhan investasi korporasi dalam negeri masih tinggi," kata dia.Bank sendiri, sejatinya, memiliki amunisi baru untuk menggenjot kredit valas, yakni kebijakan devisa hasil ekspor (DHE). Selama 10 bulan pertama pemberlakuan kebijakan ini, sudah ada 85% DHE yang masuk ke dalam negeri senilai US$ 107,1 miliar. Angka ini akan terus meningkat. Sebab, "Masih ada eksportir yang terikat perjanjian trustee dengan bank di luar negeri," kata Direktur Eksekutif Departemen Statistik Ekonomi dan Moneter BI, Hendy Sulistiowati.Meskipun demikian, saat prospek rupiah rada suram seperti saat ini, sangat wajar jika para bankir memilih mengatur keran kredit valas mereka dengan lebih ketat.Langkah antisipasiAgar spekulasi dollar tak berlanjut, Branko mengusulkan otoritas moneter melakukan dua hal. Pertama, bank sentral memasok likuiditas dollar AS ke pasar untuk memenuhi permintaan yang ada. Kedua, BI melakukan sosialisasi yang masif kepada pelaku usaha tentang kondisi ekonomi terkini untuk meredakan ketidakpastian.Usulan Branko ini selaras dengan penjelasan sumber KONTAN di bagian tresuri salah satu bank. Dia bilang, sumber likuiditas valas yang bisa diharapkan hadir ke pasar itu berasal dari BI.Selama ini, BI membuat banyak instrumen yang cenderung membuat dollar AS tak berputar, yaitu term deposit valas, keharusan bank menyetor giro wajib minimum (GWM) valas, DHE, hingga aturan trustee bank. Seharusnya, saat pasokan dollar di pasar seret, BI mau menyediakan kekurangannya. "BI mungkin sudah masuk tapi belum banyak," katanya.Yang pasti, BI memang tidak pernah membuka kartu ihwal besaran dollar AS yang mereka lepas ke pasar. Yang jelas, pada pekan pertama Januari ini, total operasi moneter BI mencapai Rp 444,7 triliun, naik Rp 34,6 triliun dari pekan sebelumnya. "Kami hanya mengintervensi pasar untuk mengembalikan nilai tukar rupiah ke level fundamental," kata Darmin.Ke depan, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI Hendar menyatakan, BI belum akan merilis instrumen moneter baru untuk meredam pelemahan rupiah. BI cuma berupaya memastikan mekanisme penanganan pasar supaya lebih baik dan efektif. "Nanti, Gubernur BI yang menyampaikan detailnya," katanya.Lebih jauh, Firman berupaya meyakinkan bahwa likuiditas valas perbankan benar-benar masih terjaga. Dia berdalih, keberadaan tabungan valas bank di BI bisa membantu bank mengamankan likuiditas valas. Bila kesulitan likuiditas valas, bank bisa mencairkan term deposit valas dan menarik GWM valas dari bank sentral. "Nilai penalti dari BI yang harus ditanggung bank lebih rendah daripada bunga pinjaman di pasar uang," ungkap dia. Jadi, aman terkendali, ya!***Sumber : KONTAN MINGGUAN 17 - XVII, 2012 Laporan UtamaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News