Menelisik aksi merger dan akuisisi bank yang marak di tahun 2019



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2019 bisa dibilang sebagai musim konsolidasi perbankan. Maklum, tahun ini banyak bank yang melakukan aksi konsolidasi untuk memperlebar sayap bisnisnya. Tak hanya lewat aksi merger, akuisisi perbankan juga bakal meramaikan konsolidasi perbankan di tahun 2019.

Aksi merger merupakan ikhtiar perbankan untuk memenuhi ketentuan aturan kepemilikan tunggal (single presence policy) yang mewajibkan kepemilikan saham tunggal melakukan penggabungan dengan skema merger dan membentuk holding. Selain itu, aksi merger dan akuisisi juga bertujuan untuk memperkuat struktur modal perbankan. Dengan begitu, bank akan lebih leluasan dalam memacu bisnisnya. 

Single presence policy diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.8/16/PBI/2006 tentang Kepemilikan Tunggal Pada Perbankan Indonesia. Dalam beleid yang ditetapkan pada 5 Oktober 2006 tersebut menyatakan bahwa setiap pihak hanya dapat menjadi pemegang saham pengendali pada satu bank. 


Setelah berlakunya PBI ini, maka pihak-pihak yang telah menjadi pemegang saham pengendali pada lebih dari satu bank wajib melakukan penyesuaian struktur kepemilikan sahamnya dengan cara; mengalihkan sebagian atau seluruh kepemilikan sahamnya pada salah satu atau lebih bank yang dikendalikan ke pihak lain; melakukan merger atau konsolidasi atas bank-bank yang dikendalikan atau; membentuk perusahaan induk bidang perbankan (bank holding company) dengan cara mendirikan badan hukum baru sebagai bank holding company atau menunjuk salah satu bank yang dikendalikannya sebagai bank holding company.

Tak hanya bank besar, aksi merger perbankan tahun ini juga dilakukan oleh bank-bank kecil. 

Setidaknya akan ada tiga atau empat bank hasil merger di tahun 2019. Bank yang melakukan tersebut antara lain PT Bank Danamon Tbk dengan  PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk (BNP) dan KCBA Bank Tokyo Mitsubishi UFJ (MUFG), rencana merger PT Bank Dinar Indonesia Tbk dengan PT Bank Oke Indonesia, merger antara PT Bank Agris Tbk dan PT Bank Mitraniaga Tbk yang sahamnya dimiliki oleh Industrial Bank of Korea (IBK).  

Serta yang teranyar, aksi merger antara PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) dengan PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia (SMBCI) yang telah efektif per 1 Februari 2019 kemarin. 

Tabel bank yang merger di 2019

Nama bank yang dimerger Penguasa mayoritas saham Jumlah saham yang digenggam
PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk (BTPN) Sumitomo Mitsui Banking Corporation 97,34%
PT Bank Sumitomo Mitsui Indonesia  98,48%
PT Bank  Danamon Tbk  KCBA Bank Tokyo Mitsubishi UFJ (MUFG) 40%
PT Bank Nusantara Parahyangan 7,91%
PT Bank Agris Tbk  Industrial Bank of Korea 95,79%
PT Bank Mitra Niaga 71,68%
PT Bank Dinar APRO Financial Co.Ltd 77,38%
PT Bank Oke Indonesia 99%
Pada Rabu (30/1), terjadi transaksi tutup sendiri (crossing saham) BTPN dengan nilai Rp 14,28 triliun. Transaksi ini dilakukan di awal perdagangan pukul 09.00 WIB pada harga Rp 4.282 per saham dan volume 3,33 miliar saham atau setara 56,92% saham BTPN. 

Sebelumnya, Sumitomo Mitsui Banking Corp (SMBC) telah memiliki 40% saham BTPN. Nah, dengan transaksi ini maka SMBC akan menggenggam 97% saham BTPN.

Setelah merger efektif, maka BTPN akan menjadi perusahaan tunggal milik SMBC, lantaran SMBCI secara legal dihilangkan. Selain itu, pasca merger logo BTPN tetap akan digunakan dengan penambahan lambang SMBC. 

Setelah efektif merger, Direktur Utama BTPN Ongki Wanadjati Dana menuturkan, BTPN akan menjadi bank universal dengan  bisnis lengkap dan melayani segmen nasabah yang lebih luas terutama segmen ritel dan korporasi.

"Bank hasil merger merupakan perpaduan ideal antara BTPN yang fokus pada segmen mass market dan usaha kecil menengah (UKM), dengan SMBCI yang fokus di segmen korporasi," ujarnya di Kantor Pusat BTPN, Jakarta, Jumat (1/2).

Ongki bilang, ada tiga strategi utama yang menjadi fokus BTPN pasca merger. Pertama, memastikan proses integrasi dan sinergi kedua bank berjalan lancar. Kedua, fokus mengembangkan bisnis utama yakni bisnis pensiunan, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) serta mendorong perbankan digital melali BTPN Wow! dan Jenius, sekaligus bisnis korporasi SMBCI.

Bank hasil merger ini juga akan menjajal segmen pasar baru yang selama ini belum tersentuh, seperti segmen korporasi menengah dan UKM yang lebih besar alias segmen komersial. Lewat cara ini, Ongki optimistis kinerja perusahaan akan lebih cemerlang dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Ketiga, di bidang perbankan digital, BPTN menegaskan akan tetap konsisten melanjutkan inovasi dan transformasi. Salah satunya dengan memperbesar skala model bisnis BTPN Wow! dan Jenius sebagai platform utama untuk menjaring nasabah yang lebih luas.

"Sementara itu, transformasi dilakukan dengan digitalisasi pada bisnis pensiun, mikro, kecil dan menengah untuk meningkatkan produktivitas yang lebih kompetitif," terangnya.

Ongki mengisyaratkan, dari total portofolio kredit, nantinya sebanyak 50% bakal dialihkan ke segmen korporasi. Sementara sisanya masuk ke segmen UMKM dan Pensiunan.

"Dari 50% sisanya, sekitar 15% akan kami fokuskan ke UMKM dari total portofolio bank hasil merger," ungkapnya.

Rampung semester I-2019

Sementara itu, untuk merger Bank Mitra Niaga dan Bank Agris, dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI) Selasa (29/1), Industrial Bank of Korea telah menyelesaikan transaksi pembelian saham PT Bank Mitra Niaga Tbk sebanyak 1,17 miliar saham (setara dengan 71,68% saham) dengan harga pembelian saham Rp 409 per saham.  

Sebelumnya, pada 15 Januari 2019 IBK juga telah resmi menjadi pengendali PT Bank Agris Tbk (AGRS). Bank yang dikelola pemerintah Korea Selatan itu telah membeli 5,03 miliar saham Bank Agris atau setara dengan 95,79% saham. IBK membeli saham Bank Agris dengan harga Rp 228 per saham atau senilai Rp 1,14 triliun. 

Dalam pernyataan resminya, manajemen Industrial Bank of Korea menyatakan pihaknya merupakan bank asing pertama di Indonesia yang mengantongi izin akuisisi dua bank pada saat yang bersamaan. Manajemen IBK meyakini akuisisi ini akan menciptakan sinergi guna menarik lebih banyak nasabah dan perluasan jaringan bisnis.

Nah, pasca akuisisi dua bank ini, IBK akan menggabungkan keduanya (merger) untuk dijadikan IBK Indonesia pada akhir semester I-2019. 

Sementara itu, aksi merger antara Bank Dinar dan Bank Oke Indonesia ditargetkan rampung pada semester I-2019. 

Direktur Utama Bank Dinar Hendra Lie menuturkan, bila seluruh proses berjalan mulus, maka merger kedua bank akan rampung pada Mei 2019. 

Sebelumnya, investor asing asal Korea Selatan yaitu APRO Financial Co. Ltd sudah merampungkan proses akuisisi Bank Dinar pada 25 Oktober 2018 lalu. Saat ini APRO Financial Co.Ltd telah menggenggam 77,38% saham Bank Dinar dan memiliki 99% saham Bank Oke.

Awalnya, rencana penggabungan dua bank ini ditarget selesai pada tahun lalu. Namun, lantaran banyak proses perizinan dan administrasi yang harus disiapkan, penggabungan kedua bank ini mundur ke tahun 2019.

"Untuk proses merger memang perlu proses panjang, kami perusahaan terbuka dan harus izin ke OJK Pasar Modal dan nanti ke OJK Perbankan untuk merger," kata Hendra kepada Kontan.co.id, Jumat (4/1).

Saat ini menurut Hendra, Bank Dinar tengah melakukan beberapa agenda persiapan merger. Pihak penunjang merger dan arranger juga sudah mulai bekerja untuk mematangkan rencana tersebut.

Nantinya, kantor jasa penilai publik (KJPP) juga akan menggelar valuasi aset dan saham perusahaan. Bank bersandi emiten DNAR ini dijadwalkan untuk menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 26 Februari 2019.

Agenda terpenting dalam RUPSLB tersebut yaitu meminta persetujuan pemegang saham terkait aksi korporasi tersebut.

Menurut hitung-hitungan Hendra, pasca penggabungan Bank Dinar dan Bank Oke selesai maka total modal inti bank gabungan menjadi Rp 1,6 triliun. Otomatis, bank baru tersebut akan langsung masuk dalam kategori bank umum kelompok usaha (BUKU) II.

Sedangkan untuk bank besar, PT Bank Danamon Tbk (BDMN) akan merger dengan PT Nusantara Parahyangan Tbk (BBNP) dan KCBA Bank Tokyo Mitsubishi UFJ (MUFG). 

Khusus untuk merger tiga bank ini, menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana, proses mergernya dilakukan antara Bank Danamon dengan Bank Nusantara Parahyangan terlebih dahulu. Selanjutnya, bank hasil penggabungan usaha ini akan dimerger dengan KCBA Bank Tokyo Mitsubishi UFJ.

Menurut OJK, merger ini dilakukan lantaran MUFG ingin memiliki lebih dari 40% saham Bank Danamon. Dalam peraturan OJK disebutkan, jika investor ingin meningkatkan kepemilikan dari 40% ke 70% di bank yang akan diakuisisi maka bank yang bersangkutan harus mencari bank lain untuk dimerger. 

MUFG saat ini memiliki 40% saham Bank Danamon dan 7,91% saham Bank Nusantara Parahyangan.

Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia Jumat (18/1) malam, kedua bank saat ini masih melakukan penelaahan atau mengkaji proses merger tersebut.

Ramai-ramai bidik lembaga keuangan untuk diakuisisi

Tak hanya merger, demi memperkuat bisnisnya beberapa bank besar tahun ini juga berniat untuk melakukan ekspansi anorganik lewat skema akuisisi.

Salah satu bank besar yang sudah mengumumkan rencana akuisisi sejak tahun lalu adalah PT Bank Central Asia Tbk (BCA). Bank swasta terbesar di Indonesia ini menyatakan akan mengakuisisi dua bank kecil. Satu diantaranya akan direalisasikan pada tahun ini.

Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiatmadja mengungkapkan, BCA telah menemukan bank yang akan dibidik untuk akuisisi. Menurut Jahja, bank tersebut memiliki total aset minimal Rp 1 triliun dan bukan merupakan perusahaan terbuka.

Meski belum merinci kapan aksi korporasi ini akan direalisasikan, namun Jahja berharap akuisisi bank oleh BCA yang telah direncanakan sejak tahun lalu tersebut akan rampung di tahun ini.

Ya, BCA memang telah merencanakan akuisisi bank kecil sejak tahun 2018. Kala itu, BCA telah menyiapkan dana sekitar Rp 4,5 triliun untuk akuisisi bank dan menambah modal anak usaha.

Sebelumnya, BCA menepis kabar rencana untuk mengakuisisi Bank Harda. Selain itu BCA juga pernah mengkonfirmasi kalau pihaknya tidak berencana mengakuisisi Bank Panin. Selain itu, Jahja juga mengatakan kalau pihaknya tidak berencana mengakuisisi Bank Ina Perdana, Bank Mestika, Bank Index dan Bank Capital.

Meski belum memastikan waktu akuisisi, sinyal positif dari pihak regulator dalam hal ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah muncul. Beberapa waktu lalu OJK mengaku tengah mengkaji rencana BCA untuk diskresi dengan meninjau ulang aturan single presence policy atau kepemilikan tunggal.

Artinya, bila rencana akuisisi dua bank selesai maka BCA kemungkinan tidak perlu menggabungkan bank tersebut. "Kalau dia (BCA) bisa ambil bank kecil dan jadi bank satelitnya satu digital dan satunya khusus UMKM kan lebih bagus," kata Kepala Eksekutif Perbankan OJK Heru Kristiyana.

Selain BCA, tiga bank pelat merah juga berencana mengakuisisi perusahaan di sektor keuangan. 

Ketiga bank tersebut adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk dan Bank Negara Indonesia Tbk. 

BRI telah menyiapkan dana Rp 1,5 triliun untuk mengakuisisi perusahaan asuransi. Direktur Utama BRI Suprajarto menuturkan, akuisisi ini bertujuan untuk melengkapi bisnis BRI sebagai penyedia jasa keuangan yang komprehensif.

Sebelumnya, BRI juga telah melakukan aksi korporasi serupa terhadap tiga perusahaan yakni PT BRI Ventura Investama, PT Danareksa Sekuritas, dan PT Danareksa Investment Management. 

PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN) juga menyatakan niatnya untuk mengakuisisi perusahaan yang bergerak di bidang keuangan yakni asuransi jiwa. Direktur Strategi, Resiko dan Kepatuhan BTN Mahelan Prabantarikso mengatakan, setidaknya BTN berniat memiliki dua anak usaha di bidang manajer investasi (MI) dan asuransi.

BTN telah membeberkan rencana ini sejak tahun lalu. Bahkan kala itu BTN telah menyiapkan dana Rp 700 miliar untuk merealisasikan akuisisi ini.

Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) mengaku menganggarkan sekitar Rp 3 triliun-Rp 4 triliun untuk mengakuisi sejumlah perusahaan keuangan yakni asuransi kerugian, bank, dan financial technology (fintech).

Herry Sidharta, Wakil Direktur Utama BNI mengatakan, saat ini pihaknya tengah membidik beberapa asuransi kerugian. "Ada tiga yang sedang kami bidik. Nanti tinggal dipilih mana yang cocok. Asuransi kerugian itu bisa kendaraan bermotor, bisa asuransi rumah dan lain-lain," jelasnya.

Sementara bank BUMN lain yakni, Bank Mandiri saat ini tengah berusaha  mencari perusahaan untuk dijadikan anak usaha di bidang jasa keuangan yang memiliki bisnis pelengkap bagi Bank Mandiri. "Untuk potensi akuisisi kami selalu melihat di market, baik di perbankan maupun perusahaan multifinance. Tapi belum ada target perusahaan yang spesifik untuk kami umumkan," kata Direktur Utama Bank Mandiri Kartika Wirjoatmodjo.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi