KONTAN.CO.ID - Perhelatan pemilu langsung 2018 sebanyak 171 pilkada pada bulan Juni mendatang setidaknya bisa membawa keuntungan ekonomi sekitar Rp 91 triliun. Manfaat ekonomi tersebut berasal dari belanja pemerintah untuk urusan pilkada tersebut serta dana belanja kampanye pasangan calon. Namun demikian, sejalan dengan semakin menguatnya friksi yang terjadi di tengah masyarakat saat ini, bisa saja keuntungan ekonomi yang bisa didapat tersebut dan sudah ada di depan mata bisa langsung sirna dalam sekejap. Anggaran pemerintah untuk pelaksanaan pilkada serentak 2018 sendiri setidaknya mencapai sekitar Rp 20 triliun yang diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Sedangkan pengeluaran para pasangan calon atau paslon yang bertarung sekitar Rp 14 triliun. Angka tersebut penulis hitung dengan asumsi masing-masing daerah memiliki dua pasangan calon (asumsi minimal). Selanjutnya, pada tingkat kabupaten-kota, dana kampanye yang dikeluarkan oleh satu pasangan calon mencapai masing-masing Rp 3 miliar. Sedangkan untuk tingkat provinsi, per pasangan calon bisa mengeluarkan dana kampanye sebesar Rp 400 miliar.
Apabila ada 154 kabupaten/kota, maka akan diperoleh biaya kampanye sebesar Rp 924 miliar. Sedangkan di level provinsi, dari 17 provinsi yang akan mengelar pilkada 2018 diperoleh dana kampanye sebesar Rp 13,6 triliun. Jadi total anggaran pilkada 2018 baik dari pemerintah maupun para peserta pilkada kira-kira sebesar Rp 34,5 triliun. Dalam teori ekonomi makro disebutkan bahwa setiap kegiatan konsumsi masyarakat dan belanja pemerintah dalam perekonomian akan menghasilkan efek pengganda. Konsumsi masyarakat dalam hal ini dicerminkan dari belanja pasangan calon untuk kampanye. Belanja pemerintah dicerminkan dari anggaran untuk pemilu 2018. Perhitungan efek ekonomi dari pemilu 2018 di tulisan ini dihitung menggunakan data input-output 2010. Besaran anggaran pesta demokrasi 2018 dijadikan sebagai shock-nya (besaran permintaan yang muncul dari belanja pemerintah dan konsumsi untuk menghitung tambahan output dalam ekonomi). Lebih lanjut, tambahan output dalam perekonomian tersebut didasarkan pada asumsi bahwa belanja pemilu digunakan untuk belanja di sektor industri pengolahan sekitar Rp 14 triliun. Belanja di sektor industri ini antara lain ditujukan untuk membeli atribut pemilu semisal kaos, baliho, suvenir dan percetakan. Pos belanja berikutnya adalah belanja untuk ongkos transportasi sekitar Rp 5 triliun. Ongkos transportasi semisal penyewaan pesawat, sewa mobil untuk mobilisasi massa dan sewa operasional kendaraan tim sukses di masa kampanye. Selanjutnya belanja penyediaan makanan dan minuman sekitar Rp 10 triliun. Pengeluaran di pos ini digunakan antara lain untuk penyediaan makanan saat rapat umum di alun-alun serta rapat umum di hotel serta. Pengeluaran berikutnya ditujukan di sektor jasa penyiaran dan pemrograman, film dan hasil perekaman suara sekitar Rp 5 triliun dan belanja di sektor administrasi pemerintahan, pertahanan dan jaminan sosial wajib sebesar Rp 20 triliun. Pada jasa penyiaran, dana kampanye, baik dari pemerintah dan pasangan calon, digunakan untuk media iklan. Pemerintah di iklan masyarakat terkait pemilu dan pasangan calon terkait iklan program ataupun pasangan calon yang bersangkutan. Pada sektor terakhir, belanja digunakan antara lain untuk honor panitia pengawas pemilu (panwaslu) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun adanya friksi di tengah masyarakat yang muncul pasca pemilu presiden (pilpres) tahun 2014 bisa menggerogoti keuntungan ekonomi pilkada 2018. Bahkan, bisa memicu kerugian lebih besar dari angka keuntungan yang didapat. Kerugian ini muncul dari konflik antarkelompok masyarakat yang sewaktu-waktu bisa muncul selama masa kampanye dan pasca pencoblosan. Kerugian ini timbul dari rusaknya bangunan publik dan pribadi milik masyarakat, terhentinya layanan publik, terhentinya aktifitas ekonomi dan korban luka-luka. Masih adem saja Sejarah pilkada mencatat, pilkada tidak selamanya tanpa rusuh. Kerusuhan di Kabupaten Intan Jaya, Papua pada 2017 silam adalah contohnya. Satu orang tewas. Selain itu ada juga kerusuhan terkait pemilihan walikota dan wakil walikota (pilwakot) di Kota Palopo, Sulawesi Selatan pada 2013 silam. Kerusuhan tersebut terjadi di tengah pelaksanaan pilkada yang rawan sengketa. Data Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kesbangpol Kemdagri) mencatat pada tahun 2010, ada 224 daerah yang menyelenggarakan pilkada. Sebanyak 73% diantaranya diwarnai proses gugatan. Selain itu, dari 486 pilkada yang digelar pada 2005-2008, hampir separuhnya bermasalah. Masalah administratif dan politik inilah yang bisa merembet ke masalah lain. Pada titik ekstrim, friksi pilkada 2018 bisa berujung konflik. Hal ini didasarkan pada fakta sosial-ekonomi kita yang tidak dalam kondisi sangat bagus yang bisa dilihat dari angka indeks gini untuk mengukur ketimpangan. Per September 2017, indeks gini Indonesia mencapai 0,391. Angka ketimpangan tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka ketimpangan Tunisia pada 2011 yang sebesar 0,35 (estimasi Bank Dunia) dan Indonesia 0,41. Angka ketimpangan Tunisia jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia. Ada apa dengan Tunisia? Tunisia adalah awal dari Arab Spring yang saat ini mengguncang Jazirah Arab dengan Suriah sebagai korban terparahnya. Apabila angka ketimpangan di Tunisia tersebut dijadikan rujukan, maka Indonesia sudah berada di atas garis untuk sebuah chaos. Tapi hingga tulisan ini dibuat, Indonesia masih adem-adem saja. Tidak ada konflik berdarah terbuka yang berskala regional maupun nasional yang terjadi.
Titik ekstrim konflik harus dihindari terlebih di tengah friksi yang semakin menajam di tahun politik. Masyarakat, aparat dan elite memiliki tanggung jawab masing-masing. Menghindari konsumsi berita palsu serta kedewasaan bertindak perlu menjadi perhatian masyarakat. Peran elite merawat pendukungnya dalam koridor etika kesantunan politik sangat diperlukan. Kesigapan aparat dalam mitigasi konflik mutlak dibutuhkan. Semoga pilkada 2018 tidak hanya membawa keuntungan ekonomi saja, tapi juga keuntungan politik dengan terpilihnya para pemimpin yang kompeten dan kredibel.
Rusli Abdulah Peneliti Indef Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi