KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Menuju akhir tahun 2023, utang perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sejumlah bank tanah air kembali menjadi sorotan, terutama utang BUMN Karya. Pasalnya jika tidak dapat menyehatkan keuangan mereka dan melunasi utang, yang kena getahnya tentu saja adalah perbankan. Baru-baru ini tepatnya Jumat (8/12), Kementerian BUMN telah menyetujui skema restrukturisasi yang diusulkan PT Waskita Karya (Persero) Tbk (
WSKT) dalam Rapat Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 2023.
Dalam hasil keputusannya, Kementerian BUMN dan para pemegang saham perseroan menyetujui usulan restrukturisasi yang akan diajukan kepada para kreditur dalam rangka rencana penyehatan keuangan sebagai langkah strategis untuk memperbaiki kondisi internal dan kinerja perseroan.
Baca Juga: Masih Ramai, Begini Prospek Saham Emiten yang Menggelar Rights Issue di Akhir 2023 Hal ini sejalan dengan telah didapatkannya persetujuan dari seluruh bank Himbara dan sebagian perbankan swasta terkait skema restrukturisasi Waskita yang telah mencapai 90% dari nominal
outstanding utang. Waskita Karya menargetkan untuk menyelesaikan proses restrukturisasi pada akhir tahun 2023. Saat ditelisik laporan keuangan Waskita Karya, perseroan memiliki utang jangka pendek dan jangka panjang kepada sejumlah bank. Tercatat sampai September 2023, utang jangka pendek Waskita Karya sebesar Rp 701,13 miliar, jumlah tersebut telah menurun jika dibandingkan utang jangka pendek per Desember 2022 yang sebesar Rp 814 miliar. Sementara itu, adapun utang jangka panjang Waskita Karya sampai September 2023 tembus Rp 46,43 triliun. Jumlah ini turun tipis jika dibandingkan dengan utang jangka panjang tahun lalu yakni Rp 46,47 triliun per Desember 2022. Alhasil jika dijumlah, adapun total utang Waskita Karya ke bank tembus Rp 47,13 triliun per September 2023. Namun, asal tahu saja utang jumbo Waksita Karya tersebut tidak lebih tinggi dari total utang PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PT PLN yang sudah tembus Rp 136,84 triliun per September 2023. Jika dirinci, total utang PLN tersebut terdiri dari utang jangka pendek sebesar R 34,45 triliun per September 2023, naik 14,95% ytd dari Rp 29,97 triliun per Desember 2022.
Baca Juga: Begini Tanggapan Manajemen Wijaya Karya (WIKA) Terkait Hasil RUPSU Sementara utang jangka panjang PLN ke bank tembus Rp 102,39 triliun per September 2023, namun jumlah ini telah turun 16,37% ytd dari tahun lalu Rp 122,44 triliun per Desember 2022. Di posisi ketiga ada perusahaan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (
TLKM) memiliki total utang di perbankan sebesar Rp 33,31 triliun per September 2023, dengan rincian utang jangka pendek sebesar Rp 11,796 triliun, naik 44% ytd dari Rp 8,191 triliun pada Desember tahun lalu. Sementara itu, utang jangka panjang di bank tercatat sebesar Rp 21,51 triliun per September 2023, turun 2,22% ytd dari tahun lalu Rp22 triliun per Desember 2022. Selanjutnya posisi keempat ada Perum Bulog, yang jika menelisik utangnya di bank Himbara yakni khususnya di PT Bank Negara Indonesia Tbk (
BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (
BBRI), Bulog memiliki total utang tercatat sebesar Rp 22,86 triliun per September 2023, dengan rincian utang Bulog di BNI sebesar Rp 12,72 triliun, jumlah ini naik dari Rp 5,68 triliun pada Desember 2022. Sementara itu dan utang Bulog di BRI tercatat sebesar Rp 10,14 triliun per September 2023, jumlah ini naik dari Rp 2,8 triliun per Desember 2022. Adapun di posisi kelima adalah BUMN Karya lainnya seperti PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (
WIKA) mencatat total utangnya di bank mencapai Rp 20,12 triliun per September 2023, dengan rincian utang jangka pendek sebesar Rp 14,44 triliun, turun dari utang tahun lalu yang sebesar Rp 14,78 triliun per Desember 2022. Sementara untuk utang jangka panjang tercatat mencapai Rp 5,68 triliun per September 2023, naik dari Rp 4,73 triliun per Desember 2022. Adapun PT PP (Persero) Tbk (
PTPP) mencatat total utang di bank sebesar Rp 13,77 triliun per September 2023, dengan rincian utang jangka pendek sebesar Rp3,28 triliun, turun 38,57% ytd dari Rp5,34 triliun per Desember 2022. Sementara utang jangka panjang Rp10,49 triliun per September 2023, naik dari Rp7,76 triliun per Desember 2022.
Baca Juga: Kinerja Emiten BUMN Karya Masih Terpuruk, Begini Proyeksi Kinerjanya di Tahun 2024 PT Adhi Karya (Persero) Tbk (
ADHI) mencatat total utang ke bank Rp6,55 triliun per September 2023, dengan rincian utang jangka pendek mencapai Rp5,19 triliun, naik dari Rp3,8 triliun per Desember 2022. Sementara utang jangka panjang tercatat sebesar Rp1,36 triliun, naik dari Rp772,53 miliar per Desember 2022. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (
GGIA) memiliki utang jangka pendek di bank sebesar US$193.244, atau Rp 2,99 miliar per September 2023, jumlah ini turun drastis dari US$ 16,49 juta atau Rp 255,688 miliar per Desember 2022 dikarenakan Garuda telah merestrukturisasi pinjaman bank jangka pendeknya menjadi jangka waktu panjang 22 tahun, sehingga utang jangka panjang Garuda tercatat sebesar US$ 696,85 juta atau Rp 10,80 triliun per September 2023, naik dari US$ 655,54 juta atau Rp 10,16 triliun pada Desember 2022. Pengamat Perbankan Senior Vice President LPPI, Trioksa Siahaan mengatakan sepanjang perusahaan BUMN tersebut memiliki t
rack record pembayaran dan kinerja keuangan yang bagus, maka tidak ada masalah dengan penyicilan utangnya. Namun bila mulai terlihat
track record yang buruk, maka bank perlu mengantisipasi meningkatnya risiko kredit dari perusahaan BUMN tersebut, dengan melakukan peningkatan pencadangan risiko kredit bermasalah. Trioksa menyebut jika melihat dari kinerja keuangan BUMN tersebut masih terlihat baik dan masih membukukan laba kecuali Garuda yang membukukan rugi, namun meski begitu Garuda masih menunjukkan tren kinerja membaik dibanding sebelumnya. "Dan bila dapat mengelola utangnya dengan baik serta didukung dengan efisiensi operasional maka ke depannya berpotensi membukukan kinerja yang baik. Yang perlu menjadi perhatian adalah kredit ke BUMN Karya," kata dia kepada Kontan, Minggu (10/12). Ekonom dan Guru Besar Universitas Indonesia Budi Frensidy juga bilang selama
cashflow perusahaan BUMN tersebut bagus, dan sanggup untuk menutupi biaya bunga dan cicilan, maka menurutnya utang yang besar tidak menjadi masalah.
Baca Juga: Permohonan PKPU Terhadap Waskita Karya (WSKT) Ditolak Namun sebaliknya bila
cashflownya tidak mencukupi, maka pasti perlu dilakukan restrukturisasi dan pencadangan piutang tak tertagih dari bank pemberi utang akan meningkat dan membebani kinerja bank tersebut. "Namun, perusahaan BUMN umumnya didukung oleh penyertaan negara kalau mengalami kesulitan keuangan," kata dia kepada Kontan, Minggu (10/12) Sementara itu jika dilihat dari sisi laporan keuangan perbankan, BNI mencatat total pinjaman yang diberikan ke perusahaan BUMN yakni tembus Rp 119,71 triliun per September 2023, naik dari Rp 104,73 triliun per Desember 2022. Sementara itu BRI mencatat total pinjaman yang diberikan ke perusahaan BUMN yakni sebesar Rp 78,35 triliun per September 2023, jumlah ini naik dari pinjaman yang diberikan yakni Rp63,75 triliun pada tahun lalu. Direktur Manajemen Risiko BRI Agus Sudiarto mengatakan total pinjaman BUMN naik sebesar 23% secara
year to date (ytd) tersebut dipengaruhi oleh beberapa hal. "Kenaikan eksposur di tahun ini turut dipengaruhi oleh antisipasi pemerintah untuk menekan inflasi akibat dampak el nino, yaitu dengan meningkatkan impor beras di semester II 2023," kata dia kepada Kontan, Sabtu (9/12). Meski begitu, Agus mengatakan dari sisi kualitas kredit, rasio kredit bermasalah (NPL) di sektor BUMN berada di level 0,01% dengan posisi
Loan at Risk (LAR) sebesar Rp 11,07 triliun atau 14,43% yang didominasi sektor aviasi dan konstruksi.
Baca Juga: Menanti Hasil Proses Restrukturisasi BUMN Konstruksi Kualitas kredit yang baik tersebut tidak terlepas dari proses penyaluran pinjaman BRI yang selalu menerapkan prinsip kehati-hatian atau
prudential banking practice dengan menyiapkan pencadangan atau CKPN yang memadai sesuai ketentuan. Agus merinci LAR coverage BRI saat ini berada di level 76%. "Sehingga, apabila terdapat penambahan eksposur Loan at Risk di tahun depan, misalnya sekitar Rp 1 triliun, kami masih dapat menjaga rasio LAR Coverage di kisaran 70%. Sejauh ini, posisi LAR Coverage tersebut secara umum telah lebih baik dibandingkan rata-rata perbankan lain," kata Agus. Agus sendiri menyebut pihaknya masih optimistis dengan prospek perusahaan BUMN ke depannya, sehingga ia memproyeksikan tren penurunan LAR di tahun ini masih akan berlanjut hingga tahun 2024, dengan
Cost of Credit yang relatif sama dengan tahun 2023, yaitu di kisaran 2,4%. "Dengan proyeksi tersebut kami berharap dapat menjaga
ratio LAR coverage di kisaran 48%-50% dan NPL
coverage di kisaran 200%." kata dia. Sementara itu Corporate Secretary Bank Mandiri Ali Usman mengatakan Bank Mandiri hingga September 2023 berhasil menekan rasio NPL ke level 1,36%, menurun dari rasio NPL tahun lalu di level 1,88% per Desember 2022.
Baca Juga: Menanti Hasil Proses Restrukturisasi BUMN Konstruksi Selain itu,
Loan at Risk Ratio (LaR) (termasuk restrukturisasi covid) juga membaik dari 12,10% pada 22 Desember menjadi 9,87%. Perbaikan ini mendorong adanya penurunan
Cost of Credit (CoC) dari 1,21% pada 22 Desember menjadi 0.73% di September tahun ini. Sejalan dengan adanya perbaikan kualitas portofolio, kecukupan pencadangan juga mengalami penyesuaian yang dapat dilihat dengan adanya peningkatan persentase NPL Coverage mencapai 339,61% di 23 September dari posisi 22 Desember sebesar 311,10%. "Kami melihat trend perbaikan kualitas kredit ini akan berlanjut sampai FY 2023 dan stabil di 2024 mendatang," kata dia kepada Kontan. Sementara itu Direktur Utama PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk (
BJBR) Yuddy Renaldi mengatakan saat ini pihaknya melihat cadangan yang dibentuk sudah mencukupi dari perhitungan yang dilakukan dengan mempertimbangkan PD LGD yang ada.
Baca Juga: Simak Prospek Kinerja dan Rekomendasi Saham Wijaya Karya (WIKA) Diketahui sejumlah perusahaan BUMN juga memiliki utang kepada Bank BJB, untuk itu Yuddy bilang "Untuk tahun depan pembentukan CKPN tentu dilakukan sejalan dengan ekspansi bisnis yang dilakukan, besarnya NPL Coverage pun akan terus menyesuaikan dengan perkembangan PD LGD" Hal tersebut disebut Yuddy agar provisioning tidak terlalu membebani laba rugi di tahun depan, sehingga pihaknya akan berusaha untuk menjaga kualitas kredit sehingga tidak memberi tekanan yang besar. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Noverius Laoli