Menelisik Persoalan Pengelolaan Limbah Pabrik Prekursor Katoda Baterai Litium



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dengan sumber daya bijih nikel kadar rendah yang melimpah-ruah, Indonesia berpeluang menjadi pemain besar di industri baterai lithium berbasis nikel. Apalagi Pemerintah Indonesia memang tengah berusaha mendorong perkembangan ekonomi hijau di dalam negeri, termasuk pengembangan industri baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV)..

Sayangnya, keberadaan industri baterai EV yang akan berperan besar dalam pengurangan emisi, justru berpotensi berdampak buruk terhadap lingkungan. Dus, jika tak segera dicarikan jalan keluar, perkembangan industri baterai EV di tanah air bakal terhambat.

Persoalan lingkungan yang muncul terkait pengelolaan limbah hasil produksi bahan baku baterai EV berbasis nikel.


Sebagai informasi, untuk menghasilkan produk turunan nikel berupa nickel matte, nickel pig iron dan feronikel menggunakan proses pirometalurgi dengan cara pemanasan pada temperatur tinggi. 

Sementara itu, kata CEO PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) Alexander Barus, pemurnian nikel kadar rendah menggunakan teknologi hidrometalurgi High Pressure Acid Leach (HPAL). Proses ini menghasilkan bahan precursor katoda baterai lithium seperti nickel sulfide dan cobalt sulfide.

Dalam prosesnya, produksi bahan baku baterai EV dengan HAPL menggunakan asam sulfat. Walhasil, limbah yang dihasilkan juga mengandung asam sulfat sehingga termasuk dalam kategori limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

"Tailing dari hasil HPAL pada awalnya direncanakan menggunakan deep sea tailing. Namun, ini kemudian tidak diijinkan oleh pemerintah," ujar Alexander Barus belum lama ini kepada KONTAN.

Baca Juga: Nikel, Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Baterai EV dan Wajah Baru Bahodopi

Sementara jika dibuang ke darat, untuk membangun dam penampungan tailing akan menghadapi dua masalah; memakan biaya besar dan ketersediaan lahan. 

Sebagai gambaran, ada empat pabrik bahan precursor katoda baterai EV yang dibangun di IMIP. Total kapasitas produksi empat pabrik ini mencapai 240 ribu metrik ton (mt). 

Yang saat ini sudah beroperasi adalah PT Huayue Nickel Cobalt yang memiliki kapasitas produksi 70.000 ton nickel cobalt (Ni-Co) per tahun.

"Untuk penampungan tailing di darat itu butuh lahan hampir 400 hektar," tandasnya.

Selain Huayue, pabrik lain yang dibangun adalah PT QMB New Energy Material yang berkapasitas produksi 50.000 ton nickel sulfide & Ni-Co per tahun. Lalu, PT Fajar Metal Industry yang berkapasitas 60.000 ton nickel sulfide per tahun dan PT Teluk Metal Industry berkapasitas 60.000 ton nickel sulfide per tahun.

Proses pembangunan tiga pabrik selain Huayue ini tetap berjalan dan tinggal instalasi mesin. Namun, saat ini pihak IMIP sedang berusaha keras mencari lahan untuk penyimpanan tailing saat pabrik kedua dan selanjutnya beroperasi. 

"Kalau pabriknya jadi dan beroperasi, mau kemana dibuang tailing ini? Lahan untuk tailing 400 ha ini kami tidak punya lagi," keluhnya.

Baca Juga: Berkat Baterai EV, Nikel Kadar Rendah Bakal Naik Status dari Paria Jadi Primadona

IMIP saat ini memang sedang menghadapi masalah keterbatasan lahan. Dari luas kawasan IMIP di Bahodopi, Kabupaten Morowali, yang mencapai 4.000 ha, saat ini semuanya sudah terpakai.

Dus, tak aneh jika saat ini pengembangan industri hilirisasi nikel di Morowali sudah berkembang jauh ke luar kawasan IMIP.

Jumlah tailing yang dihasilkan dalam proses pembuatan bahan precursor katoda baterai lithium memang sangat besar. 

Alexander Baru memberikan gambaran, dari input bahan mentah bijih nikel dihasilkan nikel 1,5% serta cobalt dan mangaan masing-masing 0,5%. Sementara moisture content (kandungan air) antara 30%-35%. Berarti, tailing yang dihasilkan sebanyak 62,5% hingga 67,5% dari input.

"Untuk memproduksi bahan baku 240 ribu mt, dibutuhkan input antara 8 hingga 10 juta ton. Artinya sekitar 6,5 juta ton itu akan menjadi tailing," kata Alexander Barus.

Untuk mencari solusi atas masalah limbah ini, ia mengaku sudah memberikan sampel tailing ke tim dari Universitas Indonesia dan Federasi Industri Kimia Indonesia untuk dijadikan bahan penelitian.

"Karena di dalam tailing ini masih ada kandungan fero dan silika. Jika bisa diekstrak bisa jadi bernilai ekonomi dan sisanya tidak menjadi masalah lingkungan," ujarnya.

Alexander Barus berkaca pada pemanfaatan slag nikel yang dulu dianggap sebagai limbah B3 namun kini sudah bisa dimanfaatkan dan tak lagi dianggap berbahaya. 

Sebagai informasi, slag nikel merupakan limbah hasil pengolahan feronikel. Slag nikel saat ini menjadi bahan baku konstruksi, misalnya untuk batako, beton pra cetak dan semen slag.

Toto Nugroho, Direktur Utama Indonesia Battery Corporation (IBC) menyebut, selain deep sea tailing, pengelolaan limbah hasil produksi precursor katoda baterai lithium bisa menggunakan metode dry stacking.

"Metode dry stacking ini setahu saya sudah di approve oleh KLHK," ujar Toto kepada KONTAN, Senin (25/7).

Baca Juga: Bangun Smelter US$ 500 Juta, Central Omega Resources (DKFT) Cari Mitra Strategis

Sebagai informasi, metode dry stacking mampu menguraikan material padat dan cairan dalam tailing. Efeknya ke lingkungan juga relatif lebih baik karena kontaminasi ke air tanah yang rendah. 

Namun pengelolaan limbah dengan metode dry stacking membutuhkan biaya yang jauh lebih besar, misalnya ketimbang deep sea tailing.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tedy Gumilar