Menelisik rencana pemerintah hapus premium



Jakarta. Berbekal kejelian dan kecerdikan, sebuah momentum bisa menjadi kesempatan emas untuk membuat perubahan besar. Pemerintah tampaknya menyadari hal ini dan tak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas dari momentum harga minyak mentah dunia yang lagi anjlok.

Penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM) jenis premium di saat harga minyak dunia melandai jelas bikin efek yang dirasakan masyarakat tidak terlalu besar. Sebab, harga premium hanya turun dari Rp 8.600 per liter menjadi Rp 7.600 seliter bulan ini.

Lantaran pemerintah tak lagi menyuntikkan subsidi, harga premium bakal mengikuti pergerakan harga minyak dunia. Otomatis, saat harga minyak dunia meroket, harga premium akan ikut melonjak.


Tapi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, kebijakan pencabutan subsidi premium bukan berarti menyerahkan harga BBM ke mekanisme pasar. Sebab, pemerintah tidak serta lepas tangan. Pemerintah akan menetapkan harga dasar dan harga jual eceran BBM, kata Sudirman.

Makanya, karena harga minyak dunia berfluktuasi, pemerintah akan mengevaluasi serta menetapkan harga dasar dan harga jual eceran premium saban bulan.

Harga dasar terdiri dari biaya perolehan, biaya distribusi, biaya penyimpanan, dan margin untuk badan usaha. Sedang harga jual eceran mencakup harga dasar plus pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB).

Indeks pasar BBM

Nah, penetapan harga dasar dihitung berdasarkan patokan harga minyak dunia dan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (AS).

Agus Cahyono Adi, Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, bilang, perhitungan harga dasar BBM tiap bulan mulai tahun ini menggunakan rata-rata harga indeks pasar BBM dan nilai tukar pada periode tanggal 25 dua bulan sebelumnya hingga tanggal 24 bulan sebelumnya.

Harga indeks pasar mengacu harga indeks minyak di Singapura alias Mean of Platts Singapore (MoPS). Sementara nilai tukar rupiah bertolak pada kurs beli Bank Indonesia (BI). Jadi, penentuan harga dasar BBM Januari 2015, misalnya, memakai rata-rata MoPS dan kurs beli BI periode 25 November24 Desember 2014 lalu.

Untuk harga jual eceran premium selain Jawa, Bali, dan Madura, pemerintah mematok tarif PBBKB sebesar 5%. Sementara di ketiga pulau tersebut, tarif PBBKB tergantung penetapan pemerintah provinsi. Karena itu, harga jual eceran premium di setiap provinsi nantinya bisa berbeda-beda tergantung dari tarif PBBKB.

Masalahnya, meski ditetapkan pemerintah, harga dasar dan harga jual eceran premium mengacu ke harga indeks pasar. Lalu, bagaimana jika harga indeks pasar BBM melonjak tinggi? Apakah pemerintah tetap keukeuh tidak memberikan subsidi untuk premium?

Pemerintah tampaknya belum mau berpikir sejauh itu. Menurut Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro, sepanjang 2015, pemerintah memperkirakan harga minyak dunia akan tetap rendah. Persoalan harga minyak dunia tahun 2016 akan meroket, itu baru dipikirkan kemudian. Kan, masih jauh, ujar Bambang.

Agus menyatakan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM memang tidak mengatur soal pemberian subsidi untuk premium ketika harga minyak dunia melonjak. Cuma, jika harga minyak luar biasa, maka pemerintah bisa mengubah beleid itu.

Sayang, Agus enggan merinci di level berapa harga minyak dunia disebut luar biasa. Belum pasti apakah pemerintah akan kembali memberi subsidi untuk premium atau tidak. Soalnya, menteri ESDM sebagai yang berwenang menetapkan harga dasar dan harga jual eceran BBM harus berkoordinasi dengan Presiden. Persoalan ini memang tidak diatur, tapi normatif saja, ucapnya.

Pri Agung Rakhmanto, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan, kemungkinan harga minyak dunia melonjak tahun ini, sangat kecil.

Kalaupun harga minyak terbang hingga US$ 100 per barel, masyarakat tidak perlu takut. Sebab, pemerintah punya kewenangan untuk menetapkan harga BBM. Bisa saja pemerintah nanti memberikan subsidi tetap, kata Pri Agung.

Menghapus premium

Yang jelas, lantaran mengikuti harga dunia, masyarakat memang harus siap jika harga bensin melonjak tinggi. Tak cuma itu, masyarakat tampaknya juga harus siap tidak lagi menikmati premium. Pasalnya, pemerintah berencana menghapus premium alias BBM dengan RON 88. Itu berarti, masyarakat kelak harus membeli BBM dengan RON 92 ke atas.

Seperti diketahui, penghapusan BBM RON 88 merupakan buah rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Akhir bulan lalu, tim yang dipimpin Faisal Basri ini memberi rekomendasi kepada pemerintah untuk menghentikan impor RON 88 dan menggantinya dengan Mogas 92. Tim ini juga merekomendasikan untuk mengalihkan produksi kilang domestik dari bensin RON 88 menjadi RON 92.

Menteri Koordinator Perekonomian Sofyan Djalil menuturkan, sesuai rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas, Indonesia kemungkinan tidak lagi membutuhkan bensin RON 88. Namun, semua itu tergantung kesiapan Pertamina. Karena itu, Sofyan berharap, dalam dua tahun ke depan Pertamina bisa berbenah agar lebih efisien dan mampu menyelesaikan masalah keterbatasan kilang.

Menjawab harapan Sofyan, Dwi Soetjipto, Direktur Utama Pertamina, menegaskan, perusahaannya siap melaksanakan kebijakan pemerintah tersebut. Tapi, untuk menghapus bensin RON 88 dan mengganti dengan RON 92, perusahaan energi pelat merah ini butuh persiapan paling lama dua tahun.

Saat ini, Pertamina baru mampu memproduksi bensin RON 92 sebanyak 1.500 barel per hari. Sementara produksi RON 88 mencapai 5.200 barel per hari. Dwi berharap, melalui program peningkatan kapasitas kilang, Pertamina bisa meningkatkan produksi dari 40% menjadi 80% dari total kebutuhan BBM dalam negeri.

Bisa jadi, Pertamina mampu memenuhi permintaan pengalihan produksi bensin RON 88 ke RON 92. Masalahnya, jika harus membeli bensin RON 92, tentu masyarakat mau tak mau harus merogoh kocek lebih dalam. Sebab, harga bensin RON 92 lebih mahal ketimbang RON 88. Saat ini saja, harga Pertamax yang tergolong RON 92 sebesar Rp 8.800 per liter.

Nah, apakah pemerintah lantas akan memberikan subsidi untuk bensin RON 92? Agus mengatakan, belum ada rencana memberi subsidi untuk bensin RON 92 jika nantinya bensin RON 88 dihapus. Sebab, pemberian subsidi tersebut tidak tepat sasaran. Sebaliknya, pada akhirnya semua BBM kelak tidak mendapat subsidi. Nantinya tidak ada lagi subsidi harga namun subsidi langsung ke masyarakat, kata Agus.

Hanya, Pri Agung menilai, penghapusan premium tidak mendesak dan bukan kebutuhan prinsip. Selain itu, penghapusan premium akan memba-tasi masyarakat memilih BBM sesuai kantong mereka.

Ya, pemerintah jangan membuat kebijakan yang menambah beban masyarakat.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 16 - XIX, 2014 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Imanuel Alexander