Keinginan pemerintah Indonesia mendapatkan 51% saham Freeport masih menemui jalan terjal. Hingga saat ini belum ada tanda-tanda target ini terealisasi. Keinginan pemerintah untuk mendapat saham Freeport tentu tidak gampang. Sebab investasi pertambangan merupakan investasi jangka panjang membutuhkan kepastian hukum dan jaminan investasi. Untuk pertambangan emas ada beberapa karakteristik, seperti
high capital, high technology, high risk, long yielding, wilayah terpencil, sumberdaya yang terbatas, mendeteksi potensi yang tersembunyi, mengubah bentang alam dan bersinggungan dengan sumber daya alam lainnya. Akibatnya pengembalian modal investasi dan pemulihan lingkungan pasca tambang membutuhkan waktu yang sangat lama.
Abrar Saleng, Pakar Hukum Pertambangan Universitas Hassanudin menyebut beberapa tembok penghalang upaya pemerintah mengambil alih 51% saham Freeport. Pertama; hingga kini perjanjian Kontrak Karya (KK) belum berakhir sehingga tiap perubahan harus mendapat persetujuan kedua belah pihak. Kedua, prosedur penawaran divestasi, kepada BUMN belum jelas. Ketiga; kesepakatan untuk menentukan nilai wajar saham Freeport hingga kini belum jelas dasarnya. "Aturan peralihan itu diubah-ubah terus, seharusnya tidak demikian, karena itu kan mengatur sebuah keadaan lama dalam kondisi keadaan baru. Kalau peraturan peralihannya diubah-ubah ya begini jadinya," ujarnya. Ia menilai, kasus Freeport tidak sama dengan perusahaan KK yang sudah mengubah izin usahanya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pasalnya, Freeport memiliki tambang bawah tanah yang secara investasi jauh lebih besar dibandingkan dengan investasi tambang terbuka. Ridho Kresna Wattimena, Pakar Tambang Bawah Tanah dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengingatkan, kalau pun nantinya pemerintah berhasil menguasai tambang bawah tanah Freeport dan memberikan pengelolaan di
holding pertambangan BUMN, dirinya ragu pemerintah mampu mengelolanya sebaik Freeport. Pasalnya, jenis tambang bawah tanah Freeport merupakan block caving yang belum ada perusahaan swasta nasional maupun BUMN yang sudah pernah mengelola. Selain itu, secara best practise tidak banyak tambang bawah tanah yang menggunakan metode serupas di dunia.
"
Experience cuma ada di Freeport Indonesia, dari Chili dan Afrika ada perusahaan yang bisa mengerjakan tambang bawah tanah serupa. Tetapi tentu itu asing, itu kan sama saja," ujarnya. Sementara di sisi pendanaan pembelian 51% saham PT Freeport Indonesia, pemerintah tampaknya belum siap meskipun akan menginstruksikan beberapa BUMN untuk membentuk konsorsium. Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) menilai holding BUMN pertambangan yang dibentuk pemerintah yakni PT Inalum, PT Antam, PT Bukit Asam dan PT Timah tidak cukup kuat. Ia memperkirakan ekuitas BUMN yang akan dilebur ke Inalum hanya sekitar Rp 58,1 triliun. Padahal nilai 51% saham Freeport bisa mencapai Rp 105 triliun-Rp 110 triliun. Ia menyebut jika memaksa mereka membeli saham Freeport, jumlah utang akan jauh di atas ekuitas. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Rizki Caturini