Menengok Dampak Penyusutan Usaha Pertanian Terhadap Inflasi



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, berdasarkan Sensus Pertanian 2023 Tahap I menunjukkan bahwa jumlah usaha pertanian tercatat sebesar 29,36 juta unit usaha, turun 7,42% jika dibandingkan Sensus Pertanian tahun 2013.

Kondisi ini dikhawatirkan bisa mempengaruhi ketersediaan pangan dari pasokan dalam negeri, dan pada muaranya akan mengerek inflasi kembali tinggi.

Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian Ferry Irawan menyampaikan, meskipun usaha pertanian menyusut, namun tidak membuat produktivitas pertanian menurun.


Baca Juga: Petani Gurem Meningkat, Orang Miskin dari Sektor Pertanian Bertambah

Dia mencontohkan, dalam lima tahun terakhir produktivitas tanaman padi menunjukkan tren peningkatan. Pada 2018 produktivitas padi tercatat sebesar 52,03 ku/ha, sempat menurun pada 2019 ke level 51,14 ku/ha kendati berangsur naik dan tercatat sebesar 52,59 ku/ha pada 2023.

Ia menyampaikan, pemerintah terus mengupayakan peningkatan produksi pertanian, baik melalui ekstensifikasi lahan, peningkatan indeks pertanaman, inovasi budidaya maupun mendorong tingkat produktivitas.

“Peningkatan tingkat produktivitas salah satunya dilakukan melalui penggunaan teknologi budidaya pertanian. Saat ini, sebanyak 46,84% petani telah menggunakan teknologi modern untuk budidaya pertanian,” tutur Ferry kepada Kontan.co.id, Rabu (6/12).

Selain itu, pemerintah juga terus mendorong penguatan kelembagaan petani melalui beberapa program kerja yang tercantum dalam Peta Jalan Pengendalian  Inflasi 2022-2024, di antaranya melalui korporatisasi petani dan peningkatan akses pembiayaan.

Baca Juga: Pengentasan Kemiskinan Estrem Jadi Nol Persen pada 2024 Hadapi Banyak Tantangan

Adapun Ferry juga menilai, dampak menurunnya usaha pertanian masih cukup minim ke inflasi. Ia mencatat, Berdasarkan Survei Biaya Hidup (SBH) 2018, bobot inflasi pangan sendiri sekitar 16,46% dari total inflasi.

“Ini relatif lebih rendah dibandingkan komponen inflasi inti sebesar 65,45% dan inflasi administered price sebesar 18,09%,” ungkapnya.

Meski begitu, pemerintah akan terus memonitor dan mewaspadai perkembangan harga komoditas pangan mengingat pergerakannya cukup volatile.

Berbagai kebijakan terus diupayakan, terutama dalam rangka peningkatan produktivitas sehingga ketersediaan pasokan domestik dapat terpenuhi dan dapat mendukung tercapainya inflasi yang terkendali serta menjaga ketahanan pangan nasional.

Dihubungi secara terpisah, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede juga menyampaikan, meskipun usaha pertanian menurun, produktivitasnya cenderung meningkat, dan tidak berdampak pada inflasi.

Baca Juga: Komoditas Tani yang Paling Banyak Diusahakan pada 2023 Bukan Penyumbang Inflasi

Artinya, kata Josua, meski jumlah usaha pertanian menurun, penerapan teknologi pada sektor pertanian dapat dikatakan meningkat atau semakin maju sehingga masih mampu menjaga jumlah produksi tani.

“Jadi sebenarnya dampak ke inflasi dari sisi ini cenderung netral,” ungkapnya.

Akan tetapi, Josua menilai yang harus diwaspadai adalah tekanan inflasi pangan akan lebih bersumber dari fenomena El Nino. Hal ini karena berkaitan dengan cuaca yang cenderung lebih sulit untuk diprediksi dan dikendalikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Noverius Laoli