KONTAN.CO.ID - BONTANG. Cuaca selat Makasar hari itu sedang cerah-cerahnya, anginnya juga cukup kuat, dampaknya gelombang laut jadi semakin kuat. Meski cuaca seperti ini agak kurang bersahabat untuk melaut, Muslimin tetap antusias menceritakan perjuangannya bersama para nelayan lain yang tergabung dalam program Menara Marina (Menuju Nelayan Ramah Lingkungan Mandiri dan Sejahtera) demi kesejahteraan Kampung Tihi-Tihi. Awal bercerita, Muslimin bilang, nama Tihi-Tihi berasal dari bahasa Kutai. Tihi-Tihi adalah nama sejenis binatang yang hidup di sekitar kawasan, sejenis bulu babi dengan warna kemerahan. Muslimin bukan orang asli Kalimantan. Bapak 5 anak itu lahir di Mamuju, Sulawesi Barat. Ia hijrah ke Bontang, Kalimantan Timur (Kaltim) pada tahun 1980, kemudian mulai menetap di Kampung Tihi-Tihi pada tahun 1998. Muslimin bilang, di tahun tersebut, kampung yang tepatnya terletak di Kelurahan Bontang Lestari, Kota Bontang, Kalimantan Timur masih sangat sepi. Belum banyak keluarga yang menempati kampung, ditambah fasilitas penunjang hidup juga mata pencaharian yang masih sangat bergantung sebagai nelayan. Muslimin adalah salah satu dari nelayan itu, pada awal-awal tahun tinggal di Kampung Tihi-Tihi. Hasil tangkapan ikan, kata dia, akan bergantung pada kemujurannya di atas kapal alias keadaan cuaca. Pernah suatu waktu, ia pergi melaut dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi namun karena cuaca yang buruk. Tak satu ekor ikanpun ia bawa pulang. Baca Juga: Malaysia dan Arab Saudi Jadi Destinasi Favorit Wisatawan Nasional Sepanjang Juli 2024 Kampung Tihi-Tihi, menurut Muslimin, adalah bentuk dari ketangguhan perantau. Cikal-bakal kampung ini dimulai oleh 3 orang lelaki asal Mamuju yang berani berlayar ke Bontang pada 1957. Ketiga pemuda ini disebut juga oleh orang Tihi-Tihi sebagai generasi pertama kampung. "Kalau sekarang penduduknya sudah 347 jiwa dengan 98 Kepala Keluarga (KK)," katanya saat ditemui Kontan siang itu. Sekarang, Muslimin sudah menjabat sebagai ketua Rukun Tentangga (RT) di Kampung Tihi-Tihi. Namun masalah yang menganggu mata pencaharian para nelayan di kampungnya belum bisa terselesaikan 100%. Kondisi cuaca yang tak menentu membuat mereka sering kali harus menepi, tak bisa melaut, dan berujung pada penghasilan yang tidak pasti. Ditambah lagi, ancaman polusi limbah di lautan yang mengakibatkan kerusakan ekosistem laut, memukul telak mata pencaharian nelayan tangkap termasuk pembudidaya rumput laut. Bagan Apung yang Dicita-citakan Nelayan Salah satu cita-cita besar para nelayan kampungnya adalah memiliki bagan apung. Tapi, karena modal yang dibutuhkan untuk membeli bagan cukup besar, dengan pemasukan dari laut yang tidak menentu, bagan bisa dibilang barang mewah di Tihi-Tihi. "Bagan beli sendiri modalnya Rp 75 juta, agak kurang meskipun kita juga ada dana simpanan," ungkap Muslimin. Bagan apung merupakan metode tangkap ikan tambahan yang menggunakan atraktor ikan dalam bentuk atraktor buatan dan alami. Proses penangkapan ikan menggunakan atraktor digunakan pada malam hari dengan proses penangkapan ikan menggunakan lampu dan jaring ikan. "Caranya (bagan) dia tarik ikan, karena pake lampu sorot itu ke bawah, lampunya itu secara ikan masuk, jaringnya kan sudah dibawah, tinggal ditarik. Tidak secapek sebar jaring," kata Muslimin. "Memang bagan ini kalau kita mau mancing, cuaca lagi buruk kan kita ndak bisa keluar. Kalau ini (bagan) kan aman disini, misalnya kita bekerja di bagan, ngajak anak juga masih bisa kita bekerja," tambahnya. Keinginan para nelayan ini kemudian pada tahun 2023 didengar salah satu anak perusahaan Subholding Upstream Pertamina Hulu Energi, PT Badak LNG. Yang kemudian diwujudkan melalui program Jaka Samudra atau Jaringan Kawasan Sistem Pelampung Akuakultur Modern Ramah Lingkungan. Program ini diharapkan dapat mengatasi permasalahan nelayan tangkap agar tetap dapat mencari nafkah meski kondisi tidak bersahabat. Baca Juga: Padahal Punya Potensi Besar, Industri Pariwisata Indonesia Masih Tertinggal Senior Manager Corporate Communication and General Support Badak LNG Yuli Gunawan di Bontang mengatakan, bagan juga akan mempermudah penangkapan ikan serta menjadi jaring pengaman ekonomi bagi para nelayan. "Ini adalah satu mimpi para nelayan. Bagan akan membuat kerja nelayan makin mudah, seperti perangkap yang nanti ikan datang sendiri dan bisa diangkat. Jadi ini semacam jaring pengaman untuk para nelayan," kata Yuli saat ditemui di Bontang, Kamis (12/9). Bagan apung yang satu ini telah menggunakan teknologi serta memanfaatkan limbah non B3 dari proses produksi perusahaan, seperti pipa FRP (Fiberglass Reinforced Plastic) dan polyurethane. dan polyurethane. Tidak seperti bagan biasa, bagan apung Jaka Samudra dilengkapi dengan pelampung FRP yang memiliki ketahanan hingga 40 tahun. Pelampung ini juga dilengkapi sensor pintar untuk mendeteksi kebocoran dini dan mendeteksi kemiringan bagan apung pelampung FRP. Pembuatan sensor pintar juga memanfaatkan limbah non b3 yaitu tubing AC. Sensor tersebut dapat memberikan peringatan kepada nelayan di Tihi-Tihi melalui notifikasi via telepon seluler jika ada masalah karena dapat dipantau dari jarak jauh. Inovasi ini juga memungkinkan nelayan dapat memitigasi dan mencegah bagan apung karam karena kebocoran. Bagan apung Jaka Samudra juga mengintegrasikan penggunaan energi terbarukan. Panel surya dipasang sebagai sumber energi untuk lampu-lampu atraktor di bawah dan di atas air. Inisiatif tersebut dapat mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil. Perbaikan ekonomi nelayan Saat ini para nelayan yang tergabung dalam program Menara Marina sudah memiliki satu bagan. Mereka kemudian membuat jadwal untuk bergantian memanen ikan. Nantinya hasil ikan akan langsung dijual ke pasar terdekat di Tanjung Laut, dan penghasilan jual ikan hari itu akan langsung masuk kantong nelayan yang memanen ikan. Irwan, salah satu anggota Menara Marina mengatakan, dalam satu malam di Bagan nelayan bisa mendapat 60-80 kilogram (kg) ikan dalam satu malam. Dari 15 anggota, Irwan bilang, masing-masing orang akan mendapatkan jatah mengambil ikan di Bagan 2 kali dengan durasi 2-3 hari. "Dalam satu malam kita bisa mendapat 60-80 kg ikan. Berarti kalau dalam 3 hari ya 180 (kg)-an, dalam 3 malam. Langsung dijual besok paginya, dalam semalam paling tinggi kita dapat Rp 600.000 atau paling rendah Rp 300.000," kata dia. Baca Juga: Pariwisata Tak Bertanggung Jawab Mengancam Kelestarian Hiu Paus Saat tidak dapat jadwal panen di Bagan, Irwan bilang dirinya akan melaut seperti biasa, mencari teripang, kemudian memanen rumput laut sebagai tambahan penghasilan. "Kalau tidak lagi ke bagan kita kerja yang lain. Disekitar sini aja, cari teripang, kerja di laut termasuk budi daya rumput laut," katanya. Khusus rumput laut, Irwan bilang siklus panen berada berkisar antara 40-45 hari. Sedangkan banyaknya rumput laut yang bisa dipanen akan bergantung kepada berapa panjang ris yang dipasang masing-masing nelayan. "Rumput laut sekilo itu sekarang Rp11 ribu. Kadang dari satu ris itu bisa mencapai 10-20 kg, kalau lagi bagus-bagusnya rumput laut mencapai 50 kg keatas," ungkap Irwan. Potensi pariwisata bahari Tihi-Tihi Dengan kekayaan alam yang melimpah, Tihi-Tihi memiliki memiliki potensi untuk menjadi kawasan pariwisata bahari di Bontang. Kuncinya adala dengan mengasah terus kemampuan masyarakat hingga akhirnya bisa dengan mandiri mengelola alam dengan baik. Terkait bagan contohnya, Putra Peni Luhur Wibowo selaku Manager, CSR & Relations Badak LNG berharap Bagan kedua dan seterusnya bisa dirakit oleh masyarakat Tihi-Tihi sendiri. Dengan fasilitas pendukung bagan yang akan tetap dibantu pihaknya. "Kami berharap kalau ada Bagan kedua mereka bisa membuat dan merakit sendiri. Dalam tanda kutip akan tetap kami support cara merakitnya seperti apa. Pelampungnya kita fasilitasi, dengan kita carikan juga limbah B3 tadi," kata Putra. Ditambahkan Yuli Gunawan, Senior Manager Corporate Communication and General Support Badak LNG, lokasi Tihi-Tihi dekat dengan pulau Beras Basah yang sangat cocok jika menjadi tujuan wisata bahari di Kalimantan. "Lokasi sangat dekat dengan pulau Beras Basah, ini bisa jadi penopang di Beras Basah, kami sedang kita coba kembangkan dengan beberapa pihak. Jadi kita buat paket wisata, mainnya di Beras Basah, makannya bisa di Tihi-Tihi," tambah Yuli. Baca Juga: Tingkatkan Penanaman Bakau di Taman Hutan Raya Ngurah Rai Seiring perkembangannya, melalui bantuan Badak LNG kini Tihi-Tihi telah memiliki sumber pendapatan lainnya yang juga dapat mendukung terlaksananya wisata bahari seperti keramba untuk budidaya ikan, rumah makan apung hingga jasa snorkling, susur mangrove, dan homestay. Melihat perkembangan kampung yang telah ditempatinya selama kurang lebih 26 tahun, Muslimin bilang hal ini juga berpengaruh pula pada peningkatan hidup warga di Kampung Tihi-Tihi. “Kehadiran Badak LNG membantu kampung kami dari segala hal. Baik dari ekonomi, sosial, pendidikan, bahkan hingga kesehatan. Fasilitas umum di sini pun diperbaiki oleh perusahaan,” kata Muslimin. Ke depannya, Muslimin bilang dia berhap Tihi-Tihi juga bisa menjadi salah satu wilayah atau kampung tempat tujuan para wisatawan layaknya banyak wilayah atau kampung-kampung di atas laut lainnya. "Semoga perekonomian masyarakat semakin baik, dan kami juga ucapkan terima kasih kepada Badak, karena sudah membantu kami selama ini," imbuhnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat