Produk fesyen berbasis keunikan budaya suatu daerah mampu menarik minat konsumen. Tak cuma batik, produk dari kain tenun khas Toraja, Sulawesi Selatan, juga menjadi produk fesyen yang kian banyak dicari orang. Produk-produk fesyen dari tenun toraja itu, antara lain berupa tas, pakaian, sarung bantal, sandal, dan beragam interior rumah. Salah satu yang sukses menjalankan bisnis produk fesyen dari kain khas Toraja adalah Dinny Jusuf, pemilik Toraja Melo. Dia mulai menggeluti bisnis ini dua tahun lalu. Dinny memasok kain langsung ke penenun di Toraja. "Di sana, hasil tenun itu hanya digeletakkan tanpa ada pembelinya," katanya. Harga kain tenun ukuran 55x350 centimenter (cm) sekitar Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per helai. Dia kemudian membawa kain tenun tersebut ke Jakarta untuk kemudian diolah menjadi aneka produk kerajinan. Dinny mengaku kesulitan menentukan standar harga berdasar ukuran kain yang dibuat para penenun. Pasalnya, ukurannya juga tidak standar lantaran jangkauan tangan satu penenun danpenenun lain berbeda. Alhasil, harganya pun berbeda-beda. Saat ini Dinny bekerja sama dengan sekitar 50 penenun di Toraja. Jumlah ini lebih banyak daripada dua tahun lalu. Dinny berharap, usahanya ini membuat para penenun perempuan di Toraja bisa memiliki hidup yang lebih baik. Maklum, hampir semua penenun Toraja Melo adalah perempuan. Mereka menenun di waktu luang selepas mengurus rumahtangga dan upacara adat. Inilah yang membuat proses pengerjaan satu lembar kain tenun memakan waktu dua pekan hingga satu bulan. Biasanya, Toraja Melo mendapatkan pasokan 50-100 kain tenun per bulan. Kendalanya, Dinny kesulitan mendorong para penenun agar lebih produktif. Kendala lain, tingginya tingkat kerusakan kain tenun. Dari 10 hasil tenunan, ungkap Dinny, biasanya ada dua lembar yang tidak memenuhi standar. Ia memadukan kain tenun Toraja dengan bahan lain. Misalnya, kulit. Waktu pembuatan produk turunan kain tenun toraja ini lebih lama, karena tak ada produk yang sama persis satu sama lain. Kini, Toraja Melo juga mulai mengembangkan warna-warna lain untuk menarik minat pasar. Maklum, mayoritas tenun toraja berwarna hitam dengan variasi warna terbatas. "Butuh waktu enam bulan mengubah warna khas yang gelap menjadi warna yang lebih terang," kata Dinny. Ke depan, Dinny bakal mengembangkan penggunaan warna dan serat alami. Kebanyakan produk Toraja Melo adalah tas berbagai ukuran dengan harga Rp 550.000 hingga Rp 750.000 per unit. Dinny bekerja sama dengan beberapa desainer membuat tas atau memadupadankan tenun bermotif garis dengan batik. "Kala kami ikut Inacraft 2010 lalu, respon konsumen bagus dan produk kami laku 100 potong," katanya.Dengan harga minimal Rp 550.000 per potong, Dinny mencetak omzet hingga Rp 55 juta. "Kalau omzet per bulannya bisa sekitar separuhnya," kata Dinny. Dinny berencana membuka galeri di Kemang Timur, Jakarta Selatan. Saat ini, Toraja Melo juga menjual produknya sampai ke Amerika Serikat, Australia, dan Eropa meski jumlahnya masih sedikit.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Menenun laba dari produk turunan kain Toraja
Produk fesyen berbasis keunikan budaya suatu daerah mampu menarik minat konsumen. Tak cuma batik, produk dari kain tenun khas Toraja, Sulawesi Selatan, juga menjadi produk fesyen yang kian banyak dicari orang. Produk-produk fesyen dari tenun toraja itu, antara lain berupa tas, pakaian, sarung bantal, sandal, dan beragam interior rumah. Salah satu yang sukses menjalankan bisnis produk fesyen dari kain khas Toraja adalah Dinny Jusuf, pemilik Toraja Melo. Dia mulai menggeluti bisnis ini dua tahun lalu. Dinny memasok kain langsung ke penenun di Toraja. "Di sana, hasil tenun itu hanya digeletakkan tanpa ada pembelinya," katanya. Harga kain tenun ukuran 55x350 centimenter (cm) sekitar Rp 150.000 hingga Rp 200.000 per helai. Dia kemudian membawa kain tenun tersebut ke Jakarta untuk kemudian diolah menjadi aneka produk kerajinan. Dinny mengaku kesulitan menentukan standar harga berdasar ukuran kain yang dibuat para penenun. Pasalnya, ukurannya juga tidak standar lantaran jangkauan tangan satu penenun danpenenun lain berbeda. Alhasil, harganya pun berbeda-beda. Saat ini Dinny bekerja sama dengan sekitar 50 penenun di Toraja. Jumlah ini lebih banyak daripada dua tahun lalu. Dinny berharap, usahanya ini membuat para penenun perempuan di Toraja bisa memiliki hidup yang lebih baik. Maklum, hampir semua penenun Toraja Melo adalah perempuan. Mereka menenun di waktu luang selepas mengurus rumahtangga dan upacara adat. Inilah yang membuat proses pengerjaan satu lembar kain tenun memakan waktu dua pekan hingga satu bulan. Biasanya, Toraja Melo mendapatkan pasokan 50-100 kain tenun per bulan. Kendalanya, Dinny kesulitan mendorong para penenun agar lebih produktif. Kendala lain, tingginya tingkat kerusakan kain tenun. Dari 10 hasil tenunan, ungkap Dinny, biasanya ada dua lembar yang tidak memenuhi standar. Ia memadukan kain tenun Toraja dengan bahan lain. Misalnya, kulit. Waktu pembuatan produk turunan kain tenun toraja ini lebih lama, karena tak ada produk yang sama persis satu sama lain. Kini, Toraja Melo juga mulai mengembangkan warna-warna lain untuk menarik minat pasar. Maklum, mayoritas tenun toraja berwarna hitam dengan variasi warna terbatas. "Butuh waktu enam bulan mengubah warna khas yang gelap menjadi warna yang lebih terang," kata Dinny. Ke depan, Dinny bakal mengembangkan penggunaan warna dan serat alami. Kebanyakan produk Toraja Melo adalah tas berbagai ukuran dengan harga Rp 550.000 hingga Rp 750.000 per unit. Dinny bekerja sama dengan beberapa desainer membuat tas atau memadupadankan tenun bermotif garis dengan batik. "Kala kami ikut Inacraft 2010 lalu, respon konsumen bagus dan produk kami laku 100 potong," katanya.Dengan harga minimal Rp 550.000 per potong, Dinny mencetak omzet hingga Rp 55 juta. "Kalau omzet per bulannya bisa sekitar separuhnya," kata Dinny. Dinny berencana membuka galeri di Kemang Timur, Jakarta Selatan. Saat ini, Toraja Melo juga menjual produknya sampai ke Amerika Serikat, Australia, dan Eropa meski jumlahnya masih sedikit.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News