KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perbankan melihat kebijakan kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI) berpotensi mempengaruhi kualitas aset. Padahal di samping itu, tantangan bank dalam menjaga kualitas aset masih cukup besar tahun depan masih berat karena relaksasi restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 akan berakhir pada Maret 2023. Untuk mencegah pemburukan aset karena kenaikan suku bunga, sejumlah bank yang masih memiliki likuiditas longgar memilih untuk tidak serta melakukan penyesuaian bunga kredit. Bahkan, ada bank yang memilih mengorbankan target margin bunga bersih atau
net interst margin (NIM). PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) salah satunya. Bank ini memilih berhati-hati dalam melakukan transmisi kenaikan bunga acuan BI terhadap bunga kredit perseroan.
"Untuk menjaga kondisi nasabah debitur yang ada, termasuk menjaga kualitas portofolio maka kami tidak serta merta menaikkan suku bunga pinjaman," kata Direktur Managemen Resiko BRI, Agus Sudiarto kepada Kontan.co,id, Jumat (30/9).
Baca Juga: Saham-Saham yang Diramal Tangguh Hadapi Inflasi dan Bunga Tinggi Dalam melakukan penilaian terhadap posisi kualitas debitur dan juga dalam menghitung kewajiban pencadangannya, lanjut Agus, BRI sudah menggunakannya ketentuan dalam PSAK 71 dan tidak semata menggunakan aturan relaksasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Per Juni 2022, BRI mencatatkan NPL secara konsolidasi stabil di level 3,36% dari total kredit atau Rp 33 triliun. Perseroan telah melakukan pencadangan terhadap NPL hingga 266,3% atau sebesar Rp 88,42 triliun. Sementara PT Bank Mandiri Tbk melihat dampak kenaikan suku bunga terhadap pemburukan aset tidak akan signifikan karena menurut pandangan ekonom bank ini memperkirakan kenaikan suku bunga di Indonesia tidak akan se-ekstrim di Amerika Serikat (AS) dan Eropa, serta ekonomi Indonesia diperkirakan masih akan tetap tumbuh sehingga usaha para debitur masih tetap berjalan dengan baik. Selain itu, Bank Mandiri juga akan berhati-hati dalam melakukan penyesuaian bunga kredit. "Kami akan menerapkan kebijakan suku bunga kredit secara berhati-hati dengan mempertimbangkan banyak faktor termasuk ketahanan portfolio kredit," kata Ahmad Siddik Badruddin Direktur Managemen Resiko Bank Mandiri pada Kontan.co.id, Jumat (30/9). Sejalan dengan akan berakhirnya relaksasi kredit terdampak Covid tahun depan, lanjut Siddik, Bank Mandiri telah melakukan pengelolaan portfolio kredit restrukturisasi Covid-19 untuk menghindari menurunnya kualitas portfolio kredit termasuk menyediakan pencadangan yang mencukupi. Sehingga Bank Mandiri memperkirakan kombinasi berakhirnya restrukturisasi Covid-19 dan adanya potensi kenaikan suku bunga tidak akan menyebabkan
cliff effect yaitu peningkatan NPL yang signifikan. Siddik bilang, perseroan memperkirakan NPL tahun depan akan akan ada dikisaran 2,2%-2,4%.
Baca Juga: Pelemahan Rupiah Sudah Terjadi Sejak Awal Tahun, Begini Respons BI Per Juni 2022,
outstanding restrukturisasi Covid-19 Bank Mandiri secara konsolidasi mencapai Rp 75,5 triliun dimana Rp 58,2 triliun dari
bank only dan Rp 17,3 triliun dari anak usaha. Dari jumlah restrukturisasi kredit bank only itu, jumlah kredit berisiko yang diproyeksikan turun kualitas menjadi kredit macet atau
non performing loan (NPL) hanya sekitar Rp 3 triliun-Rp 4 triliun. Total LAR restrukturisasi Covid-19 Bank Mandiri mencapai Rp 19,5 triliun. Pencadangan terhadap LAR ini mencapai Rp 11,3 triliun atau sekitar 58,4%. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) juga tidak akan terburu-buru melakukan penyesuaian kenaikan bunga acuan tersebut terhadap bunga kredit. Perseroan masih lebih ingin fokus menjaga kualitas asetnya karena kenaikan bunga kredit bisa berdampak menganggu kemampuan nasabah dalam menjalankan kewajibannya. "Kami di managemen suka sepakat untuk lebih mementingkan kualitas aset. Sehingga mungkin kami akan berkorban NIM ke depan," kata Royke Tumilaar Direktur Utama BNI. Dia menjelaskan, kualitas aset yang baik merupakan kunci utama dalam mendorong pertumbuhan kinerja bank ke depan. Sebab begitu satu kredit jatuh ke NPL akan susah bagi bank mengembalikan pada kondisi semula. Ke depan, lanjut Royke, penyesuaian bunga kredit di BNI tidak bisa dilakukan secara merata kepada semua debitur saat perseroan harus menaikkan suku bunga kredit. Ia bilang, penyesuaian harus memperhatikan kondisi dari masing-masing nasabah. "Kami akan klasterkan nasabah. Kalau debitur yang baik dan loyal, serta memiliki transaksinya bagus di BNI, kami tidak akan semena-mena menaikkan suku bunga kredit ke mereka. Tetapi kalau transaksi
gak ada, hanya kredit tok di BNI, itu mungkin yang akan jadi pertimbangan kami untuk menaikkan bunga kreditnya. Jadi tidak semua akan kita samaratakan, karena itu bisa menuai badai yang pada akhirnya bisa menyebabkan NPL," kata Royke.
Baca Juga: Meski Suku Bunga Naik, Permintaan KPR Diyakini Masih Tetap Tinggi Per Juni 2022, BNI mencatatkan margin bunga bersih atau NIM di level 4,7%. Itu mengalami penurunan dari periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar 4,9%. Sementara kondisi kualitas aset bank ini semakin membaik dimana rasio NPL perseroan turun ke level 3,2% dari 3,9% pada Juni tahun 2021.
Sementara PT Bank BTPN Tbk berharap kenaikan bunga acuan BI tidak berdampak signifikan pada kualitas aset perseroan. Henoch Munandar Direktur Utama BTN mengatakan, pihaknya masih memonitor performa dari debitur untuk melihat sebesar besar dampak kenaikan suku bunga itu terhadap NPL. "Demikian juga kalau ditanya apakah kami akan langsung menaikkan bunga kredit atau memilih turunkan target NIM, saat ini kami masih dalam tahap memonitor dan melihat perkembangan yang terjadi di pasar dan juga melihat performa atau ketahanan debitur kami untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga," kata Henoch. Adapun per Juni 2022, NPL gross BTN tercatat 1,35%, ini turun dari periode yang sama tahun lalu yang tercatat sebesar 1,46%. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .