KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Konsumen (IHK) mencatat deflasi selama empat bulan beruntun pada periode Mei hingga Agustus 2024.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Mei terjadi deflasi sebesar 0,03%, lalu deflasi meningkat pada Juni dan Juli masing-masing menjadi 0,08% dan 0,18 %. Teranyar, pada Agustus 2024 terjadi deflasi 0,03% secara bulanan atau
month to month (MtM).
Deflasi yang terjadi selama empat bulan berturut-turut tersebut, dinilai terjadi karena turunnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Kondisi inilah yang juga dianggap memengaruhi kinerja dari emiten konsumer.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengamini bahwa penurunan daya beli dan konsumsi akan memengaruhi kinerja dari emiten konsumer. Meski ada penurunan daya beli, ia menegaskan sejauh ini yang harus diperhatikan oleh investor ialah sektor bisnis dari usaha konsumer itu sendiri.
Misalnya pada PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) memiliki diversifikasi produk dan menyediakan kebutuhan pokok, maka ICBP memiliki daya tarik sendiri.
Baca Juga: Rekomendasi Saham Pilihan di Tengah Transisi Pemerintahan Baru Berbeda dengan sektor bisnis yang memiliki produk tahan lama, seperti
furniture tentu membutuhkan waktu yang lebih lama untuk terjadinya penggantian.
"Oleh sebab itu, meskipun (daya beli) memberikan penurunan, namun kita tetap harus memperhatikan sektor dari masing-masing emiten," kata Nico kepada Kontan, Kamis (5/9).
Selain itu, Nico berpandangan ada sejumlah sentimen positif yang dapat mendongkrak kinerja emiten konsumer hingga akhir tahun yakni momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dan penurunan tingkat suku bunga The Fed, yang pada akhirnya mendorong penurunan suku bunga Bank Indonesia.
"Hal ini tentu saja akan mendorong peningkatan daya beli dan konsumsi sehingga mendorong kenaikkan kinerja pada kuartal terakhir 2024," ujarnya.
Analis Mirae Asset Sekuritas, Abyan Yuntoharjo mengantisipasi pertumbuhan yang stabil pada semester II-2024 pada emiten konsumer.
Adanya pertumbuhan volume di luar kenaikan harga akan menjadi pendorong utama pendapatan sejumlah emiten konsumer, kecuali MYOR yang berencana menaikkan harga jual rata-rata secara bertahap. Ini dilakukan MYOR untuk penetrasi pasar karena lemahnya daya beli.
"Secara historis, sektor ini telah tumbuh sekitar 7,2% per tahun selama tujuh tahun terakhir. Namun, pertumbuhan saat ini berada pada angka satu digit," tulis Abyan dalam risetnya, Rabu (7/8).
Ia melihat ada sejumlah faktor utama yang akan menentukan prospek kinerja emiten konsumer di sisa akhir tahun. Mulai dari program bantuan sosial, pilkada, transisi kepemimpinan Prabowo, potensi penerapan pajak cukai minuman manis (MBDK), dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.
Baca Juga: IHSG Bisa Sentuh 7.800 di Akhir 2024, Ini Tiga Sektor Unggulan dari JP Morgan Mirae Asset Sekuritas mempertahankan sikap netral terhadap sektor konsumer karena tidak adanya katalis yang substansial, meskipun ada antisipasi peningkatan ekonomi pada paruh kedua tahun 2024.
Analis Bahana Sekuritas, Christine Natasya menyampaikan adanya potensi penghapusan harga bahan bakar bersubsidi pada kuartal keempat 2024 dapat berdampak negatif pada daya beli domestik. Kondisi ini juga tampaknya memberikan efek bagi emiten konsumer.
Namun adanya perpanjangan program bantuan beras oleh pemerintah hingga Desember dan dukungan belanja terkait pemilihan daerah (pilkada) di November mendatang bakal memberikan dukungan sentimen penyeimbang.
"Selain itu, beberapa perusahaan
Fast Moving Consumer Goods (FMCG) telah berinvestasi dalam perluasan kapasitas untuk mendukung pertumbuhan volume di masa mendatang," ujar Christine dalam risetnya, Jumat (9/8).
Misalnya ICBP menambah kapasitas untuk mi, susu, dan makanan ringan dengan rencana belanja modal sebesar Rp 3,5 triliun untuk tahun ini.
Selanjutnya, Cisarua Mountain Dairy (CMRY) meningkatkan kapasitas di segmen Consumer Foods karena kapasitasnya akan digunakan sepenuhnya tahun depan. Kemudian, dua pabrik baru MYOR untuk biskuit dan wafer akan dibuka pada kuartal ketiga dan kuartal keempat 2024.
“Perluasan kapasitas biasanya menimbulkan biaya
overhead yang lebih tinggi pada tahun pertama. Namun kami percaya bahwa pertumbuhan pendapatan FMCG yang kuat dari tahun ke tahun akan membantu mendukung kinerja operasional,” terangnya.
Baca Juga: Perbankan Perlu Waspadai Risiko Kredit Macet dari Paylater Christine merekomendasikan untuk
buy saham
CMRY,
ICBP,
MYOR dengan target harga masing-masing Rp 6.300, Rp 13.300 dan Rp 3.300. Ia juga merekomendasikan untuk
Hold saham
INDF dan
UNVR dengan target harga masing-masing Rp 7.150 dan Rp 3.600.
Sementara itu, Nico merekomendasikan untuk mencermati saham PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dengan target harga Rp 7.900, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (
ICBP) dengan target harga Rp 13.600 dan PT Mayora Indah Tbk (
MYOR) dengan target harga Rp 2.980.
Mirae Asset Sekuritas merekomendasikan
Trading Buy untuk INDF dan
ICBP dengan target harga masing-masing Rp 7.000 dan Rp 11.200 per saham.
MYOR direkomendasikan
Buy dengan target sebesar Rp 3.270 per saham. Sedangkan,
UNVR dan
CMRY disarankan
Hold dengan target harga masing-masing Rp 2.700 dan Rp 5.050 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih