KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pelaku pasar kian cemas terhadap kondisi ekonomi Amerika Serikat (AS) yang berpeluang memburuk di tahun 2019. Pasalnya, pada Kamis (6/12) lalu tercatat imbal hasil (yield) obligasi negeri Paman Sam dengan tenor lima tahun lebih rendah daripada yield surat utang dengan tenor dua tahun. Hal serupa juga terjadi pada yield obligasi dengan tenor tiga dan lima tahun. Sementara itu, spread yield antara obligasi 10 dan dua tahun yang selama ini dipandang sebagai indikator resesi telah menipis hingga 0,11%. Kondisi tersebut tentu sangat mengkhawatirkan karena sudah mendekati zona negatif. Asal tahu saja, sejak awal pekan lalu kurva imbal hasil (yield curve) obligasi AS telah berbalik atau menyebabkan kondisi yang disebut
inverted yield. Terjadinya resesi ekonomi negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu selama ini selalu diawali oleh fenomena
inverted yield karena jatuhnya permintaan bond dengan tenor pendek akibat risiko yang menghantui perekonomian.
Lalu bagaimana dampaknya dengan kondisi pasar modal Indonesia saat ini ketika AS berpeluang kembali untuk mengulang resesi di tahun 2019? Mengacu pada data RTI Infokom, investor asing telah membukukan penjualan bersih
(net sell) saham sebesar Rp 693 miliar di pasar reguler pada akhir perdagangan pekan lalu atau Jumat (7/12) cenderung meningkat. Tidak menutup kemungkinan jika keadaan tersebut terus berlanjut, aksi
net sell menjadi semakin masif sehingga menyebabkan
massive sell. Karena kondisi perekonomian AS yang berpeluang memburuk di tahun 2019, hal ini membuat investor enggan untuk mengambil risiko. Mereka tentu lebih memilih untuk menyedot asetnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dan mengalihkannya ke aset-aset
safe haven seperti dollar AS. Analis Panin Sekuritas William Hartanto menyebut, pergerakan bonds yang menjadi sumber utama penyebab ketakutan akan terjadinya resesi, kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan. “Memang ada kesenjangan karena tingkat return mengalami inversi, namun ini masih lebih condong ke permintaan dan penawaran saja,” kata dia ketika dihubungi oleh Kontan.co.id. Ia meminta agar investor dalam negeri agar tetap tenang walaupun bursa saham utama AS atau Wall Street mengalami penurunan lebih dari 2% pada penutupan perdagangan pekan lalu. Pasalnya, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih terjaga di zona hijau. “Jika memang terjadi resesi maka sepekan kemarin IHSG harusnya sudah di zona merah atau di bawah 6000, karena kalau asing itu soal bikin panik hebat, bisa
massive sell, dan lokal akan ikut,” kata William. Asal tahu saja, penurunan Wall Street pada Jumat lalu merupakan persentase penurunan mingguan terdalam sejak Maret 2018 lalu. William mengatakan peluang indeks saham Garuda bertahan di zona hijau bisa terus berlanjut. Pada akhir tahun seperti yang sudah-sudah, perusahaan atau manajer investasi berupaya mempercantik tampilan portofolio/performa laporan keuangannya atau
window dressing. Hal tersebut tentunya ikut mempengaruhi penguatan IHSG. Ia memproyeksikan pada penutupan perdagangan tahun ini IHSG akan bercokol di kisaran level 6.300 hingga 6.500. Kemudian di awal perdagangan tahun depan diproyeksikan akan menguat di level 6.500-6.700. Namun, William kembali mengingatkan kepada investor untuk tetap mengantisipasi dampak negatif resesi AS yang mungkin menimpa IHSG. Oleh karena itu ia merekomendasikan investor untuk membeli saham-saham yang aman dari dampak negatif tersebut. “Saham-saham yang aman adalah saham emiten di sektor keuangan, properti, dan industri dasar,” ungkap dia. PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) layak untuk dibeli di sektor keuangan. Lalu di sektor properti saham yang bisa dipilih adalah PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) dan PT Waskita Karya Tbk. Terakhir di sektor industri dasar ada saham PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) yang bisa jadi pilihan. Hal senada diungkapkan oleh Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada. Menurut dia, investor tidak perlu ikut khawatir karena pemerintah dan Bank Indonesia (BI) sudah menyiapkan strategi untuk mengatisipasi kondisi perekonomian global yang berpeluang untuk memburuk, termasuk untuk menstabilkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Namun ia mengakui bahwa sentimen resesi AS punya peluang mempengaruhi persepsi investor. “Karena seperti yang kita ketahui pasar dalam negeri ini mudah panik oleh sentimen-sentimen eksternal,” kata dia. Reza menjelaskan masalah yang terjadi di negara adidaya ini mungkin ikut menghantui aksi
window dressing saham-saham di Tanah Air pada akhir tahun. “Mulai dari kebijakan the Federal Reserve (the Fed),
debt ceiling atau plafon utang, hingga kini terkait masalah perang dagang antara AS dan China yang tak berkesudahan, tapi IHSG cenderung meningkat di akhir tahun,” kata dia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Barratut Taqiyyah Rafie