KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah sudah mengeluarkan payung hukum soal perdagangan karbon. Dalam Peraturan Presiden terkait Nilai Ekonomi Karbon (NEK), diperkenalkan empat mekanisme. Pertama, perdagangan karbon. Di dalamnya ada perdagangan dan offset emisi karbon. Mekanisme kedua adalah pembayaran berbasis hasil, atau result based payment. Ketiga, pungutan atas karbon. Terakhir, kombinasi dari tiga mekanisme sebelumnya. Dalam Indonesia Carbon Forum yang diselenggarakan ICDX Group, Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sarwono Kusumaatmadja menyampaikan, perdagangan karbon berada dalam konteks transformasi peradaban yang luar biasa, sehingga diperlukan suatu
learning curve tertentu sebelum perdagangan karbon ini menjadi efektif. Saat ini, beberapa negara di Asia, Eropa dan Amerika sudah mengimplementasi perdagangan karbon dan memanfaatkan bursa komoditi sebagai pasar terorganisir untuk memfasilitasinya. Dalam rangka penyelenggaraan pasar karbon yang efektif, perlu adanya persiapan yang matang dari berbagai pihak terkait, terutama pemerintah sebagai regulator.
“Indonesia sebagai negara yang memiliki project penurunan emisi karbon terutama di sektor hutan, perlu untuk mengadakan pasar terorganisir untuk perdagangan karbon,” kata Head of Carbon Market ICDX Group, Mukhamad Zulfal Faradis dalam keterangan tertulis, Jumat (3/12).
Baca Juga: Jokowi tunjuk Kemenkeu formulasikan kebijakan pungutan atas karbon Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Kementerian Perdagangan Tirta Karma Senjaya yang mengatakan Kementerian Perdagangan dapat berperan sebagai market regulator. Oleh karena itu, perlu adanya persiapan seperti roadmap perdagangan karbon di pasar terorganisir, capacity building untuk mempersiapkan SDM yang kompeten dan profesional, infrastruktur dalam rangka mendukung terselenggaranya pasar karbon terorganisir. Selain itu, perlu adanya langkah antisipasi dan mitigasi mengenai dampak dari perdagangan karbon yang melibatkan banyak sektor guna mengatur kegiatan terkait mekanisme perdagangan karbon. Lebih lanjut, Zulfal menjelaskan bahwa perdagangan karbon melalui bursa mempunyai beberapa manfaat atau keuntungan. “Adanya transparansi, pembeli dan penjual dapat melihat harga secara transparan dan juga adanya direct access sehingga tidak ada kebingungan untuk mencari penjual atau pembeli credit carbon,” imbuhnya. Jika Indonesia tidak melakukan corresponding adjustment dalam memitigasi risiko terkait penurunan emisi karbon, akan terjadi potensi penurunan ekspor Indonesia yang diperkirakan mencapai USD141 juta dalam setahun. Mekanisme carbon pricing perlu diatur sehingga pelaksanaannya tepat sasaran dan efektif untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Diperlukan regulasi harga dan mekanisme perdagangan karbon yang mampu memberikan insentif bagi para pemangku kepentingan untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC), dan memastikan pendapatan dari perdagangan karbon diinvestasikan untuk program penurunan emisi yang berkelanjutan. Executive Director Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menjelaskan, dalam perancangan mekanisme perdagangan karbon, yang harus diketahui terlebih dahulu adalah bahwa carbon pricing seharusnya berkaitan dengan target penurunan GRK yang ingin dicapai. “Kita harus tahu dulu berapa emisi yang ingin kita turunkan, kemudian dari sana kita bisa hitung sektor apa saja yang berkontribusi terhadap emisi tersebut dan penurunan berapa besar dari sektor yang berkontribusi tadi. Termasuk kita bisa hitung abatement costnya berapa . Dengan menghitung itu semua kita bisa menghitung berapa kira-kira floor price yang ideal,” jelas Fabby. Terkait dengan ekspor dan kebijakan Carbon Border Adjustment atau CBAM yang dimulai 2023, kebijakan terkait penurunan emisi karbon perlu didesain dengan baik. President Director PT Rimba Makmur Utama, Dharsono Hartono menilai CBAM akan menjadi non-trade barrier negara-negara maju terhadap Indonesia. Apabila Indonesia tidak mempersiapkan framework yang baik, maka semua ekspor barang di Indonesia akan menjadi masalah.
Dalam hal ini diperlukan persiapan dan usaha kolektif dari berbagai sektor agar Indonesia tidak kalah dengan eksportir lain. Menurutnya, saat ini justru jadi momentum yang tepat seiring Indonesia sudah mengimplementasikan carbon tax dan Nilai Ekonomi Karbon (NEK). “Kita bisa klaim kalau kita sudah net-zero, yang kemudian menjadi nilai tambah untuk pembeli agar membeli dari kita. Kita bener-bener harus berkolaborasi, collectively, dari sektor swasta, pemerintah maupun LSM,” imbuhnya.
Baca Juga: Kolaborasi pemerintah dan swasta dalam menavigasi pasar karbon Indonesia Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat