Meneropong PPKM dari Perspektif Anggaran



KONTAN.CO.ID - Kasus pasien positif korona atau Covid-19 di Tanah Air masih terus eskalatif, mencapai 1,29 juta kasus (10.180 kasus/hari) dan 34.691 kematian per 22 Februari 2021. Dalam ilmu fisika dikenal formula St=V0.t + a.t2, dimana jarak pada waktu t adalah kecepatan awal dikali waktu, ditambah percepatan dikalikan dengan waktu kuadrat.

Dus, dari sana, kita menyadari bahwa pandemi menyebabkan jarak kita dengan target pembangunan menjadi terasa menjauh Untuk itu, perlu dilakukan upaya percepatan-percepatan dalam penanganan pandemi guna menyelamatkan nyawa manusia dan mengembalikan arah pembangunan nasional back on the track.

Itulah mengapa sejak awal tahun ini, pemerintah menempuh cara baru penanganan pandemi dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). PPKM yang selanjutnya berevolusi menjadi PPKM Berbasis Mikro, merupakan upaya pengendalian pandemi yang lebih terkoordinasi dari pemerintah pusat sampai dengan tingkat desa.

PPKM mengedepankan prinsip gotong royong agar semua komponen bangsa turut berperan aktif dalam mengendalikan pandemi. Prinsip gotong royong lebih dinamis daripada kekeluargaan, yang menunjukkan amalan, usaha, gawe, dan pekerjaan. Pelibatan dan kolaborasi pemerintah, baik pusat maupun daerah, desa, bahkan sampai satuan masyarakat terkecil pun pada tingkat RT/RW jadi faktor kunci. Tentu saja strategi ini memerlukan dukungan, termasuk gotong royong pendanaan, baik APBN, APBD, dan APBDes.

APBN masih jadi instrumen utama, khususnya dalam menyediakan vaksinasi, pemberian PKH, insentif kartu prakerja, bantuan sembako, serta mendorong investasi publik termasuk pembangunan sarana dan prasarana kesehatan dan pelaksanaan proyek strategis. Pada tahun 2021, telah dialokasikan anggaran pemulihan ekonomi Rp 699,43 triliun, setara 25,4% dari belanja APBN, dengan fokus antara lain pada kesehatan Rp 176,3 triliun (termasuk vaksinasi Rp 58,18 triliun), perlindungan sosial Rp 157,4 triliun, dan penciptaan lapangan kerja Rp 125,06 triliun.

Selain itu, di dalam APBN juga mengalokasikan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) Rp 795,5 triliun, meliputi Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, Dana Insentif Daerah (DID), dan Dana Desa. TKDD inilah yang menjadi jembatan antara APBN dan APBD, serta APBDes untuk menyamakan gerak langkah pusat, daerah, dan desa untuk melaksanakan PPKM.

Strategi anggaran

Dalam mendukung PPKM, strategi pendanaan pertama yang dilakukan adalah melakukan refocusing TKDD. Penyesuaian alokasi TKDD sebesar Rp 15 triliun diperuntukkan bagi pengendalian pandemi secara terpusat, termasuk pengadaan dan pelaksanaan vaksinasi. Realokasi ini diperlukan untuk mendukung orkestrasi yang dilakukan pusat dalam upaya menyelamatkan nyawa dan memulihkan ekonomi nasional.

Strategi selanjutnya adalahrefocusing penggunaan TKDD. Daerah didorong menggunakan 8% DAU atau Rp 30 triliun, antara lain untuk dukungan vaksinasi dan insentif tenaga kesehatan. Earmarking juga dilakukan untuk mengarahkan penggunaan Dana Transfer Umum (DAU dan DBH) untuk dukungan pemulihan ekonomi, diantaranya digunakan sebesar 5% bagi perlindungan sosial dan 3,75% pemberdayaan ekonomi.

Diperkirakan tambahan anggaran untuk penanganan pandemi dari earmarking tersebut sebesar Rp 36,1 triliun. Dengan demikian, secara total, pendanaan dari DAU dan DBH setidaknya mencapai Rp 66,1 triliun. DAU dan DBH merupakan komponen TKDD yang diskresi penggunaannya diserahkan kepada daerah (block grant), sehingga stimulasi ini dapat mendorong daerah mengupayakan penanganan pandemi tetap berjalan, minimal sebagaimana yang telah dilakukan pada 2020 sebesarRp 72,4 triliun.

Instrumen TKDD lainnya, yaitu DAK Fisik sebesar Rp 63,3 triliun pelaksanaannya didorong melalui padat karya, dengan melibatkan tenaga kerja lokal sebanyak mungkin untuk menjaga daya beli masyarakat, sekaligus mendorong penyediaan fasilitas layanan publik. Sedangkan DID yang diberikan kepada daerah-daerah top performance digunakan sedikitnya 30% atau Rp 4,05 triliun untuk penyediaan sarana dan prasarana kesehatan dan digitaliasi layanan. Dorongan ini menjadi trigger bagi daerah untuk mengikuti pola belanja pemerintah pusat dalam APBDnya, sehingga selaras dengan kebijakan di pusat yang bersifat counter cyclical.

Andalkan dana desa

Tongkat estafet dari APBD kemudian meluncur ke desa dan kelurahan. Pemerintah meng-earmark Dana Desa sebesar 8% dari Dana Desa masing-masing desa atau sekitar Rp 5,76 triliun untuk penanganan Covid-19, termasuk pelaksanaan PPKM Mikro.

Desa dapat menggunakannya, antara lain untuk operasional pos komando Covid-19 dalam pelaksanaan aksi desa aman Covid-19 dan satuan tugas desa aman Covid-19. Tentunya kebutuhan 8% tersebut diluar (on-top) dari anggaran BLT Desa, yang kurang lebih sebesar Rp 14,4 triliun. Sedangkan pendanaan untuk penanganan pandemi di kelurahan merupakan bagian dari pengelolaan APBD, sebagaimana yang telah dilakukan selama ini. Earmarking penggunaan 8% DAU, sebagian dapat digunakan untuk mendukung kelurahan dalam pelaksanaan PPKM melalui mekanisme APBD seperti biasanya.

Untuk memastikan agar dukungan tersebut berjalan baik, maka strategi terakhir adalah percepatan penyaluran TKDD, diantaranya penyaluran Kurang Bayar DBH dan Dana Desa. Untuk Dana Desa, bentuk percepatannya adalah bagi desa yang belum salur Dana Desa tahap pertama tahun ini, maka pemerintah akan mempercepat penyaluran dana sebesar 8% tersebut setelah kepala daerah menyampaikan Surat Kuasa dan melakukan tagging pada aplikasi online monitoring Sistem Perbendaharaan Anggaran Negara (OM-SPAN).

Tentunya, efektivitas program ini tidak hanya bergantung dari pemerintah pusat yang mengorkestrasi kebijakan dan memberikan umpan pendanaan. Pemda dan desa juga berperan penting, khususnya dalam eksekusi belanja secara cepat, tepat sasaran, dan akuntabel. Selain itu, untuk desa dan kelurahan, setelah posko Covid-19 dibentuk, perlu segera ditindaklanjuti, antara lain dengan pelaksanaan program 3T yang tidak lagi dilakukan oleh tim gugus tugas Covid-19 daerah, namun juga oleh tim di RT/RW.

Tim tersebut agar segera melakukan pendataan dan persuasi terkait program vaksinasi agar target 70% jumlah penduduk tervaksinasi tercapai. Jika dianalogikan dengan permainan sepak bola, daerah dan desa harus mampu menjadi pemain yang mau menjemput bola, mencari peluang dan mampu membaca gerak dari pemain lainnya, sehingga PPKM ini dapat berjalan dengan baik, karena "Opportunities don't happen, you create them ." (Chris Grosse).

Penulis : Astera Primanto Bhakti

Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan, Kementerian Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti