Mengalap peluang di balik bea masuk makanan



Industri makanan menjadi salah satu sektor industri yang pantas menyambut gembira atas pemberlakuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 132/PMK.010/2015 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor. Sebab, beleid ini mengatur pengenaan tarif bea masuk impor aneka produk makanan dengan tarif mulai 10% sampai 150%. Beleid inilah yang digadang-gadang pemerintah menjadi stimulus bagi industri nasional.

Secara sederhana, pengenaan bea masuk impor pada produk konsumsi salah satunya makanan ini bisa menaikkan harga jualnya. Ditambah pelemahan mata rupiah, tentu harga makanan impor menjadi kian mahal. "Ini menguntungkan pengusaha lokal," tandas Erijanto Djajasudarma, Direktur PT Niramas Utama kepada KONTAN, Minggu (26/7).

Saat produk impor mahal, produk lokal berkesempatan unjuk gigi. Maka itu, industri makanan domestik berpeluang mengisi pasar yang selama ini ditempati produk impor. Jika efektif, aturan ini bisa meningkatkan pangsa pasar makanan lokal.


Walaupun ada proyeksi kenaikan pangsa pasar, namun pelaku usaha seperti Erijanto tak mau gegabah menambah produksi. Ia beralasan, usia aturan ini belum seumur jagung dan belum diketahui keampuhannya. "Kebijakan itu masih baru," katanya.

Perlu diketahui, Niramas Utama adalah produsen jeli. Walaupun tak banyak produk jeli impor di Indonesia, namun adanya bea masuk makanan diyakini bisa menggenjot pasar jeli lokal.

Lain hal dengan perusahaan makanan PT Tiga Pilar Food Sejahtera Tbk (AISA), yang memang berencana menambah produksi. Namun, penambahan produksi pemilik merek cemilan Taro dan mi Ayam 2 Telor ini sudah direncanakan jauh-jauh hari.

Sjambiri Lioe, Direktur Tiga Pilar bilang, beleid bea masuk impor makanan itu tak banyak mempengaruhi bisnis Tiga Pilar. "Barang konsumsi yang akan dikenakan bea masuk yang sama dengan produk kami hanya mi dan pasta," kata Sjambiri.

Dalam beleid itu, bea masuk impor mi dan pasta dikenakan 20%. Itu berarti, harga produk mi dan pasta impor bisa naik 20%. Kenaikan harga inilah yang menciptakan peluang bagi industri domestik. "Setahu saya, produk pasta belum banyak diproduksi di Indonesia," jelas Sjambiri.

Berdasarkan pantauan KONTAN, saat ini harga mi instan impor di toko modern di banderol di kisaran Rp 8.000-an per bungkus. Harga ini tentu akan lebih mahal jika pengenaan bea masuk lebih tinggi berlaku. Adapun harga jual mi instan produk lokal dibanderol di harga Rp 2.000-an per bungkus.

Meski punya peluang pasar besar, namun penerapan aturan ini dikhawatirkan mendapatkan aksi balasan dari negara tujuan ekspor Indonesia. "Mereka (negara tujuan ekspor) juga bisa membalasnya," ujar Sjambiri khawatir.

Aksi balas tak hanya bisa dilakukan dalam bentuk pengenaan tarif bea masuk saja, ada instrumen perdagangan lain yang bisa digunakan sebuah negara untuk membatasi impornya, seperti safeguard, tuduhan dumping harga hingga tuduhan pemberian subsidi yang sudah diatur oleh Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO.

Terkait kekhawatiran ini, Adhi S. Lukman, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) enggan memberikan penjelasan. Ia hanya bilang, beleid ini bisa menambah daya saing bagi industri domestik. Selain itu, beleid ini juga bisa meningkatkan daya tarik investasi. "Soal efektif atau tidak, tergantung pengawasannya," kata Adhi

Perlu diketahui, pengenaan bea masuk ini hanya berlaku bagi negara yang tak punya kerjasama perdagangan alias Free Trade Agreement (FTA) dengan Indonesia. "Bea masuk hanya untuk negara Most Favoured Nation (MFN)," kata Panggah Susanto, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian.        

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Havid Vebri