Mengantisipasi dampak pelemahan rupiah



Pada awal Maret 2018 ini, nilai tukar rupiah cenderung mengalami pelemahan yang cukup signifikan. Bahkan, nilai tukar rupiah sempat menyentuh pada level Rp 13.800 per dollar Amerika Serikat (AS). Loyonya mata uang Garuda juga terjadi secara global, dialami pula oleh mata uang negara lainnya.

Hal ini terkait kian membaiknya ekonomi di Amerika Serikat (AS). Kebijakan moneter AS tengah memasuki era peningkatan suku bunga dan rezim kebijakan fiskal yang lebih ekspansif.  Di tahun 2018 ini, rencananya, Federal Reserve akan mengerek suku bunga secara bertahap.

Seperti disampaikan pimpinan bank sentral AS, Jerome Powell, AS akan menaikkan suku bunga acuan secara gradual sebanyak tiga kali pada tahun ini. Meskipun ada stimulus pemangkasan pajak dan belanja pemerintah AS, bank sentral AS itu akan menyeimbangkan antara risiko ekonomi yang overheating dan kebutuhan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi negara ini.  


Dalam pandangan The Federal Open Market Committee (FOMC), kenaikan suku bunga acuan secara bertahap akan menjadi solusi terbaik untuk menjaga tujuan The Fed. Testimoni yang disampaikan Powell untuk pertama kalinya sejak terpilih menjadi pimpinan The Fed mengindikasikan bahwa reformasi pajak dan rencana ekspansi belanja pemerintah yang diluncurkan Presiden Donald Trump tidak akan langsung memberikan perubahan pada laju kenaikan suku bunga.

Apabila Federal Reserve benar-benar merealisasikan rencana kenaikan suku bunga sampai tiga kali pada tahun ini, bisa dibayangkan dampaknya terhadap pelemahan mata uang global. Bisa-bisa dunia akan mengalami krisis yang lebih parah dari krisis yang pernah terjadi sejak 1997 yang lalu.

Untuk itu, ada tiga hal yang harus diwaspadai dari dampak pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Pertama adalah  dampak terhadap iklim investasi di Indonesia. Dampak ini akan terlihat dari aliran dana asing yang masuk ke pasar obligasi ke Indonesia.

Pelemahan rupiah terhadap dollar AS akan memicu adanya pelarian modal alias  capital outflow.  Meskipun risiko investasi Indonesia yang tercermin dalam credit default swap (CDS) terbilang rendah, namun lesunya rupiah akan menggerus imbal hasil yang diterima investor.

Untungnya, selama ini prospek surat utang Indonesia masih positif. Persepsi risiko investor ke surat utang Indonesia masih bagus. Ini karena tertolong peringkat investment grade sejak lima tahun lalu dari Moody's dan Fitch Ratings, serta Mei 2017 lalu dari Standard & Poor's.

Kondisi pasar obligasi Indonesia juga ditandai dengan cost of fund pemerintah yang cenderung turun dalam menerbitkan global bond. Namun yang harus diwaspadai selain pelemahan rupiah adalah pada tahun ini merupakan tahun politik. Ada kekhawatiran bila credit default swap (CDS) Indonesia akan bergerak volatil.

Kedua, dampak terhadap industri dalam negeri, termasuk di dalamnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Pelemahan rupiah terhadap dollar AS akan mengakibatkan biaya produksi industri menjadi tinggi. Kondisi ini bisa menurunkan daya saing. Peningkatan biaya produksi disebabkan bahan baku  industri yang nota bene harus diimpor akan terpukul oleh utang luar negeri yang mereka pikul. Utang dalam dollar AS menyebabkan biaya pembayaran meningkat. Meningkatnya beban tersebut sudah pasti membuat biaya modal membengkak, yang ujung-ujungnya meningkatkan harga produksi barang.

Ketiga, dampak terhadap masyarakat secara umum. Pelemahan rupiah yang berpengaruh di tingkat produsen pada akhirnya juga akan dirasakan oleh seluruh masyarakat. Baik masyarakat kelas menengah atas, maupun masyarakat bawah. Hal ini disebabkan barang konsumsi sehari-hari tidak lepas terkena pengaruh dari melemahnya rupiah.

Keempat, dampak terhadap penerimaan negara. Lesunya perekonomian sebagai akibat kinerja industri dalam negeri dan UMKM mengalami pelemahan, maka konsekuensinya penerimaan negara dari pajak juga akan turun.

Jalan keluar

Merespon rupiah yang masih saja kurang darah terhadap dollar AS, harus dilakukan secara berhati-hati agar stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan tetap terjaga. Kebijakan untuk mengantisipasi dampak tersebut juga jangan hanya menguntungkan salah satu pihak saja, tetapi akan merugikan pihak lain.

Sekadar contoh, dalam konteks untuk menjaga agar tidak terjadi capital outflow, jangan sampai ditempuh dengan cara menaikan suku bunga dalam negeri. Kebijakan seperti ini akan menguntungkan investor asing, akan tetapi akan menghantam sektor riil. Karena suku bunga kredit juga akan berimbas. Akibatnya adalah investasi dari dalam negeri akan menurun.

Dalam situasi seperti ini yang terpenting adalah pemerintah harus mampu menjaga kredibilitas sehingga kepercayaan para pelaku usaha terhadap pemerintah tetap terjaga. Apabila kredibilitas pemerintah ada maka akan menimbulkan keyakinan atau menenangkan para pelaku usaha. Setidaknya apabila kepercayaan para pelaku usaha terjaga, maka dapat meredam adanya spekulasi dari masyarakat.

Beberapa solusi yang dapat ditempuh untuk meredam dampak pelemahan rupiah saat ini antara lain adalah,  pertama,  menurunkan pajak atas pendapatan bunga pada surat berharga (obligasi). Dengan penurunan tarif pajak ini diharapkan tidak akan menggerus imbal hasil yang akan diterima investor, sehingga kekhawatiran terjadinya capital outflow dapat diredam.

Kedua, optimasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018  untuk memacu pertumbuhan.  Untuk itu, dapat ditempuh dengan alokasi untuk pembangunan infrastruktur dan stimulasi pertumbuhan lainnya (growth and employment), melakukan efisiensi serta pembatasan pada belanja yang konsumtif dan yang dapat ditunda. Meski begitu juga tetap menjaga defisit anggaran agar tidak mengganggu pencapaian sasaran growth with equity dan tetap dapat dibiayai seimbang dalam situasi keuangan global dewasa ini.

Ketiga, Bank Indonesia harus mengembangkan kebijakan agar kredit dan likuiditas senantiasa tersedia. BI sebagai otoritas moneter dapat mendorong perbankan untuk menyalurkan kreditnya pada pembiayaan sektor produktif, bukan lagi kredit konsumtif. Sedangkan dari sisi Pemerintah mengimbanginya dengan mengeluarkan kebijakan regulasi iklim dan insentif. Semua kebijakan dan praktik yang menghambat investasi dan belanja pemerintah harus dipangkas.                                    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi