KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanasan global dan perubahan iklimi akibat meningkatnya emisi karbon, menimbulkan bencana. Maka, perlu berbagai kebijakan global guna mengontrol emisi karbon. Di Indonesia, tahun ini pemerintah menaikkan target Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 dari 29% menjadi 31,8%. Tujuannya menuju karbon netral di tahun 2060 atau lebih cepat. Pemerintah membutuhkan tindakan kolektif dari semua pihak guna membangun ekosistem yang berdaya-guna. Direktur Kelembagaan dan Sumber Daya Konstruksi, Ditjen Bina Konstruksi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Nicodemus Daud menerangkan, tahun 2017 Indonesia berada di daftar 10 besar Negara penghasil karbon terbanyak di dunia. Indonesia menyumbang 275,4 megaton karbondioksida (mega-ton CO2).
Masalah lingkungan ini juga masuk dalam 7 prioritas nasional rencana kerja pemerintah tahun 2024. "Salah satu target, penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 27,7%,,” terang Nicodemus, dalam penjelasan tertulis, Jumat (7/7).
Baca Juga: Pemerintah terus mendorong energi hijau, ini langkah PT Tata Metal Lestari Vice President Tatalogam Group, Stephanus Koeswandi menyebut, perubahan iklim dan pemanasan global bukan cuma masalah pemerintah. "Kami mengajak semua elemen masyarakat untuk bergabung bersama dalam menjaga kelestarian lingkungan kita,” terang Stephanus. Kolaborasi dan saling berbagi informasi adalah penting untuk memetakan emisi yang dilepaskan dalam ekosistem rantai nilai agar dapat merumuskan langkah-langkah berbasis sains untuk mengambil tindakan dekarbonisasi. Hal ini dilakukan Tatalogam Group bersama Pusat Industri Hijau (PIH), Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI), Kementerian Perindustrian. Saat ini regulasi pemberlakuan Sertifikasi Standar Industri Hijau (SIH) untuk Baja Lapis Lembaran sedang dalam proses penetapan oleh Menteri Perindustrian. Ada 4 pilar dalam menyusun rumusan SIH ini.. Yakni, pembatasan penggunaan energi, pelepasan karbon atau GRK, kemudian bagaimana manajemen limbahnya, dan yang terakhir dan paling penting adalah batasan OEE sebagai indikator peningkatan daya saing industri. Ada juga faktor inovasi. Industri dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya saing, efisiensi dan produktivitas, kualitas hidup, serta yang terpenting juga mendukung keberlanjutan lingkungan. Sebagai contoh, untuk menekan penggunaan energi dan mengurangi emisi,PT Tata Metal Lestari berinovasi memproduksi baja lapis aluminium seng (BLAS) yang kami beri nama Super Nexalum dan Super Nexium. Kedua produk ini memiliki ketahanan hingga 100 tahun.
Baca Juga: PT Tatalogam Lestari mengembangan sistem pembangunan rumah dalam waktu singkat "Dengan begitu, baja yang seharusnya dalam beberapa tahun sudah di daur ulang dengan memakan energi yang besar, bisa kami perpanjang usia pakainya sehingga lebih tahan lama,” terang Stephanus.
Kemudian ada juga inovasi Domus Fastrack. Rumah berbasis baja ringan yang dibuat sesuai kebutuhan konsumen. Mulai dari gambar hingga terbentuk panel-panelnya yang sudah sesuai ukuran. Dengan teknologi terbaru ini, tidak ada limbah yang dihasilkan selayaknya proses pembangunan rumah pada umumnya. Di PT Tatalogam Lestari hal yang sama juga dilakukan. Sebagai produsen atap dan genteng metal terbesar di tanah Air, PT Tatalogam Lestari juga telah berinovasi dengan menghasilkan produk-produk akhir dari baja lapis yang lebih ramah lingkungan. Pemilihan atap yang tidak tepat dapat berdampak pada peningkatan suhu di suatu wilayah tertentu. Fenomena ini disebut dengan fenomena Urban Heat Island (UHI). “Untuk itu pembangunan harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan dan pengguna bangunan," kata Stephanus Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ahmad Febrian