Mengantisipasi intensitas gejolak global



Pertumbuhan ekonomi global masih diselimuti ketidakpastian, karena intensitas gejolak yang muncul. Ada beberapa gejolak yang dicatat. Seperti harga minyak dunia mulai meninggalkan level terendah di satu dekade terakhir. Pada tahun 2015, harga rata-rata minyak dunia mencapai US$ 43,2 per barrel (Dubai, Brent, Nigerian Forcados dan West Texas Intermediate) dan mulai beranjak ke US$ 70 per barrel. Level tertinggi harga minyak terjadi pada tahun 2011 hingga 2013 masing-masing US$ 106,5, US$ 107,2 dan US$ 106,02 per barrel.

International Monetary Fund (IMF) pada Juli lalu, memproyeksi ekonomi global hanya tumbuh pada kisaran 3,9%. Dari rilis tersebut, hanya India yang bisa tumbuh meningkat pada 2019 sekitar 7,5%; dari proyeksi pertumbuhan 7,3% pada tahun 2018. Amerika Serikat diproyeksi tumbuh melambat pada tahun 2019, menjadi 2,7% dari target 2,9% pada 2018.

Lonjakan harga minyak dunia yang dibumbui perang dagang Amerika Serikat berpengaruh terhadap lalu lintas perdagangan global. IMF memprediksi volume perdagangan dunia hanya tumbuh 4,8%; turun dari 5,1% pada 2017. Pada 2019, lalu lintas perdagangan dunia hanya naik tumbuh 4,5%. Perdagangan di kelompok negara maju diproyeksi hanya tumbuh 4% pada 2019; turun dari 4,2% dan 4,3% pada 2017 dan 2018. Koreksi volume perdagangan di kelompok pasar dan negara berkembang juga cukup tinggi. Pada 2017, pertumbuhan perdagangan di kelompok tersebut mencapai 6,7%; sedangkan pada 2018 dan 2019 diprediksi hanya 5,7% dan 5,4%.


Dari sisi moneter, keberlanjutan rencana kenaikan suku bunga kebijakan Bank Sentral Amerika Serikat masih menjadi penyebab terganggunya lalu lintas dana global ke negara berkembang. Tahun 2019, suku bunga The Fed diprediksi naik dua hingga tiga kali.

Fed fund rate berada pada interval 1,75%–2%, naik 50 basis point (bps). The Fed semakin percaya diri menaikkan suku bunga acuan, karena ditopang oleh perbaikan indikator makroekonomi. Triwulan I-2018, ekonomi AS tumbuh 2,3%; dengan pertumbuhan investasi hingga 4,6%. Konsumsi swasta tumbuh 2,7%; ekspor dan impor masing-masing naik 2,6% 4,2%.

Inflasi AS sudah mencapai 2,9% pada Juli 2018; dan sejak Desember 2017 hingga Juli 2017 (kecuali pada Mei–Juli 2017) telah berada di atas 2% (sebagai target yang ditetapkan The Fed). Ini menunjukkan tren suku bunga rendah sudah berakhir. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) AS pada Juli mencapai 3,9%; jauh menurun saat krisis keuangan global sebesar 9,9%. Juli tahun lalu, tingkat pengangguran masih 4,3%. Angkat partisipasi tenaga kerja sudah mencapai 62,9%.

Arah ekonomi nasional

Bagaimana dengan kondisi di dalam negeri? Pada 2018, target pertumbuhan ekonomi nasional ditetapkan 5,4%. Tampaknya, angka tersebut akan meleset, karena tingginya tensi ekonomi global. Dan persoalan saat ini menjadi gambaran pada 2019.

Tekanan pertama cukup terasa pada kinerja transaksi internasional. Neraca perdagangan, yang bertugas mengawal performa neraca transaksi berjalan, jebol karena besarnya kebutuhan impor. Walaupun ekspor Januari-Juli sudah mencapai angka tertinggi dalam empat tahun terakhir (US$ 104,23 miliar), namun itu saja tidak cukup menjaga neraca perdagangan bergerak positif. Impor mencapai US$ 107,3 miliar, sehingga neraca perdagangan tembus US$ 3,08 miliar. Periode yang sama tahun lalu, masih setor devisa sekitar US$7,3 miliar.

Defisit neraca perdagangan menyebabkan melebarnya defisit neraca transaksi berjalan. Pada semester I-2018, defisit neraca transaksi berjalan mencapai US$ 13,5 miliar atau melonjak hingga 49% dibanding periode yang sama tahun lalu. Defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan II-2018 sudah mencapai 3,04% dari produk domestik bruto (PDB). Pada triwulan I-2018 tercatat 2,21% dari PDB.

Sementara itu impor migas melonjak dari US$ 3,7 miliar pada semester I-2017; menjadi US$ 51,1 miliar pada semester I-2018 atau naik sekitar 37,4% (yoy). Lonjakan harga sangat memengaruhi nilai impor migas. Volume impor migas sebetulnya menurun, namun nilai impor melonjak. Volume impor migas turun 1,63% (yoy) sepanjang Januari–Juli 2018; sedangkan nilainya naik 24,51% (yoy).

Kinerja neraca pembayaran secara keseluruhan mencetak defisit masing-masing US$ 3,8 miliar dan US$ 4,3 miliar pada triwulan I dan triwulan II-2018. Defisit sudah mencapai US$ 8,1 miliar sepanjang semester I-2018. Pemburukan kinerja ini disebabkan oleh lonjakan defisit neraca transaksi berjalan dan penurunan surplus neraca transaksi finansial. Pada semester I-2018 surplus neraca transaksi finansial hanya US$ 6,4 miliar menurun 89% dari posisi yang sama tahun lalu sebesar US$ 12,1 miliar. Aliran investasi langsung turun hingga 32% (yoy) dari US $7,1 miliar pada semester I-2017 menjadi US$ 5,4 miliar pada semester I-2108. Yang turun signifikan investasi portofolio. Pada semester I-2017, investasi portofolio surplus US$ 14,6 miliar dan pada semester I-2018 mencetak defisit US$ 1,08 miliar.

Kinerja neraca pembayaran ke depan masih dihadapkan pada berbagai tantangan, khususnya neraca perdagangan. Sumber utamanya adalah perang dagang Trump. Meski pada data Juli 2018 belum terlihat, namun pengaruh proteksi dagang Trump akan memengaruhi perdagangan Indonesia ke depan. Pada Juli 2018, ekspor Indonesia ke AS masih tumbuh cukup tinggi sebesar 12,31% (yoy), namun untuk data Januari–Juli 2018 tumbuh terbatas pada level 3,75% (yoy). Januari–Juli 2017, ekspor nasional ke AS masih tumbuh sekitar 10 % (yoy).

Tekanan kedua mengarah pada nilai tukar rupiah baik terhadap dollar AS maupun mata uang lainnya. Banyak sebab yang memengaruhinya, terutama kebijakan moneter AS dan kondisi neraca transaksi berjalan. Sepanjang 2018, nilai tukar rupiah sudah jauh dari target APBN-2018 sebesar Rp 13.400. Pada Juli 2018, rupiah sudah tembus Rp 14.413 dan terus melemah hingga kini. Situasi ini juga terjadi terhadap mata uang mitra dagang lainnya.

Situasi ini membuat ekonomi nasional menghadap tantangan yang kompleks, terutama dari ekonomi global. Untuk itu perlu memperkuat peranan faktor domestik. Salah satu bagian penting adalah menjaga daya beli sebagai penentu konsumsi rumah tangga. Realisasi belanja pemerintah harus ditingkatkan dan bisa menahan penurunan peran ekonomi eksternal lewat ekspor dan impor. Langkah lain perlu mendorong dan insentif bagi penanaman modal dalam negeri untuk bisa membuka lapangan kerja baru dan menahan aliran dana keluar lewat transfer modal maupun keuntungan.•

Abdul Manap Pulungan Peneliti Indef

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi