Menganyam laba dari lidi limbah sawit khas Riau



KONTAN.CO.ID - Kebanyakan limbah sawit dibiarkan menumpuk di area perkebunan. Lantas, ada yang dibakar atau diolah menjadi pupuk alami. Namun ditangan Muhammad Arifin, limbah sawit, berupa daun, diolah menjadi berbagai produk anyaman. Ia menyebut bahan baku anyaman tersebut 'lidi' limbah sawit.

Sejak tahun lalu, ArifinĀ  mengembangkan usaha kerajinan dari lidi limbah sawit ini. Inspirasinya datang usai mengikuti pelatihan dari perusahaan sawit di Riau dan mahasiswa KKN dari Universitas Riau (Unri). "Awalnya diberi pelatihan membuat piring anyaman, lalu saya kembangkan sendiri jadi tempat buah, tempat pena dan lainnya," kata Arifin.

Ia menjual piring anyaman Rp 100.000 per lusin, sedangkan tempat pena mulai Rp 8.000 per buah, bakul nasi dibanderol Rp 25.000 per buah. Wadah dan parcel dibanderol mulai Rp 20.000 - Rp 40.000 per buah.


Hampir 80% pelanggannya berasal dari beberapa kabupaten dan kota di sekitar Riau. Sisanya, datang dari Jakarta dan mancanegara. "Baru-baru ini ada pesanan dari Jepang. Pernah juga ada pesanan dari Swedia dan Kuala Lumpur, biasanya mereka tamu perusahaan," tuturnya.

Dari penjualan tempat buah dan wadah parcel, Arifin bisa mengantongi omzet Rp 250.000 per hari. Sedangkan penjualan piring bisa sampai 400 buah saban bulan. Wadah-wadah lainnya penjualannya bisa sampai 150 buah saban bulan. "Orang asing, kebanyakan order piring. Mereka lebih suka warna alami dan tidak divernis," terang Arifin.

Bahan baku limbah daun sawit, Arifin datapkan dari kebun sendiri dan juga membeli dari kebun orang lain. Kebetulan dirinya juga seorang petani sawit. Satu kilogram (kg) daun sawit kikis hijau dijual Rp 5.000, sedangkan daun sawit kikis putih dibanderol Rp 10.000 per kg. Kikis hijau dan kikis putih adalah sebutan Arifin untuk limbah daun sawit yang sudah diolah dan yang belum diolah.

"Kalau kikis hijau itu daun asli, warnanya masih hijau. Kalau kikis putih itu daunnya sudah dikikis atau diserut sampai warnanya putih. Tapi nanti, lama kelamaan, dua-duanya berubah jadi warna cokelat. Mirip seperti anyaman rotan atau bambu begitu," jelasnya.

Selama menjalankan usahanya ini, Arifin dan beberapa perajin lainnya memasarkan produknya pada sebuah kios sederhana di jalur lintas Sumatra. Kios tersebut merupakan fasilitas dari perusahaan yang memberikan pelatihan.

Ia membuka kios tersebut biasanya sampai pukul 23.00 WIB. "Kadang saya sampai kewalahan memenuhi permintaan pelanggan. Karena jalur lintas Sumatra ini ramai sekali, banyak yang melintas mau ke Padang atau Medan. Kalau sudah kewalahan begitu, saya ambil stok punya perajian lainnya," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Johana K.