Mengapa efek BI rate lamban menjalar ke bunga kredit?



JAKARTA. Deflasi 0,12% di bulan Oktober menumbuhkan harapan penurunan suku bunga acuan atau BI rate. Sejumlah ekonom pun meyakinkan Bank Indonesia (BI) bahwa ruang untuk mengambil kebijakan itu terbuka lebar. Lihat saja, laju inflasi sepanjang Januari – Oktober hanya 2,82%. Andaikan pada November dan Desember akan inflasi masing-masing 1%, inflasi pada akhir tahun tetap dibawah target yang ditetapkan pemerintah sebesar 5,3%.

Tapi, meski inflasi rendah dan bunga acuan berpotensi turun lagi, jangan terlalu berharap bunga kredit bakal lebih murah. Perbankan kita hanya cepat merespon perubahan BI rate dengan menurunkan bunga simpanan, tapi lamban menggunting bunga kredit.

Mengapa efek BI rate lamban menjalar ke bunga kredit? Menurut Purbaya Yudhi Sadewa, ekonom Danareksa, kondisi ini disebabkan dua hal. Pertama; struktur industri perbankan yang oligopolistik. Belasan bank yang menguasai lebih dari 65% aset industri itu memang tidak pernah duduk bersama untuk mengatur harga, tapi mereka terindikasi berkolusi secara terselubung.


Salah satu indikasinya terlihat dari kesenjangan antara bunga kredit dan simpanan dan besaran bunga kredit antar bank. Jika mengacu pada kondisi saat ini dan mekanisme pasar berlangsung sempurna, tidak ada alasan bagi bank untuk mengatrol bunga di level tinggi. “Kalau ada pemimpin bank besar kasih statemen tidak akan menurunkan bunga kredit sampai beberapa bulan ke depan, itu artinya dia memberikan sinyal kepada bank lain untuk mengekor. Inilah kesepakatan terselubung itu,” katanya.

Bunga pasar uang antar bank (PUAB) saat ini sudah rendah, terlebih setelah BI memangkas batas bawah bunga operasi pasar menjadi 150 bps dari BI rate. Selain itu, bank juga sedang kebanjiran likuiditas, meski tidak terlalu merata di semua bank. Makanya, beberapa bank besar tidak agresif menyerap dana pihak ketiga, sehingga pertumbuhan DPK mereka hanya naik tipis. Beban bunga mereka kini sudah lebih rendah

Kedua, bank sentral tidak mengimbangi kebijakan BI rate dengan kebijakan moneter lain. Contohnya soal penempatan dana bank di instrumen BI. Seharusnya, bank sentral secara bertahap mengembalikan ekses likuiditas ke perbankan untuk dikelola sendiri. “Ini memang tidak bisa langsung, harus pelan-pelan tapi berkesinambungan,” katanya. Strategi ini tentu dengan memperhitungkan tugas bank sentral dalam menjaga kondisi makro dengan mengetatkan atau melonggarkan likuiditas.

Menurut Purbaya, setelah bank tidak memiliki banyak pilihan untuk memarkir dana berlebihnya, bank berfikir keras untuk mengelolanya. Pilihannya tidak banyak; menyalurkan ke kredit dan pasar uang atau mengurangi DPK. “Kedua-duanya berefek ke bunga,” kata Purbaya.

Jika menggenjot kredit atau menyalurkan dana ke PUAB, bank yang over likuid ini akan menurunkan bunga pinjamannya agar cepat terserap pasar. “Kalau beberapa bank besar serempak melakukan itu, bunga kredit bank lain pasti akan turun mengikuti. Kalau tidak turun, ya kredit mereka (bank lain) tidak laku,” katanya.

Jika pilihannya mengurangi DPK, bank akan menurunkan bunga simpanannya. Sikap jual mahal ini memacu bank lain untuk menurunkan bunga simpanan, sehingga struktur biaya bank menjadi lebih baik. “Kalau bank besar A kasih bunga deposito 6%, masa bank menengah B bersikeras di level 8%?” katanya.

Untuk mendobrak struktur pasar yang oligopolis, sehingga bunga kredit bisa luruh lebih cepat, pemerintah bisa menggunakan jalur bank BUMN. Caranya, pemerintah mencairkan sebagian dananya yang tersimpan di rekening BI lalu menempatkannya di bank BUMN sebagai dana murah. "Kemudian pemerintah menugaskan dirut bank BUMN untuk memangkas bunga kredit dengan jabatan sebagai taruhan," katanya.

Pemerintah berkepentingan karena dengan bunga rendah sektor riil bakal lebih terpacu. Apalagi jika ekonomi sedang lesu dan butuh stimulus. “Bank BUMN kita punya pengaruh besar di pasar. Kalau mereka turunkan bunga kredit, yang lain pasti mengekor,” katanya.

Tapi, ia juga mengingatkan pemerintah bersedia setoran dividennya berkurang. “Pemerintah tidak usah khawatir. Deviden bank mungkin berkurang, tapi kan ekonomi tumbuh dan sektor riil berjalan. Imbasnya ke pemerintah juga karena pajak meningkat," katanya.

Difi A Johanysah enggan mengomentari soal kebijakan penempatan dana bank di BI. "Kami selalu punya rumus kapan harus menyerap ekses likuiditas dan berapa besarnya. Membiarkan dana berlebih di sistem keuangan juga berbahaya bagi makro," katanya. Ketika melonggarkan atau mengetatkan kebijakan moneter, BI sudah punya kalkulasi sendiri. "Kami memperhitungkan dana bank, belanja pemerintah, potensi inflasi, capital inflow, dsb," kata Difi.

Soal penempatan dana pemerintah di bank BUMN, Difi menilai usul itu bisa dilaksanakan. Apalagi, cara serupa pernah dilakukan pada krisis 2008, ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani mencairkan dana di BI dan menginjeksikannya ke bank BUMN. “Tapi dana ini tidak bisa jangka panjang karena harus dibelanjakan. Sementara bank perlu DPK dengan jangka waktu lebih panjang,” katanya.

Budi Gunadi Sadikin, Direktur Mandiri, menolak persepsi bank lamban menurunkan bunga kredit. Dia mengklaim, SBDK di banknya sudah turun sejak beberapa bulan lalu. "Jangan sampai menimbulkan kesan BI rate turun tapi bank tidak menurunkan bunga kredit. Padahal dalam annual report kami juga terlihat kalau SBDK bank sudah turun," kata Budi.

Menurut Budi, bank tidak perlu ditekan untuk menurunkan bunga karena persaingan di pasar sangat ketat. "Bank akan sadar sendiri," katanya. Bank besar yang memiliki funding kuat mungkin tidak akan kesulitan untuk menurunkan SBDK. Tapi untuk bank kecil yang pendanaannya masih terbilang minim, ada kesulitan untuk menurunkan bunga kredit.

Mengenai pencairan sebagian dana pemerintah di BI ke bank BUMN, kata Gatot Suwondo, Direktur Utama BNI, dampaknya tidak akan terlalu besar. "Itu hanya numpang lewat saja, biasanya dana tersebut kan hanya mengendap sehari saja. Kalaupun diharapkan dalam waktu lama, mereka pasti minta special rate," terang Gatot.

Direktur Bank OCBC NISP Rudy N. Hamdani, menambahkan, menurunkan bunga kredit tidak mudah. Pasalnya, disatu sisi bank dituntut meningkatkan performa, tapi disisi lain situasi global sedang tidak menentu yang bisa berakibat pada perlambatan ekonomi dunia.

Jahja Setiaatmadja, Direktur Utama BCA, mengklaim pihaknya sudah menurunkan bunga kredit secara bertahap selama beberapa bulan terakhir. "Sebelum BI rate turun kami sudah menurunkan suku bunga kredit," katanya. Dia memprediksi BI Rate akan flat sampai akhir tahun. Bunga kredit kita sudah turun banyak, jadi tidak akan turun lagi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: