Sumber Daya Alam (SDA) merupakan sektor yang berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi, dan merupakan modal untuk memberi stimulus pembangunan di suatu negara, khususnya Indonesia. Namun, sayangnya pada akhir abad ke-20 mulai bermunculan kritik para ekonom mengenai pembangunan yang sejak dulu telah mengalami disorientasi. Kritik tersebut mengarah pada keserakahan pembangunan yang terlalu berambisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sedangkan dimensi lingkungan dan sosial terabaikan. Apalagi, setelah munculnya fenomena perubahan iklim (
climate change) yang memberikan
shock therapy bagi pembangunan nasional. Bagi Indonesia dampak buruk perubahan iklim itu bisa dirasakan langung oleh masyarakat, misalnya saja dalam urusan penangkapan ikan para nelayan. Dengan adanya ketidakpastian iklim tentu saja pekerjaannya terganggu dan membuat pendapatannya menurun. Secara garis besar intinya perubahan iklim ini akan menjadikan SDA Indonesia sulit untuk dioptimalkan.
Untuk mengatasi kekhawatiran akan perubahan iklim digagaslah Suitainable Development Goals (SDGs), yakni pada tahun 2030 terdapat 17 target ambisius yang ingin dicapai dalam pembangunan. SDGs bukan hal baru lagi bagi Indonesia karena sudah menjadi arah dan komitmen pemerintah dalam mengeksekusi rencana pembangunan yang ada. Salah satu bentuk perwujudan komitmen pemerintah terkait SDGs yaitu dengan diterbitkannya
green souvereign sukuk (sukuk hijau pemerintah) pertama di dunia senilai US$ 1,25 miliar pada tahun 2018 oleh Kementerian Keuangan (Kemkeu). Penerbitan ini otomatis menjadikan Indonesia sebagai kiblat bagi dunia dalam praktik
green sukuk pemerintah dan berhasil mendapatkan apresiasi dari banyak pihak, baik dari investor maupun organisasi pecinta lingkungan. Penerbitan
green sukuk ini memberikan tanggung jawab lebih besar bagi pemerintah selaku penerbit terkait pemanfaatan dana hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai pembangunan yang berwawasan lingkungan. Jika Sukuk Negara yang non-
green bebas digunakan untuk pembangunan infrastruktur apa saja (selama masih sesuai prinsip syariah), sedangkan dalam praktik green sukuk harus mempertimbangkan aspek lingkungan dalam proyek yang akan di danai.
Underlying asset dari
green sukuk ini terdiri dari dua jenis, yaitu
underlying asset berupa Barang Milik Negara (BMN) dan proyek infrastruktur hijau yang akan dibangun oleh kementerian/lembaga terkait.
Green sukuk yang diterbitkan oleh pemerintah Indonesia ini mendukung pemerintah dalam memenuhi beberapa target dalam SDGs yaitu (1) ketersedian energi bersih dan terjangkau, (2) pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, (3) Industri, Inovasi, dan Infrastruktur, (4) kota dan pemukiman yang berkelanjutan, dan (5) penanganan perubahan iklim. Manfaatkan wilayah laut Setelah keberhasilan Indonesia dalam menerbitkan
green sukuk, belakangan ini muncul isu mengenai penerbitan instrumen
blue sukuk dalam rangka mendukung pemerintah mewujudkan target SDGs nomor 14, yaitu memaksimalkan potensi ekosistem laut untuk pembangunan ekonomi.
Blue sukuk ini sama halnya dengan
green sukuk, hanya saja
green sukuk lebih mengarah kepada pembangunan di wilayah daratan, sedangkan
blue sukuk berfokus pada ekosistem laut. Seperti yang kita ketahui bahwa luas total perairan Indonesia adalah 6.400.000 kilometer persegi (km), sehingga dengan demikian Indonesia memiliki banyak potensi kelautan yang dapat dikembangkan. Adanya isu
blue sukuk ini cukup menarik untuk dikaji, terlebih lagi di dunia belum ada negara yang pernah menerbitkan
blue sukuk. Penerbitan blue sukuk akan sangat menguntungkan bagi pemerintah. Pertama, dalam hal menciptakan kredibilitas Indonesia dalam mengaplikasikan instrumen keuangan syariah di mata dunia. Kedua, Indonesia memiliki tambahan basis investor Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dari para pecinta ekosistem laut. Ketiga, tentunya Indonesia memperoleh manfaat berupa bertambahnya inovasi instrumen keuangan syariah yang menjadi pertanda baik bagi penguatan instrumen keuangan syariah nasional. Selain itu, adanya
blue sukuk bisa menjadi bentuk aksi nyata pemerintah dalam menyusun tata kelola perairan yang baik, agar tidak menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat atas ancaman berupa kerusakan ekosistem laut yang menjadi sumber pemasukan bagi negara dan khususnya pendapatan utama bagi masyarakat pesisir.
Blue sukuk diperlukan untuk memberi stimulus pendanaan pembangunan ekosistem laut agar tidak mengalami kerusakan yang merugikan semua pihak. Namun perlu menjadi perhatian bahwa untuk menerbitkan
blue sukuk ke depannya, pemerintah harus menyediakan beberapa aspek penting yang menjadi dasar dalam menerbitkan
blue sukuk itu sendiri.
Underlying asset merupakan syarat utama yang harus dipersiapkan oleh pemerintah agar mimpi untuk menerbitkan
blue sukuk bisa terealisasi. Sebagaimana yang telah dipraktikkan pada sukuk negara sebelumnya,
underlying asset yang jadi basis
blue sukuk tersebut harus bisa memberikan keuntungan bagi pemerintah sebagai imbal hasil investasi terhadap investor. Pemerintah harus memilah sejak saat ini proyek apa saja yang sesuai dan dapat dijadikan sebagai
underlying asset penerbitan
blue sukuk. Misalnya, proyek tersebut bisa berupa pembangunan dermaga, konservasi ekosistem laut, pengadaan kapal nelayan, infrastruktur tol laut ataupun proyek-proyek yang memiliki keuntungan ekonomi lainnya yang ada di wilayah perairan Indonesia. Selain itu, tidak boleh dilupakan juga bahwa proyek yang dibangun tersebut tidak boleh mengandung emisi karbon yang berlebihan. Setelah
underlying asset tersebut sudah siap, maka pemerintah harus menyediakan lembaga independen yang bertugas untuk memberikan penilaian atau audit terhadap proyek yang akan menggunakan dana dari
blue sukuk Indonesia.
Penilaian tersebut semata-mata untuk memastikan bahwa kontribusi dari penggunaan
blue sukuk ini betul-betul telah sesuai dengan kaidah yang diinginkan oleh para pencetus goal nomor 14 dalam SDGs yaitu tercapainya kelestarian ekosistem laut. Akhir kata,
blue sukuk adalah salah satu bentuk perwujudan eksistensi pemerintah dalam menyelamatkan ekosistem laut demi terciptanya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sebaiknya pemerintah harus segera menerbitkan
blue sukuk agar tidak kalah start dengan negara-negara yang sedang mengembangkan keuangan syariah lainnya.♦
Suherman Asisten Peneliti INDEF dan Peneliti Green Sukuk Universitas Brawijaya Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi