CHICAGO. Jepang berdasarkan angka terlihat seperti ini: 11 menteri keuangan dalam tujuh tahun, utang yang mencapai 1 kuadriliun yen, dan suku bunga yang mentok di sekitar 0%.Biar begitu, Jepang berbeda bagi investor selama hari-hari belakangan ini. Saham-sahamnya menanjak. Tahun ini, indeks Nikkei 225 melambung hampir 30%.Pergantian kepemimpinan dan awal kolaborasi mengejutkan dari pemerintah dan Bank of Japan (BOJ) telah menarik perhatian investor dunia.Bulan ini, BOJ telah mengumumkan rencana agresifnya untuk membeli aset dari pasar. Pembelian aset yang sebagian besar berupa obligasi pemerintah itu bernilai 60% dari PDB.Ini merupakan langkah untuk menggandakan basis moneter Jepang dan mengangkat inflasi ke angka 2% dalam dua tahun. Target yang luar biasa bagi negara yang sudah lama beku oleh deflasi.Terang saja investor menghambur masuk ke bursa Jepang. Belum empat bulan tahun ini berjalan, banyak reksadana Jepang yang sudah naik sekitar 15%-20%. Itu menurut data Morningstar Inc.Bahkan, salah satu exchange traded fund terbesar Jepang, Wisdom Tree Japan Hedged Equity Fund, melejit lebih dari 24%. Ia tak hanya membeli saham-saham Jepang, tapi juga bertaruh pada pelemahan yen. Namun dengan lonjakan ini, investor juga butuh istirahat sejenak untuk merenungkan langkah mereka selanjutnya."Sudah bertahun-tahun Jepang tak menjadi fokus. Investor hampir tak bisa menyebutkan nama saham Jepang. Sekarang mereka bertanya-tanya: Jika saya kehilangan babak pertama ini, akankah ada babak selanjutnya? Dan sampai berapa lama?" kata Martin Jansen, Head of International Equities ING U.S Investment Management.Menurutnya, bull market masih berjalan benar sejauh ini. Terutama bagi mereka yang mengincar saham-saham eksportir, dan mendiversifikasikannya dengan saham properti, perbankan, dan sekuritas.Domestik versus asingHanya saja, tak ada ekonomi sebesar Jepang yang bangkit dari tidur tanpa terhuyung-huyung. Ujian bagi Jepang terkait dengan seberapa cepat ekonomi global bisa membaik dan bagaimana baiknya pemimpin Jepang dapat mengerek ekonomi negeri samurai, dengan menjaga sektor yang tergantung pada ekspor tetap kompetitif.Pasar besar seperti China dan AS serta sekumpulan negara berkembang akan tetap menjaga permintaan akan otomotif Jepang, perlengkapan konstruksi, elektronik dan lainnya. Daya saing harga tak bisa menjadi satu-satunya fitur pemulihan ekonomi yang bergantung pada ekspor. Volume dan pangsa pasar butuh berkembang juga.Di samping ekspor, akan ada banyak ketertarikan lagi pada properti, pasar saham, serta bank dan sekuritas yang menggerakkannya. "Kita berada di awal sebuah tren, yang di dalamnya, dana pensiun pemerintah dan swasta sedang menjalankan review alokasi aset yang memihak ke saham," ujar Jansens.Tantangan JepangBank of America/Merrill Lynch menulis dalam laporan risetnya tentang risiko dongeng indah Jepang ini. Salah satunya adalah buruknya komunikasi BOJ dalam menjelaskan kebijakannya. Ini bisa membahayakan kepercayaan pasar.Namun mereka memrediksi indeks TOPIX yang saat ini berada di level 1.122, dapat menyentuh 1.250 tahun depan.Di pihak lain, ada kekhawatiran efektivitas langkah BOJ."Menggandakan basis moneter tetap tak cukup untuk mencapai target inflasi 2%. Meskipun begitu, komitmen BOJ untuk melakukan apapun dalam mengakhiri deflasi akan menambah peluang kebijakan moneter longgar lebih lanjut dari apa yang telah dijanjikan," kata Julian Jessop, Chief Global Economist Capital Economics, Inggris.Tapi, seandainya Jepang bisa menghentikan deflasi, akan ada risiko lain yang menghadang. Harga-harga yang lebih tinggi akan berdampak pada pemulihan ekonomi jika tak segera disesuaikan dengan menaikkan gaji dan laba perusahaan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Mengapa Jepang menjadi lahan indah kenaikan saham
CHICAGO. Jepang berdasarkan angka terlihat seperti ini: 11 menteri keuangan dalam tujuh tahun, utang yang mencapai 1 kuadriliun yen, dan suku bunga yang mentok di sekitar 0%.Biar begitu, Jepang berbeda bagi investor selama hari-hari belakangan ini. Saham-sahamnya menanjak. Tahun ini, indeks Nikkei 225 melambung hampir 30%.Pergantian kepemimpinan dan awal kolaborasi mengejutkan dari pemerintah dan Bank of Japan (BOJ) telah menarik perhatian investor dunia.Bulan ini, BOJ telah mengumumkan rencana agresifnya untuk membeli aset dari pasar. Pembelian aset yang sebagian besar berupa obligasi pemerintah itu bernilai 60% dari PDB.Ini merupakan langkah untuk menggandakan basis moneter Jepang dan mengangkat inflasi ke angka 2% dalam dua tahun. Target yang luar biasa bagi negara yang sudah lama beku oleh deflasi.Terang saja investor menghambur masuk ke bursa Jepang. Belum empat bulan tahun ini berjalan, banyak reksadana Jepang yang sudah naik sekitar 15%-20%. Itu menurut data Morningstar Inc.Bahkan, salah satu exchange traded fund terbesar Jepang, Wisdom Tree Japan Hedged Equity Fund, melejit lebih dari 24%. Ia tak hanya membeli saham-saham Jepang, tapi juga bertaruh pada pelemahan yen. Namun dengan lonjakan ini, investor juga butuh istirahat sejenak untuk merenungkan langkah mereka selanjutnya."Sudah bertahun-tahun Jepang tak menjadi fokus. Investor hampir tak bisa menyebutkan nama saham Jepang. Sekarang mereka bertanya-tanya: Jika saya kehilangan babak pertama ini, akankah ada babak selanjutnya? Dan sampai berapa lama?" kata Martin Jansen, Head of International Equities ING U.S Investment Management.Menurutnya, bull market masih berjalan benar sejauh ini. Terutama bagi mereka yang mengincar saham-saham eksportir, dan mendiversifikasikannya dengan saham properti, perbankan, dan sekuritas.Domestik versus asingHanya saja, tak ada ekonomi sebesar Jepang yang bangkit dari tidur tanpa terhuyung-huyung. Ujian bagi Jepang terkait dengan seberapa cepat ekonomi global bisa membaik dan bagaimana baiknya pemimpin Jepang dapat mengerek ekonomi negeri samurai, dengan menjaga sektor yang tergantung pada ekspor tetap kompetitif.Pasar besar seperti China dan AS serta sekumpulan negara berkembang akan tetap menjaga permintaan akan otomotif Jepang, perlengkapan konstruksi, elektronik dan lainnya. Daya saing harga tak bisa menjadi satu-satunya fitur pemulihan ekonomi yang bergantung pada ekspor. Volume dan pangsa pasar butuh berkembang juga.Di samping ekspor, akan ada banyak ketertarikan lagi pada properti, pasar saham, serta bank dan sekuritas yang menggerakkannya. "Kita berada di awal sebuah tren, yang di dalamnya, dana pensiun pemerintah dan swasta sedang menjalankan review alokasi aset yang memihak ke saham," ujar Jansens.Tantangan JepangBank of America/Merrill Lynch menulis dalam laporan risetnya tentang risiko dongeng indah Jepang ini. Salah satunya adalah buruknya komunikasi BOJ dalam menjelaskan kebijakannya. Ini bisa membahayakan kepercayaan pasar.Namun mereka memrediksi indeks TOPIX yang saat ini berada di level 1.122, dapat menyentuh 1.250 tahun depan.Di pihak lain, ada kekhawatiran efektivitas langkah BOJ."Menggandakan basis moneter tetap tak cukup untuk mencapai target inflasi 2%. Meskipun begitu, komitmen BOJ untuk melakukan apapun dalam mengakhiri deflasi akan menambah peluang kebijakan moneter longgar lebih lanjut dari apa yang telah dijanjikan," kata Julian Jessop, Chief Global Economist Capital Economics, Inggris.Tapi, seandainya Jepang bisa menghentikan deflasi, akan ada risiko lain yang menghadang. Harga-harga yang lebih tinggi akan berdampak pada pemulihan ekonomi jika tak segera disesuaikan dengan menaikkan gaji dan laba perusahaan.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News