JAKARTA. Jokowi Effect berulang kali didengungkan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap elektabilitas PDIP. Pengamat politik Charta Politika, Yunarto Wijaya, mencoba merincikan kegagalan persepsi atas Jokowi Effect sebagai akibat dari tidak solidnya internal PDIP dibandingkan partai lain. Yunarto Wijaya, Direktur Eksekutif Charta Politika menyatakan magnet elektoral PDIP adalah Jokowi sehingga alasan orang memilih PDIP adalah karena Jokowi. Yunarto juga menegaskan Jokowi bukan hanya muncul pada era Pileg dan Pilpres, tetapi justru semenjak Pilkada DKI Jakarta. Menurut Yunarto, berdasarkan data, sepanjang sepuluh tahun terakhir, sekitar akhir 2012 PDIP ada di peringkat pertama dalam survei elektabilitas. Padahal sebelumnya kalah dengan Demokrat. Ada seseorang yang dikenal sebagai Jokowi, ketika menjadi Gubernur elektabilitasnya berhasil menyalip elektabilitas Prabowo Desember 2012.
Yunarto menilai jangan sampai Jokowi Effect dikerucutkan seakan-akan melihatnya hanya dari elektabilitas PDIP. Jika Jokowi hendak dijual dalam Pilpres, segala tendensi yang terlalu membuat citra Jokowi semata-mata hanya milik PDIP perlu dihapus sedini mungkin. Citra Jokowi sebagai milik Indonesia dan segenap elemen masyarakat perlu digelontorkan sejak dini menurut Yunarto mengingat Pilpres mengacu pada fokus kebangsaan, bukan komunitas, apalagi partai. Menurut pengamat politik Universitas Parahyangan ini, mengapa Jokowi dicapreskan sebelum kampanye terbuka. Sementara tiga hari sebelum kampanye tertutup tidak ada iklan politik yang menjual Jokowi sebagai capres memang menimbulkan dugaan. Yakni adanya indikasi ketidaksepakatan dalam internal PDIP untuk mencapreskan Jokowi. Berangkat dari asumsi tersebut, Yunarto mencoba membandingkan PDIP dengan PKS. Ia menilai, meskipun PKS tidak berhasil mengantongi angka yang secara statistik besar dan melebihi PDIP, namun PKS jauh lebih solid dibandingkan PDIP. "Suara PKS memang turun dan itu secara absolut menyulitkan posisinya. Namun dia punya instrumen yang solid." Ia mengungkapkan bahwasanya PDIP tidak memiliki euforia yang kencang dalam pencapresan. Yunarto membeberkan dalam beberapa pertemuan dengan politisi dan kader PDIP, tidak banyak yang berani menyebutkan nama untuk menjadi capres. Sementara itu di lain pihak, sosok Jokowi mendapatkan banyak bantuan dan dukungan oleh banyak relawan dari berbagai latar belakang. Kuantitas relawan ini justru semakin menunjukkan keterikatan yang kuat antara Jokowi dengan para relawan-relawan serta simpatisan yang bekerja untuk membantu menyukseskan Jokowi sebagai presiden. Yunarto pun menyayangkan fungsi relawan ini seringkali diabaikan oleh PDIP dan tidak menjadi fokus utama. "Selalu jawabannya, bertanyalah kepada Ibu Mega. Saya menilai PDIP sejak awal tidak terlalu memperhitungkan market electoral yang diam-diam ada di tengah mereka, yakni Jokowi ini," tuturnya terkait ketidaksadaran PDIP dalam menempatkan sosok magnet electoral partainya. Yunarto menambahkan, tahun 2009 ada 32 partai politik yang memperebutkan kursi melalui suara. Sementara di Pemilu 2014 menurun hanya ada 12 partai yang memperebutkan seratus persen suara. Meskipun begitu, ini perlu dinilai dalam kacamata yang berbeda dampaknya terhadap peroleh suara. Kenaikan-kenaikan suara di beberapa partai diakibatkan teralihkannya beberapa suara dari partai yang tidak lolos seleksi kepada partai yang lolos seleksi. "Sehingga tak mengherankan jika PKB, PPP, PAN, meskipun ada yang terkesan stagnan namun ada juga yang meningkat dalam konteks yang memang tetap tidak signifikan," ujar Yunarto. Menanggapi hal tersebut Purnawirawan Polisi Da'i Bachtiar, selaku salah satu kader dan politisi senior PDIP yang hadir dalam diskusi tersebut juga tidak menyanggah kekuatan Jokowi Effect memang besar dan mendongkrak partainya meskipun tidak maksimal. Diskusi dalam internal PDIP diakuinya tidak semuanya setuju kepada Jokowi dijadikan calon presiden. Hal ini justru mencerminkan dinamika yang lumrah dalam kehidupan berpolitik. Baginya, ketika Megawati Soekarnoputri memberikan mandat kepada Jokowi maka semua aparatur partai wajib mematuhi. Mantan Kapolri ini pun mengakui segenap aparatur partai memang merasakan kegagalan pencapaian target suara yang mencerminkan strategi Jokowi Effect ternyata memang tidak terlalu mumpuni. Ia pun turut membeberkan alasan perubahan jadwal pengumuman capres PDIP yang dilaksanakan dua hari sebelum pelaksanaan kampanye terbuka Pileg memang menjadi salah satu hasil perhitungan dan pertimbangan khusus. Menurut Da'i, pengumuman capres yang dijadwalkan sebelumnya memang bukan sebelum Pileg, tetapi sesudahnya. Politisi senior PDIP ini justru mengaku kerumitan yang dihadapi PDIP kemarin berakhir dengan tenang berkat kerendahan hati Megawati melalui keputusannya tidak mencapreskan dirinya kembali dari PDIP dalam Pilpres 2014. Da'i tidak mengelak bahwasanya Pileg dan Pilpres adalah dua proses yang berbeda. Hal ini mendorongnya semakin yakin hasil pileg yang di luar prediksi ini tidak akan sama atau terulang lagi dalam hasil Pilpres. Sebagai salah satu kader PDIP, Da'i menerima semua kritik dan saran yang tecermin dari berbagai hasil survei bahwasanya PDIP telah gagal memanfaatkan serta memaksimalkan kadernya, Joko Widodo sebagai market electoral. Ia mengaku segala survei yang sudah diluncurkan juga beberapa kritik telah menjadi evaluasi untuk mendorong kinerja partai dalam mengusung Jokowi menjadi lebih baik lagi. Da'i menampik anggapan jika PDIP terlalu keras kepala dan kurang kreatif dalam mempergunakan hasil survei sebagai peluang. Ia kukuh Jokowi masih berkesempatan untuk memenangkan Pilpres 2014.
Dalam kesempatan itu pula Purnawirawan Da'i Bachtiar menambahkan persyaratan umum dari cawapres pendamping Jokowi adalah harus mampu bekerjasama. Hal ini mengingat dirinya baru saja mengikuti pertemuan bersama jajaran DPP PDIP hari ini (15/4) di kediaman Megawati Soekarnoputri, Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. "Lagipula karena angka yang diterima sekarang sudah sesuai maka digunakan untuk meningkatkan elektabilitas. Tapi syarat lain yang juga tak kalah penting karena mandat langsung dari Ibu Mega adalah bagaimana parlemen dan pemerintahan yang dikelola bisa bekerjasama meningkatkan sistem presidensial itu sendiri," ujar Purn. Dai Bachtiar. Bagaimanapun juga ia meyakinkan awak media bahwasanya susunan kabinet kelak jika dipimpin oleh Jokowi tidak untuk dibagi-bagi. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Djumyati P.