Mengawal Perppu Covid-19



KONTAN.CO.ID - Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1/2020 (Perpu No 1/2020) Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan. Dapat kita pahami latar belakang terbitnya Perpu No 1/2020 karena adanya kegentingan yang memaksa sebagai akibat dari adanya pandemi Covid-19. Kegentingan ini akan berdampak pada perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan.

Dengan ancaman perekonomian itu dapat dipahami jika perlukan ada relaksasi dan realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Relaksasi dan realokasi APBN ini untuk melakukan pemulihan perekonomian dan membentuk jaring pengaman sosial (social safety net). Perpu No 1/2020 juga memberikan penguatan kewenangan terhadap beberapa instansi terkait.

Hal yang paling menarik dari Perpu No 1/2020 adalah pada Pasal 27. Pada Pasal 27 ayat (1) menyebutkan semua biaya yang dikeluarkan pemerintah dan atau lembaga anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) sehubungan pelaksanaan Perpu ini dianggap sebagai bagian dari penyelamatan krisis dan bukan merupakan kerugian negara.

Selanjutnya Pasal 27 ayat (2) menyebutkan semua otoritas yang melaksanakan Perpu dengan ukuran itikad baik dan perundangan yang berlaku tidak dituntut baik secara pidana maupun secara perdata. Terakhir, Pasal 27 ayat (3) menyebutkan bahwa segala tindakan maupun keputusan yang diambil para pejabat negara yang di Perpu bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan pada peradilan tata usaha negara.

Dapat dipahami bahwa pemerintah memandang dampak dari adanya pandemi Covid-19 merupakan sebuah kegentingan. Pasal 27 Perpu No 1/2020 dapat dimaknai demi tindakan penyelamatan yang bersifat segera. Oleh karena itu, pemerintah perlu memangkas mata rantai birokrasi pemenuhan peraturan lain dan memberikan rasa "aman" bagi para pejabat sehingga tidak timbul kasus hukum pasca pandemi Covid-19.

Pada konteks ini tampak jika Perpu No 1/2020 dibuat dengan belajar dari peristiwa krisis tahun 1998 hingga peristiwa bail out Bank Century.

Kepastian dan perlindungan hukum bagi aparat negara untuk melaksanakan kebijakan akibat kegentingan yang memaksa ini bertujuan untuk menghindari kriminalisasi kebijakan. Dengan demikian, Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3) dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum atas keputusan yang diambil dalam kondisi mendesak (adanya kegentingan memaksa), agar keputusan yang diambil pada masa pandemi ini tak dipersoalkan di kemudian hari.

Dua sisi Perpu

Kepastian hukum merupakan aspek yang sangat penting dalam ketidakpastian, jika mengacu pada krisis tahun 1998, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga bail out Bank Century. Saat ini berbagai kebijakan di masa lalu itu masih dipenuhi gugatan baik perdata, pidana , tata usaha negara hingga tipikor jauh hari setelah keputusan diambil dan setelah peristiwa krisis berakhir. Dalam konteks ini, tujuan dari rumusan Pasal 27 dapat dipahami dan memang diperlukan.

Rumusan Pasal 27 dimaksudkan untuk memberi perlindungan aparat negara yang beritikad baik. Pasal ini juga dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum pada masyarakat yang menerima kebijakan terkait Covid-19.

Salah satu poin yang krusial di Perpu No 1/2020 adalah frasa kata didasarkan pada itikad baik yang ada di Pasal 27 ayat (2). Persoalannya adalah dalam penjelasan Perpu No 1/2020 tidak memuat rumusan dari maksud itikad baik. Jika mengacu pada pemahaman itikad baik menurut peraturan perundangan maupun menurut para ahli, itikad baik tak memiliki ukuran yang baku. Ahli hukum perdata J Satrio (1996), menyebutkan, itikad baik sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi pada saat keputusan diambil.

Persoalan ini jadi rawan merugikan bagi pejabat yang disebut dalam Pasal 27 ayat (2) maupun merugikan masyarakat jika ukuran itikad baik dipersoalkan secara hukum pasca pandemi. Ukuran itikad baik pada saat terjadi pandemi Covid-19 berbeda dengan pasca pandemi Covid-19.

Kepastian hukum dalam kondisi pandemi yang dipenuhi ketidakpastian, termasuk ancaman perekonomian dan stabilitas keuangan, mutlak diperlukan. Jika penyelenggara negara tidak dapat memberikan kepastian, justru terjadi ketidakpercayaan masyarakat yang justru menyebabkan ancaman perekonomian.

Mengacu kondisi di atas, artinya pejabat yang mengambil keputusan beserta keputusan yang dibuat sehubungan dengan Perpu perlu mendapat jaminan secara legalitas baik untuk pejabat pengambil keputusan maupun terhadap keputusan itu sendiri. Oleh karena itu, Pasal 27 Perpu No 1/2020 harus dapat dipahami secara ekonomi memberi jaminan kepastian hukum untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat sebagai bagian dari percepatan pemulihan ekonomi dan stabilitas keuangan.

Namun dengan rumusan yang ada, Pasal 27 Perpu No 1/2020 justru menyebabkan potensi penyimpangan dalam pelaksanaan Perpu 1/2020. Potensi penyimpangan terletak pada proteksi yang terkandung di Pasal 27 itu sendiri. Jika mengacu pada rumusan Pasal 27 ayat (1), (2) dan (3), dapat dikatakan hampir tidak ada celah hukum untuk menguji keputusan yang dibuat sehubungan dengan Perpu No 1/2020.

Demikian juga dengan rumusan Pasal 27 yang menyatakan bahwa objek keputusan dan tindakan pejabat sebagaimana dimaksud Perpu No 1/2020 tidak dapat dikualifikasikan terkait pertanggung jawaban tipikor (bukan merupakan kerugian negara), pidana, perdata maupun melalui peradilan tata usaha negara (PTUN). Maka rumusan Pasal 27 ini mengesampingkan asas kesalahan dan pertanggung jawaban dalam hukum. Pengesampingan asas kesalahan dan pertanggung jawaban di Pasal 27 Perpu No 1/2020 berpotensi menimbulkan penyimpangan yang justru merugikan masyarakat.

Rajendran, peneliti dari Mumbai University (2006), menguraikan bahwa potensi penyimpangan dana bencana cenderung terbuka lebar dan sering terjadi di negara Asia, utamanya di negara berkembang. Sebab pemerintah dan masyarakat hanya fokus pada penanganan, pencegahan, dan pemulihan akibat bencana. Di sisi lain kurang fokus pada pengawasan penggunaan dana, dan belum tentu dibarengi dengan prosedur yang memastikan dana itu tepat guna dan tepat sasaran.

Guna menghindari penyimpangan pada penggunaan diskresi, perlu mekanisme pengawasan dan pertanggung jawaban. Pemerintah harus membuat aturan pelaksana yang memuat prosedur pengawasan serta mekanisme penggunaan kewenangan setiap organ pemerintah di dalam Perpu No 1/2020 tersebut.

Penegasan ini bertujuan mencegah penyimpangan dana penangan Covid-19. Selain tepat guna, tidak ada pula kriminalisasi pejabat pengambil keputusan.

Penulis : Rio Christiawan

Dosen Ilmu Hukum Universitas Prasetiya Mulya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti