KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemerintah tampaknya akan bersungguh-sungguh dalam mengoptimalkan penerimaan pajak dari pembuatan konten seperti konten creator dan youtuber. Langkah ini ditempuh dalam upaya memaksimalkan penerimaan negara melalui strategi intensifikasi dan ekstensifikasi pajak. Maklum, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan penerimaan pajak dari sektor komoditas semata yang berpengaruh terhadap kondisi perekonomian global. Dalam dokumen KEM-PPKF 2025, pemerintah sebetulnya menyadari terdapat tantangan pemungutan pajak akibat transisi ekonomi. Sistem perpajakan Indonesia belum dapat menangkap sepenuhnya aktivitas ekonomi digital sehingga terdapat risiko kehilangan basis pajak (tax base) khususnya PPN dan PPh dari para pelaku ekonomi digital.
"Tren shifting konsumsi berbasis digital yang semakin kuat sejak tahun 2024 dan berpotensi berlanjut di tahun 2025 perlu didukung Core Tax untuk mendukung optimalisasi penerimaan pajak digital," tulis pemerintah dalam Dokumen KEM-PPKF 2025, dikutip Selasa (21/5).
Baca Juga: Gen Z Banyak di Sektor Informal, Ekonom Senior Khawatir Penerimaan Pajak Anjlok Terbaru, dalam draf revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran, pemerintah menegaskan penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran wajib membayar pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dipertegas dalam Paragraf 2 Pasal 34F ayat (2) huruf g. Artinya, platform digital hiburan seperti Netflix dan sejenisnya bakal diawasi setoran pajaknya. Meski dalam draf RUU tersebut tidak merujuk pada Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yakni si pembuat konten, namun tampaknya pemerintah serius mengoptimalkan penerimaan pajak dari industri tersebut mengingat potensinya yang cukup besar. Sebut saja platform Youtube yang menjadi salah satu platform yang paling banyak digunakan oleh masyarakat. Berdasarkan riset KONTAN, setiap orang rata-rata menghabiskan sekitar 25,9 jam per bulan di platform tersebut pada tahun 2020. Dibaliknya populernya platform, tentu saja ada orang yang membuat video-video menarik untuk dilihat yang dikenal dengan sebutan konten kreator ataupun youtuber. Sebut saja, Raditya Dika, Dedy Corbuzier hingga Atta Halilintar. Penghasilan yang dihasilkan oleh youtuber biasanya terdapat pada AdSense yang diterima. Sebagai warga negara Indonesia yang memiliki penghasilan, maka youtuber juga terikat dengan pajak. Asal tahu saja, profesi Youtuber termasuk kedalam pekerjaan bebas yang tercatat dalam Kelompok Lapangan Usaha (KLU). Untuk itu, pajaknya dihitung menggunakan tarif Pasal 17 UU PPh dengan skema tarif yang progresif. Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Dwi Astuti mengatakan bahwa tidak ada strategi khusus yang DJP lakukan untuk kelompok Wajib Pajak Konten Kreator maupun Influencer. Ia menegaskan, kewajiban pajak yang dikenakan didasarkan atas jenis penghasilan atau transaksi apa yang dilakukan oleh influencer tersebut selaku Wajib Pajak. "Pengenaan pajak terhadap influencer sama dengan penerima penghasilan lainnya," kata Dwi kepada Kontan.co.id, Selasa (21/5).
Baca Juga: BKF Klaim Core Tax System Mampu Tingkatkan Penerimaan Negara Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengakui bahwa potensi penerimaan pajak dari profesi tersebut sangat cukup besar, namun belum sepenuhnya bisa dipajaki. Pada umumnya, influencer maupun konten kreator memperoleh dua sumber penghasilan, yaitu melalui platform seperti AdSense dan dari luar platform seperti endorsement, penjualan merchandise dan menjadi brand ambassador. "Sayangnya, fokus optimalisasi kepatuhan pajak umumnya masih berkutat pada penghasilan-penghasilan yang diperoleh dari dalam platform, khususnya AdSense," kata Bawono. Namun menurutnya, optimalisasi kepatuhan dan penerimaan PPh dari para konten kreator semakin besar sejalan hadirnya digitalisasi administasi pajak melalui Core Tax Administration System (CTAS), penggunaan NIK menjadi NPWP, hingga pengenaan pajak atas natura/kenikmatan. "Momentum tersebut perlu untuk dimanfaatkan," jelasnya. Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rahmat mengatakan, optimalisasi penerimaan pajak dari para konten kreator sebenarnya sudah lama ingin dilakukan DJP Kemenkeu. Sebab, di masa saat ini konten kreator memang bisa dibilang telah menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia. Untuk itu, konten kreator telah memberikan pengaruh nyata dalam pertumbuhan ekosistemnya yang semakin pesat. "Kita ambil contoh, dalam satu channel Youtube, butuh berapa SDM terlibat di dalamnya. Mulai dari cameramen, editor, scripting dan lainnya," kata Ariawan. Menurutnya, para SDM tersebut minimal memiliki potensi PPh 21 bagi DJP Kemenkeu. Berdasarkan riset yang dilakukan, untuk seorang senior Video Editor yang berpengalaman bisa mendapatkan hingga Rp 69 juta per tahun. Artinya, dirinya sudah berada di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
Baca Juga: Belanja Negara Tak Sebanding Penerimaan, Prabowo Diprediksi Tetap Andalkan Utang "Ini kita baru bicara soal SDM yang bekerja di lingkup konten kreatornya. Belum penghasilan dari channel atau akunnya," terang Ariawan. Ariawan memang belum melakukan perhitungan seberapa besar potensi penerimaan pajak dari para konten kreator. Namun, seperti diprediksi, pada tahun 2025 mendatang potensi ekonomi digital di Indonesia akan menyentuh angka US$ 146 miliar. Jumlah ini meningkat sebanyak 23% dari tahun 2020 yang hanya sebesar US$ 44 miliar. Bahkan, Kemenkeu sendiri pernah memproyeksikan bahwa pada tahun 2025 potensi ekonomi digital Indonesia akan mencapai Rp 1.800 triliun dengan pertumbuhan ekonomi digital mencapai 40% per tahun. "Ini adalah potensi pajak yang luar biasa," jelasnya. Oleh karena itu, potensi pajak di sektor tersebut sangat menjanjikan dan semakin hari tentu semakin besar. Kendati begitu, menurutnya kondisi tersebut menjadi pekerjaan rumah (PR) pemerintah agar potensi yang besar tersebut bisa menjadi realisasi penerimaan. Ariawan menyarankan, DJP Kemenkeu perlu memiliki petugas pajak yang khusus memantau atau menginvestigasi pergerakan ekosistem digital tersebut. Selain itu, edukasi dan sosialisasi kewajiban perpajakan bagi para konten kreator juga penting untuk dilakukan. Hal ini mengingat banyaknya konten kreator yang selama ini masih bekerja dalam lingkup informal. Untuk itu, pemerintah bisa membuat aturan yang memudahkan pengawasan para konten kreator. "Misalnya mendorong agar konten kreator yang masih informal menjadi perusahaan perseorangan berizin, memberikan fasilitas insentif dan lain sebagainya agar mereka mau masuk ke dalam sistem perpajakan kita," imbuh Ariawan. Ekonom Senior Raden Pardede juga menyoroti banyaknya Gen Z yang bekerja di sektor informal.
Raden mengatakan, situasi tersebut akan memberikan dampak terhadap penerimaan pajak Indonesia. Pasalnya, sektor informal menjadi sektor yang sulit dipajaki dan sebagian belum masuk dalam sistem administrasi perpajakan pemerintah. Dirinya khawatir, tingginya sektor informal di Indonesia membuat penerimaan pajak jauh lebih rendah jika dibandingkan negara lainnya. "Ini salah satu yang membuat penerimaan pajak kita tidak sebaik negara lain karena sektor informal kita demikian banyak," kata Raden. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari