Salah satu poin penting dari RAPBN 2018 yang disampaikan pemerintah adalah target penerimaan negara dari sektor perpajakan. Penerimaan negara di targetkan sebesar Rp 1.878,4 triliun, dengan penerimaan bersumber dari perpajakan sebesar Rp 1.609,4 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebanyak Rp 267,9 triliun. Dari total penerimaan perpajakan, dariĀ pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 852,9 triliun, meliputi PPh non migas Rp 816,9 triliun dan PPh migas Rp 35,9 triliun. Kemudian, pajak pertambahan nilai (PPN) ditargetkan Rp 535,3 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) Rp 17,3 triliun dan pajak lainnya Rp 9,6 triliun. Sedangkan bea masuk ditargetkan Rp 35,7 triliun dan bea keluar sebesar Rp 3 triliun, serta cukai yang sebesar Rp 155,4 triliun. Target penerimaan pajak tersebut sejatinya tumbuh 9,3% dibanding outlook 2017 sebesar Rp 1.472,7 triliun. Sementara tax ratio ditargetkan 11%-12%. Tapi kenaikan target yang moderat ini harus dibandingkan juga dengan realisasi 2017 yang diperkirakan hanya 86%-91%. Selama semester pertama tahun ini saja penerimaan pajak baru mencapai 40%.
Dari sisi penerimaan pajak, selalu ada kenaikan namun tidak cukup memadai untuk menutup defisit anggaran yang kian lebar. Ada keinginan kuat dari pemerintah untuk memperkuat pembangunan infrastruktur dalam kerangka mengatasi kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan ditengah keterbatasan fiskal. Pemerintah sendiri belum memiliki formula jangka pendek untuk menggenjot penerimaan pajak dengan menjangkau wajib pajak secara luas melalui peningkatan rasio pajak. Pemerintah sendiri menargetkan tax ratio bisa mencapai 16% pada tahun 2019. Namun realisasi rasio pajak pada 2015 dan 2016 masing-masing hanya 10,7% dan 10,3%. Rendahnya pencapaian rasio pajak jelas memiliki implikasi terhadap perekonomian. Implikasi tersebut diantaranya adalah pajak belum mampu memainkan peran dalam mengefektifkan program defisit spending (belanja menutup defisit) sekaligus memperbesar alokasi pembiayaan infrastruktur maupun pembiayaan modal yang diharapkan berdampak multiplier bagi perekonomian. Selain itu, dengan rasio pajak yang rendah menyebabkan instrumen pajak menjadi belum efektif sebagai instrumen untuk mewujudkan redistribusi pendapatan dan kesenjangan ekonomi. Sebab kekayaan hanya akan terakumulasi pada kelompok berpendapatan besar sementara masyarakat kecil tidak mampu menikmati hasil pembangunan yang pembiayaannya diperoleh dari pajak. Transparansi keuangan Tax ratio harus mencapai angka ideal kisaran 15% sehingga ada ruang fiskal yang lebih luas untuk mencapai kemajuan yang berarti dalam pembangunan infrastruktur, pemerataan dan pemberantasan kemiskinan. Persoalan penting sekarang adalah mencari penyebab rendahnya rasio pajak kita. Salah satu penyebab rendahnya rasio pajak kita adalah belum diketahuinya potensi riil penerimaan pajak yang dapat digali. Hal ini bisa diakibatkan oleh masih banyaknya wajib pajak yang mangkir dari kewajiban maupun banyak kegiatan ekonomi yang bersifat informal dan kegiatan ekonomi yang tidak tercatat (underground economy). Selama ini perhitungan potensi penerimaan pajakĀ berdasarkan perkiraan makro. Permasalahan utama perpajakan adalah tingkat kepatuhan dari wajib pajak di Indonesia yang masih perlu untuk terus diperbaiki. Jika melihat data tahun 2016, ada sekitar 32 juta wajib pajak yang terdaftar. WP yang wajib menyerahkan SPT ada 20 juta, tetapi realisasinya hanya 12 juta atau sekitar 65%. Padahal di negara lain bisa mencapai 75%-80%. Dari sisi kelembagaan, penting untuk melakukan perbaikan dalam menyiapkan data dan sistem informasi perpajakan yang lebih up to date dan terintegrasi, disertai kepatuhan wajib pajak dan meningkatkan pelayanan serta efektifitas organisasi. Implementasi penarikan atau pembayaran pajak harus praktis dan mudah serta cepat. Saat ini kemudahan baru terbatas pada penyampaian dan pemrosesan laporan. Substansi masih sulit. SPT masih dianggap sebagai dokumen yang sulit untuk diisi dengan benar dan lengkap oleh orang awam. Di samping itu, strategi pemungutan pajak tidak sekadar mengejar target lonjakan penerimaan negara, tapi juga mempertimbangkan implementasi penarikan pajak di lapangan yang business friendly. Langkah ini penting untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak (tax avoidance) dan penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) yang berimbas berkurangnya penerimaan negara. Praktik penghindaran pajak dan penyelundupan pajak biasa dilakukan dengan meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan dan meminimalkan beban pajak dengan memanipulasi pembukuan. Menurut McGee (1994), tax evasion akan menimbulkan dampak buruk karena dana pajak yang seharusnya diterima negara untuk keperluan pembangunan fasilitas umum dan pembiayaan kegiatan pemerintahan tidak akan sampai ke kas negara. Subsidi negara bagi rakyat miskin pun tidak akan tersalurkan akibat para pelaku penggelapan pajak ini.
Untuk mendorong peningkatan penerimaan perpajakan, perlu komitmen yang besar dan dukungan politik untuk melaksanakan reformasi pajak. Kinerja Dirjen Pajak juga perlu lebih optimal terkait dengan kepatuhan pendaftaran dan laporan pajak, pelayanan, kepastian, maupun yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa. Sementara itu, dukungan global dalam mendukung transparansi keuangan melalui automatic exchange of information (AEOI), yang direspon pemerintah melalui terbitnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1/2017, menjadi salah satu harapan mencegah terjadinya penghindaran pajak dan penyelundupan pajak. Perbaikan sistem pengelolaan informasi keuangan akan membantu otoritas pajak mencegah praktik penghindaran pajak. Era keterbukaan informasi juga bisa menjadi pintu masuk untuk memperbaiki sistem pengelolaan informasi perpajakan sehingga dapat menghilangkan ruang bagi penghindaran pajak, dalam hal ini tax haven. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tri Adi