Mengelola risiko bencana alam



Kita tahu bahwa Nusantara terhampar di sabuk Pasifik yang rawan bencana alam. Berderet cincin api kerap meletus, lempeng-lempeng benua sering berbenturan mencuatkan gempa, lautannya acap pasang tinggi plus ancaman tsunami, musim hujannya suka menyebabkan banjir dan tanah longsor, belum lagi puting beliung, dan sebagainya.  

Tercatat dalam sejarah begitu sering bencana terjadi di negeri yang kaya sumber daya alam ini. Datang tanpa diundang, kelar tidak diantarkan. Setengah tahun terakhir ini saja, pecah serangkaian bencana menelan banyak korban: gempa Lombok-Sumbawa, gempa diikuti tsunami dan likuefaksi Sulawesi Tengah, juga tsunami Selat Sunda. Masih ditambah lagi tanah longsor di Cisolok, Sukabumi.

Ketika datang bencana masyarakat begitu heboh. Semua peduli. Tapi seiring dengan waktu berjalan pada melupakan. Kehidupan berlangsung seperti sebelum bencana melanda. Seakan tak ada rasa kapok untuk mengabaikan risiko bencana walau niscaya bakal menimpa sewaktu-waktu.


Padahal, bila benar-benar tiba bencana, tidak ada yang menyana. Tidak ada yang mengantisipasi apalagi memitigasi sebelumnya: gempa dan tsunami itu bakal terjadi. Peralatan penting untuk mendeteksi bencana seperti stasiun GPS, buoy, dan tide gauge sudah rusak kurang perawatan atau hilang dicuri. Sistem peringatan dini jelas tidak berfungsi.

Tidaklah heran bila lembaga yang bertugas memitigasi bencana pun tergagap-gagap. Mereka sering keliru dan telat memberikan informasi yang akurat. Sementara itu, kejadian bencana itu telah meluluhlantakkan segalanya.

Bahkan ternyata tak ada koordinasi yang apik di antara institusi-institusi yang terkait kebencanaan. Dalam hal tsunami Selat Sunda, Badan Geologi bersikukuh hanya memantau aktivitas Anak Krakatau, tidak menyigi potensi tsunami. Adapun BMKG tidak punya akses informasi mengenai aktivitas vulkanik yang sangat aktif tersebut.

Coba kalau sistem antisipasi dan mitigasi berfungsi dengan baik, korban jiwa maupun harta benda kemungkinan besar bisa jauh berkurang.

Harusnya centang-perenang penanganan bencana ini sudah cukup; saatnya untuk perbaikan total. Akan lebih buruk ketimbang keledai bila sudah tertimpa berkali-kali oleh musibah tapi tidak juga berubah.

Kini kapasitas institusi juga diperkuat dengan diangkatnya Doni Monardo, jenderal bintang tiga aktif, sebagai Kepala BNPB. Anggaran penanggulangan bencana, termasuk edukasi dan mitigasi bencana, juga akan dinaikkan.

Selama ini bujet BNPB, Basarnas, dan BMKG tidak mengembang malah terus mengempis. Pemerintah beralasan, di luar anggaran untuk lembaga tersebut, sudah ada dana anggaran cadangan penanggulangan bencana saat kejadian tanggap darurat (dana on-call) maupun dana kontingensi untuk tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Tapi sebetulnya pos itu kurang tepat, karena yang juga dibutuhkan adalah anggaran untuk antisipasi dan mitigasi, termasuk peralatan deteksi early warning system yang memberikan peringatan dini sebelum bencana terjadi.

Masyarakat di kawasan rawan bencana memang harus dilibatkan dalam proses antisipasi dan mitigasi, turut menjaga keberadaan sistem deteksi dini. Percuma beli peralatan canggih dan mahal kalau sebentar kemudian tidak bisa berfungsi karena dipereteli pencuri. Adapun BMKG dan Badan Geologi harus juga membangun sistem informasi yang terpadu, tak perlu lagi berbenteng ego sektoral, demi menjaga keberlangsungan hidup masyarakat sekitar.

Yang tak kalah penting: masyarakat harus bersedia direlokasi ke daerah aman bencana. Pemerintah pun harus menegakkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana umum tata ruang (RUTR) berpedoman pada peta rawan bencana.

Ardian Taufik Gesuri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi