Kita tahu bahwa Nusantara terhampar di sabuk Pasifik yang rawan bencana alam. Berderet cincin api kerap meletus, lempeng-lempeng benua sering berbenturan mencuatkan gempa, lautannya acap pasang tinggi plus ancaman tsunami, musim hujannya suka menyebabkan banjir dan tanah longsor, belum lagi puting beliung, dan sebagainya. Tercatat dalam sejarah begitu sering bencana terjadi di negeri yang kaya sumber daya alam ini. Datang tanpa diundang, kelar tidak diantarkan. Setengah tahun terakhir ini saja, pecah serangkaian bencana menelan banyak korban: gempa Lombok-Sumbawa, gempa diikuti tsunami dan likuefaksi Sulawesi Tengah, juga tsunami Selat Sunda. Masih ditambah lagi tanah longsor di Cisolok, Sukabumi. Ketika datang bencana masyarakat begitu heboh. Semua peduli. Tapi seiring dengan waktu berjalan pada melupakan. Kehidupan berlangsung seperti sebelum bencana melanda. Seakan tak ada rasa kapok untuk mengabaikan risiko bencana walau niscaya bakal menimpa sewaktu-waktu.
Mengelola risiko bencana alam
Kita tahu bahwa Nusantara terhampar di sabuk Pasifik yang rawan bencana alam. Berderet cincin api kerap meletus, lempeng-lempeng benua sering berbenturan mencuatkan gempa, lautannya acap pasang tinggi plus ancaman tsunami, musim hujannya suka menyebabkan banjir dan tanah longsor, belum lagi puting beliung, dan sebagainya. Tercatat dalam sejarah begitu sering bencana terjadi di negeri yang kaya sumber daya alam ini. Datang tanpa diundang, kelar tidak diantarkan. Setengah tahun terakhir ini saja, pecah serangkaian bencana menelan banyak korban: gempa Lombok-Sumbawa, gempa diikuti tsunami dan likuefaksi Sulawesi Tengah, juga tsunami Selat Sunda. Masih ditambah lagi tanah longsor di Cisolok, Sukabumi. Ketika datang bencana masyarakat begitu heboh. Semua peduli. Tapi seiring dengan waktu berjalan pada melupakan. Kehidupan berlangsung seperti sebelum bencana melanda. Seakan tak ada rasa kapok untuk mengabaikan risiko bencana walau niscaya bakal menimpa sewaktu-waktu.