KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk (MTEL) alias Mitratel resmi menjalin kerja sama dengan anak perusahaan Airbus, yakni AALTO HAPS Ltd. Keduanya telah menandatangani nota kesepahaman untuk menjajaki penyediaan solusi HAPS komersial di Indonesia. Ini sekaligus menandakan dimulainya pengembangan teknologi Flying Tower System (FTS). Direktur Utama Mitratel, Theodorus Ardi Hartoko mengatakan, MTEL bekerja sama AALTO menawarkan layanan yang dapat mengubah dunia dari stratosfer, yang akan mendukung transformasi konektivitas seluler dan observasi bumi. "Ini potensi yang sangat baik untuk memperluas konektivitas, termasuk memperluas cakupan operator jaringan seluler dan mengurangi titik-titik blank spot jaringan," kata Teddy, dalam keterangannya, Kamis (1/8). AALTO adalah perusahaan yang mendesain, memproduksi dan mengoperasikan High Altitude Platform Station (HAPS) bertenaga surya Zephyr. HAPS atau wahana dirgantara super, sebuah terobosan baru teknologi telekomunikasi yang menyediakan sistem layanan komunikasi dan pengawasan yang beroperasi di ketinggian stratosfer (sekitar 20 km di atas permukaan bumi).
HAPS mirip dengan satelit, tapi dengan biaya operasional lebih rendah dan fleksibilitas lebih tinggi. Publik mempersepsikan teknologi ini mirip dengan
flying tower system atau menara BTS
(base transceiver station) ‘terbang’. MTEL adalah salah satu pemimpin pasar menara telekomunikasi di Indonesia. Raja menara di Asia Tenggara ini memiliki 38.581 unit menara per akhir Juni 2024, naik 5,1% secara tahunan, dan mempertahankan posisi sebagai pemilik menara terbanyak di regional. Sementara itu AALTO adalah anak usaha Airbus, berbasis di Farnborough, Inggris, yang merancang, memproduksi, dan menawarkan layanan Zephyr, layanan HAPS dalam bentuk pesawat tanpa awak. Zephyr menggunakan tenaga energi surya dan beroperasi di ketinggian lebih dari 60.000 kaki. Lantas apa sebetulnya BTS ‘terbang’ ini, bagaimana operasinya dan apa saja keuntungannya? Menurut situs resmi AALTO, perusahaan merancang layanan HAPS yakni Zephyr untuk beroperasi pada ketinggian yang lebih tinggi dari pesawat komersial, dengan memanfaatkan energi surya untuk tetap terbang dalam jangka waktu yang lama. Kemampuan ini memungkinkannya menawarkan layanan telekomunikasi latensi rendah dan observasi bumi dari stratosfer, menjembatani kesenjangan digital dengan menghubungkan wilayah terpencil dan kurang terlayani di darat, udara, dan laut.
Baca Juga: Mitratel (MTEL) Bermitra Dengan Anak Usaha Airbus AALTO HAPS Dengan area cakupan sekitar 7.500 km persegi, setara 250 menara, Zephyr berfungsi sebagai menara di langit yang dapat terintegrasi ke dalam jaringan operator seluler. Hal ini menjadikannya solusi ideal untuk memperluas cakupan di daerah yang jarang penduduknya atau medan yang menantang. Dengan kolaborasi ini, maka operator jaringan seluler dan entitas lain yang membutuhkan konektivitas dapat memperluas jangkauan jaringan mereka ke wilayah pedesaan dan terpencil, meningkatkan kualitas layanan, memperluas basis pelanggan. Adapun keunggulan utama HAPS ialah biaya operasional rendah, lebih murah dibandingkan peluncuran dan pemeliharaan satelit. HAPS juga fleksibel karena mudah diposisikan sesuai kebutuhan dan kapasitasnya mampu memberikan layanan komunikasi yang stabil dan berkualitas tinggi di area yang luas. Di Indonesia, kajian soal HAPS atau BTS terbang ini sebetulnya sudah cukup lama dikerjakan. Tahun 2016, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merilis kajian bertajuk “Kelayakan Implementasi HAPs, yang hasilnya menyatakan belum layak di Indonesia saat itu. Penyebabnya, terkendala regulasi: keamanan informasi dan penggunaan ruang udara (frekuensi).
Secara teknis, mengacu dokumen Kominfo, HAPS merupakan wahana, baik berupa pesawat terbang maupun pesawat yang berada di ketinggian 17-22 km di atas permukaan bumi. Wahananya dibagi menjadi tiga kategori:
unmanned airships (pesawat tak berawak),
solarpowered unmanned aircraft (pesawat tak berawak bertenaga surya), dan
manned aircraft (pesawat berawak). Berbagai Negara sudah melakukan beberapa proyek HAPs, di antaranya Helinet dan CAPANINA di Uni Eropa, Skynet di Jepang, dan ETRI-KARI di Korea. Di Amerika Serikat (AS), NASA juga aktif mengembangkan prototipe unmanned aircraft di bawah proyek Helios. Google juga tidak ketinggalan dengan Project Loon (semacam balon internet). Uji coba pertamanya tahun 2013 di Selandia Baru, disusul Australia dan Brasil. Tahun 2016, Project Loon diujicobakan di Indonesia menggandeng Telkomsel, XL dan Indosat, dengan memakai spektrum frekuensi 900 MHz. Secara internasional, keputusan HAPS ini termaktub dalam sidang World Radiocommunication Conference (WRC) tahun 2023. WRC menyatakan HAPS dapat beroperasi di empat pita frekuensi yaitu spektrum 900 MHz, 1.800 MHz, 2,1 GHz dan 2,6 GHz. Lalu Kementerian Kominfo memposting ulang keputusan itu di akun media sosial. "Implementasi BTS terbang di ketinggian 18 - 25 kk, 900 MHz, 1800 MHz, 2,1 GHz dan 2,6 GHz," tulis akun Instagram Kominfo, pada 22 Desember 2023. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Ahmad Febrian