Mengenal happy hypoxia dan bahayanya jika menyerang pasien Covid-19



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Media sosial belakangan ramai membahas informasi mengenai kondisi pasien positif Covid-19 dengan kadar oksigen rendah. Nama bekennya adalah happy hypoxia syndrome.

Lalu, apa itu happy hypoxia syndrome? 

Dokter spesialis paru sekaligus Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Agus Dwi Susanto, membenarkan kondisi happy hypoxia syndrome bisa ditemukan pada pasien positif Covid-19. "Kita ketahui bahwa Covid-19 ini, organ yang paling sering terkena kan paru. Meskipun saat ini juga banyak manifestasinya di luar paru, tapi organ yang paling sering terkena komplikasi adalah paru," kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/8/2020). 

Ia menjelaskan hypoxia syndrome merupakan kondisi seseorang dengan kadar oksigen rendah dalam tubuh. Normalnya, kadar oksigen di dalam tubuh seseorang adalah di atas 94%. 

Baca Juga: Muncul happy hypoxia, berikut 11 gejala virus corona menurut WHO

Hypoxia syndrome, kata dia, diawali dengan peradangan paru-paru atau pneumonia yang membuat perputaran oksigen terganggu. "Darah yang kurang oleh oksigen ini kan nantinya akan masuk ke jantung dan didistribusikan ke seluruh tubuh, akibatnya jaringan-jaringan dan organ tubuh yang lain ikut mengalami kekurangan oksigen, yang disebut sebagai hypoxia," kata Agus. 

Terlihat normal 

Sementara itu, terkait happy hypoxia syndrome, Agus mengungkapkan kondisi tersebut terjadi ketika seseorang yang mengalami hypoxia syndrome tetapi terlihat seperti orang normal. Agus mengaku menemukan kondisi happy hypoxia syndrome di beberapa pasien Covid-19 yang dirawatnya. Namun, ia belum bisa mendetailkan, berapa persentase pasien Covid-19 yang terkena happy hypoxia syndrome. Sebab, belum ada penelitian terkait hal tersebut. 

Baca Juga: Gejala Covid-19 Happy Hypoxia, ini peringatan epidemiolog

"Pengalaman saya sebagai dokter paru yang juga merawat pasien Covid-19, ternyata memang kasus-kasus pasien dengan happy hypoxia itu memang terjadi," kata Agus. 

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie