KONTAN.CO.ID - Sudah seharusnya, pemanfaatan teknologi bertujuan untuk kebaikan umat manusia (kemanusiaan). Sehingga, jika dikaitkan dengan praktik bisnis, bila bisnis ingin maju dan bisa mendapatkan hasil yang optimal, bisnis tersebut harus bisa mengombinasi dua kekuatan, yakni kekuatan manusia dan kekuatan mesin. Mesin ini bisa mengacu pada
artificial intelligence (AI). Sementara, teknologi yang sering disebut dengan
advanced technology sebenarnya mengambil inspirasi dari kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh manusia. Kekuatan manusia untuk berpikir, misalnya, telah ditiru dalam bentuk teknologi AI yang berpikir berdasarkan algoritma. Kemampuan manusia berkomunikasi diterjemahkan dalam teknologi yang disebut natural
language processing. Di sini, mesin bisa memahami pola pembicaraan kontekstual, baik secara lisan maupun tertulis, dalam bahasa formal maupun informal.
Kemudian, kemampuan manusia untuk merasakan lingkungan sekitar dengan panca indra juga ditiru oleh teknologi sensor robotik. Lalu, manusia bisa bermimpi dan kemudian ditiru dalam bentuk
mixed reality dengan wujud
augmented reality maupun
virtual reality. Dan, kemampuan manusia untuk terhubung satu sama lain mendorong munculnya teknologi
Internet of Things maupun
blockchain. Teknologi-teknologi tersebut bisa diadopsi dan dimanfaatkan untuk mendukung bisnis, khususnya marketing. Pemanfaatan teknologi untuk kemanusiaan ini menjadi bahasan buku
Marketing 5.0: Technology for Humanity karangan Philip Kotler, Hermawan Kartajaya, dan Iwan Setiawan. Sebagai informasi, buku ini pertama kalinya resmi meluncur pada awal tahun 2021 dalam edisi bahasa Inggris yang diterbitkan oleh John Wiley dan merupakan buku ketiga dari Trilogi X.0 Series dengan
Marketing 3.0, From Product to Customers to the Human Spirit (2010) sebagai buku pertama dan
Marketing 4.0, Moving fromTraditional to Digital (2017) sebagai buku kedua.
Lima Elemen Marketing 5.0 Ada lima komponen dalam konsep Marketing 5.0. Komponen ini terdiri dari tiga apikasi, yakni
predictive marketing, contextual marketing, dan
augmented marketing. Ketiganya dibangun di atas dua disiplin organisasi, yakni
data-driven marketing dan
agile marketing. Apa pengertiannya?
Pertama, data-driven marketing. Di sini, aktivitas marketing dilakukan dengan landasan data yang kuat dan
real time sehingga tidak ada gap waktu yang lebar antara pengumpulan data dengan pengambilan keputusan. Teknologi ini sudah diterapkan oleh Target, sebuah
departement store di Amerika Serikat. Target mampu mengetahui seorang remaja yang hamil di luar nikah dengan menganalisis data pola belanjanya. Berkat teknologi, Target lebih dulu tahu kondisi remaja tersebut ketimbang keluarga remaja.
Kedua, predictive marketing yang memanfaatkan kekuatan analitik untuk memprediksi sebuah hasil. Contohnya, PepsiCo yang menggunakan
social data untuk menemukan rasa yang cocok untuk produk
snack-nya sesuai dengan preferensi pelanggan.
Ketiga, contextual marketing. Di sini, teknologi berperan membantu melakukan personalisasi dan kustomisasi produk dan layanan sesuai dengan profil pelanggan. Wallgreens di Amerika, misalnya, sudah menerapkan teknologi ini. Wallgreens menyediakan teknologi yang disematkan dalam sebuah layar kulkas yang bisa mengenali kebutuhan pelanggan melalui
face recognition.
Keempat, augmented marketing. Contohnya, peranti lunak HubSpot yang menggunakan
chatbot untuk
B2B sales lead generation and nuture. Di sini,
lead dikerjakan lebih dulu oleh mesin dan baru kemudian akan diserahkan ke salesman.
Kelima, agile marketing yang mengacu pada
mindset. Dalam organisasi, misalnya, keputusan diambil tidak hanya berdasar pada data tetapi juga kelincahan dalam melakukan eksperimentasi secara sering dan rutin. Contohnya, Zara yang barang dan desain di outletnya bergerak dinamis. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Indah Sulistyorini