JAKARTA. Instrumen investasi di pasar modal semakin beragam. Baru-baru ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan aturan mengenai dana investasi infrastruktur berbentuk kontrak investasi kolektif (DINFRA). Hal tersebut tertuang dalam peraturan OJK Nomor 52/POJK.04/2017 yang terbit pada 20 Juli 2017. DINFRA merupakan reksadana yang dipergunakan untuk menghimpun dana investor yang nantinya akan diinvestasikan pada aset infrastruktur. Manajer investasi hanya bisa menempatkan dana di aset infrastruktur, dengan porsi minimal 51% dari nilai aktiva bersih (NAB). Sisanya, maksimal 49%, bisa ditempatkan di instrumen pasar uang atau efek dalam negeri.
Edbert Suryajaya,
Head of Research & Consulting Services Infovesta Utama, mengatakan, pemerintah mendorong manajer investasi meluncurkan DINFRA demi mempercepat pembangunan infrastruktur. "Dana untuk infrastruktur bisa diperoleh dalam bentuk permodalan dari investor dan pemerintah dengan kendaraan reksadana DINFRA," kata Edbert, Kamis (10/8). Edbert berharap, para manajer investasi mengambil proyek infrastruktur yang menarik sebagai aset dasar DINFRA. "Imbal hasilnya diharapkan bisa bersaing, bahkan melebihi imbal hasil jenis reksadana lain," kata Edbert. Hanya saja, kisaran
yield DINFRA akan sangat lebar. Maklum, pada proyek infrastruktur yang dibangun di kawasan yang telah matang atau siap,
yield hanya sekitar 5%-7%. "Tapi kalau infrastruktur dibangun di lahan baru, atau membangun pelabuhan di daerah yang sebelumnya belum ada pelabuhan,
yield bisa mencapai puluhan persen," prediksi Edbert. Lantas apa perbedaan instrumen investasi baru ini dengan reksadana penyertaan terbatas (RDPT) dan kontrak investasi kolektif (KIK) efek beragun aset (EBA)? Menurut Edbert, penawaran RDPT sangat terbatas. Sementara KIK EBA ditawarkan berbentuk utang. Sedangkan DINFRA bisa ditawarkan melalui penawaran umum dan tercatat di Bursa Efek Indonesia. Artinya, DINFRA bisa diperdagangkan di pasar sekunder. Ini bertolak belakang dengan RDPT yang sulit diperoleh, bahkan di pasar primer. DINFRA, menurut Edbert, cocok untuk investasi jangka menengah dan panjang.
Meski prospeknya menarik, manajer investasi masih belum berminat menerbitkan DINFRA dalam waktu dekat. Rio Ariansyah,
Head of Investment Phillip Asset Management menilai DINFRA bisa dijadikan sebagai alternatif dan solusi untuk masalah infrastruktur Indonesia. Namun, Rio mengatakan belum tertarik untuk menerbitkan instrumen investasi baru ini. "Kami masih mempelajari dengan lebih detil," kata Rio. Direktur Bahana TCW Investment Management Soni Wibowo juga masih mempertimbangkan penerbitan DINFRA. Perusahaan plat merah ini ada kemungkinan mengeluarkan instrumen investasi baru ini. Hanya saja, Soni masih mempertimbangkan apakah menggunakan DINFRA atau Reksadana Penyertaan Terbatas (RDPT). Soni menilai DINFRA memang lebih fleksibel dibanding RDPT. "Tapi kami masih mempelajari apakah DINFRA mendapat perlakuan pajak khusus seperti RDPT atau tidak, karena tentu hal ini akan mempengaruhi
return yang diterima investor," kata Soni. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini